GOPOS.ID, GORONTALO – Penetapan seseorang sebagai tersangka oleh pihak kepolisian atau kejaksaan, bukan berarti hak-haknya sebagai warga negara langsung dibatasi atau hilang. Termasuk dalam konteks pengangkatan pejabat Eselon II di Provinsi Gorontalo.
Pendapat itu dikemukakan salah satu pengamat hukum Gorontalo, Jupri, SH, MH disela-sela aktivitas. Hal ini seiring munculnya pandangan salah satu LSM di Gorontalo terkait pelantikan pejabat dilingkup pemerintah Provinsi Gorontalo.
Menurut Jufri bahwa yang menjadi dasar pertama, asas praduga tidak bersalah (presumption of Innocence) haruslah dihormati. Sejalan dengan penjelasan umum butir 3c KUHAP yang menegaskan ‘setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kondisi ini jelas berbeda dengan konsep hukum acara di Amerika yang menganut azas presumption of quilty atau perkara money laundry. Kedua, sebagaimana diatur dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Dimana pembatasan akan hak-hak setiap warga negara hanya bisa melalui Undang-Undang (vide: Pasal 28J ayat 2).
Baca juga: Janji Bisa Gandakan Uang, Tilep Duit Orang Rp13 Juta
Artinya selama tidak ada UU yang menyatakan bahwa seorang tersangka tidak bisa dilantik sebagai pejabat Eselon II maka secara hukum tidak ada yang dilanggar.
“Ketiga, harus kita pahami bahwasanya jabatan itu adalah kerja-kerja pelayanan publik. Artinya selama yang diangkat sebagai pejabat Eselon II tersebut tidak menjalani masa penahanan oleh aparat penegak hukum. Maka menurut hemat saya tidak mengganggu kerja-kerja pelayanan publik ke depan,” kata pria yang juga dosen di salah satu Perguruan Tinggi di Gorontalo.
Aktivis Komunitas Rumah Integritas ini menjelaskan secara detail bahwa untuk mengatakan seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dapat mengganggu kerja-kerja pemerintah. Hanya merupakan sebuah asumsi, bukan fakta atau pandangan ahli yang terjadi di pemerintah Provinsi Gorontalo.
“Artinya yang ngomong itu siapa? Dan kapasitasnya bagaimana? Orang itu dilihat dari kemampuannya berbicara. Pandangan hukumnya harus jelas. Sebab hukum ini adalah peraturan yang mengikat. Bukan tendensi politik, atau ketidaksukaan kepada seseorang. Disini masyarakat bisa menilai,” paparnya.
Sebab menurutnya sejauh ini, seseorang yang dijadikan tersangka, khususnya di Gorontalo tetap masih menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Bahkan percaya diri dan terang-terangan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan daerah.
“Emang sudah dirasakan oleh yang bersangkutan kerja pemerintah terganggu? Kan belum, jadi itu bagi saya hanya asumsi saja. Berbeda ketika sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana. Maka secara otomatis mengganggu kerja-kerja pemerintahan di Provinsi Gorontalo ke depan. Nah, itu baru tidak boleh dilantik, pasti mengganggu karena yang bersangkutan tidak berada ditempat,” jelasnya.
Terakhir, Jupri menghimbau kepada masyarakat bahwa harus jujur dan adil menilai hal ini. Sebab kasus yang melibatkan salah satu ASN di Provinsi Gorontalo yang terus menerus disoroti.
“Publik harus jujur dan adil melihat persoalan hukum di Gorontalo, jangan sampai publik hanya menilai kasus korupsi yang melibatkan ASN saja, sementara kepala daerah yang berstatus tersangka justru diabaikan,” pungkasnya. (rls/andi/gopos)