GOPOS.ID, GORONTALO – Kekosongan penegakan hukum yang ditinggalkan oleh Polres Pohuwato dalam kasus Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) memaksa lembaga legislatif untuk turun tangan.
Di tengah sikap diam Polres Pohuwato yang membingungkan, DPRD Provinsi Gorontalo melalui Panitia Khusus (Pansus) Tambang, kini mengambil alih panggung dan mengancam akan menyeret semua aktor yang terlibat dalam perusakan lingkungan masif tersebut.
Sikap tegas ini disuarakan oleh anggota Pansus Tambang yang juga Ketua Komisi II DPRD Provinsi Gorontalo, Mikson Yapanto. Ia menyatakan tidak akan tinggal diam melihat penderitaan rakyat Pohuwato yang menghadapi krisis air bersih dan gagal panen.
“Kami tidak akan membiarkan ini berlarut-larut. Kerusakan lingkungan di Pohuwato adalah bukti nyata betapa berbahayanya tambang ilegal,” tegasnya.
Langkah DPRD ini dipicu oleh eskalasi dampak PETI yang sudah berada pada level mengkhawatirkan. Laporan dari Kepala Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo, Mulyadi Mario menyebut bahwa gagal panen disebabkan oleh sedimentasi lumpur tambang menjadi salah satu bukti kuat yang akan digunakan Pansus untuk bergerak. Ini adalah sinyal bahwa kesabaran para wakil rakyat telah habis.
Sikap proaktif DPRD ini menjadi antitesis dari kebisuan Polres Pohuwato. Ketika aparat berseragam yang memiliki kewenangan penindakan justru memilih diam, para politisi di parlemen terpaksa bersuara lebih keras.
Fenomena ini menunjukkan adanya disfungsi yang serius dalam sistem penegakan hukum di Pohuwato, di mana tugas eksekusi di lapangan seolah terabaikan.
Pansus Tambang sendiri dibentuk sebagai mekanisme pengawasan dan investigasi legislatif. Dengan kewenangannya, mereka dapat memanggil paksa pihak-pihak terkait, termasuk aparat penegak hukum, pemerintah daerah, hingga para pengusaha tambang untuk dimintai keterangan. Ini adalah langkah politis untuk mendobrak kebuntuan hukum yang terjadi.
Kontras ini sangat memalukan bagi institusi Polri. Menurutnya, seharusnya Polres Pohuwato yang menjadi ujung tombak di lapangan, melakukan penyelidikan dan menangkap pelaku. Namun yang terjadi, mereka hanya menjadi penonton pasif, membiarkan DPRD mengambil peran yang bukan menjadi tugas utamanya.
Turun tangan DPRD Provinsi Gorontalo ini juga mengirimkan pesan kuat kepada para pelaku PETI bahwa mereka tidak lagi bisa berlindung di balik diamnya aparat lokal. Ada kekuatan lain yang kini mengawasi dan siap mengambil tindakan, meskipun melalui jalur politik dan pengawasan.
Pada akhirnya, langkah DPRD ini meletakkan Polres Pohuwato di posisi yang sangat sulit. Mereka kini tidak hanya berhadapan dengan kemarahan publik, tetapi juga dengan tekanan politik formal dari lembaga legislatif. Diam bukan lagi pilihan, karena jika mereka terus bungkam, Pansus Tambang mungkin akan membongkar alasan di balik kebisuan tersebut.(*)








