GOPOS.ID, GORONTALO – Komisi IV DPRD Provinsi Gorontalo bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo menggelar rapat kerja penting yang membahas pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) untuk tahun ajaran 2024/2025. Dalam pertemuan ini, sejumlah persoalan krusial menjadi sorotan, mulai dari aspek domisili calon siswa, ketimpangan distribusi guru, siswa hingga efektivitas perencanaan sekolah.
Wakil Ketua II DPRD Provinsi Gorontalo sekaligus Koordinator Komisi IV, La Ode Haimudin, menegaskan perlunya pengawasan lebih ketat terhadap aturan domisili calon peserta didik. Ia menekankan bahwa kini domisili menjadi indikator utama dalam sistem zonasi, di mana siswa harus berdomisili di kawasan tersebut minimal dua tahun.
“Kalau hanya menumpang di kartu keluarga tanpa hubungan langsung dengan orang tua, memang tetap bisa mendaftar, tapi nilainya rendah. Sekarang harus benar-benar tinggal tetap. Di sini peran Dinas Dukcapil sangat krusial,” jelas La Ode.
Ia juga menyoroti sekolah-sekolah unggulan seperti SMA 1, SMA 3, SMA Kabila, dan SMA Limboto yang kerap mengalami lonjakan pendaftar. Fenomena ini dianggap sebagai bukti ketimpangan sebaran siswa dan daya tarik yang terpusat hanya pada sekolah tertentu.
Dalam kesempatan itu, La Ode menyoroti jalur prestasi dalam PPDB yang memiliki kuota hingga 30 persen. Ia mengusulkan agar indikator penilaian prestasi tidak semata-mata berdasarkan angka nilai, melainkan mempertimbangkan peringkat siswa di sekolah asal.
“Tidak semua siswa peringkat satu punya rata-rata nilai di atas 90. Jadi yang adil itu kita lihat peringkatnya di kelas, bukan hanya nilai mentahnya,” tegasnya.
Ia juga menyinggung soal ketidaksesuaian antara kapasitas sekolah dan jumlah lulusan SMP. Dari sekitar 24.000 kursi yang tersedia, hanya 15.000 lulusan yang diperkirakan akan melanjutkan ke jenjang SMA atau SMK. Bahkan, sebagian dari mereka mungkin tidak melanjutkan pendidikan sama sekali.
“Artinya, pembangunan sekolah belum diarahkan secara optimal. Banyak sekolah hanya memiliki satu guru ASN, sisanya honorer. Ini menimbulkan ilusi bahwa jumlah guru sudah mencukupi di pusat, padahal tidak merata,” ungkap La Ode.
Karena itu, ia mendorong evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas sekolah-sekolah yang ada. Menurutnya, menutup sekolah yang tidak efisien bisa jadi opsi, asalkan disertai solusi konkret seperti membangun sekolah berasrama (boarding school) di wilayah terpencil.
“Kita tidak bisa membiarkan anak-anak dari daerah pelosok kehilangan akses pendidikan. Boarding school bisa jadi solusi, asal tepat sasaran dan pelaksanaannya jelas,” katanya.
La Ode juga menegaskan perlunya pemerataan distribusi guru berkualitas, terutama mereka yang memenuhi syarat sebagai kepala sekolah. Saat ini, tenaga pendidik berkualifikasi tersebut masih terpusat di ibu kota kabupaten atau kota.
“Kalau ingin pemerataan pendidikan benar-benar terwujud, kita harus berani mengirim guru-guru hebat ke pelosok. Tapi tentu, harus ada insentif yang memadai bagi mereka,” ujarnya.
Ia pun menggarisbawahi bahwa membangun kualitas sekolah-sekolah yang belum populer tidak cukup hanya dengan perbaikan sarana fisik, tapi juga harus menyentuh aspek SDM. Salah satu caranya, menurutnya, adalah dengan memberi “branding” baru agar masyarakat yakin akan kualitas sekolah tersebut.
“Sekolah terkenal tetap diminati walau kekurangan guru. Tapi kita harus dorong sekolah-sekolah lain agar punya daya tarik. Itu bisa dimulai dengan menempatkan guru terbaik di sana,” pungkasnya. (isno/gopos)