GOPOS.ID, Bone Bolango – Di warung kopi kecil di Suwawa, dua mahasiswa berbagi cerita sederhana namun penuh makna. Mereka membahas masa kuliah, perjuangan hidup, dan satu nama yang terus disebut dengan rasa hormat: Hamim Pou.
“Kalau bukan karena bantuan sosial dari pemerintah saat itu, saya sudah berhenti kuliah,” ucap seorang di antaranya. Temannya menimpali, “Dan tak ada satu rupiah pun yang dipotong.”
Cerita-cerita seperti ini menggema di ruang publik, justru saat Hamim Pou duduk di kursi terdakwa dalam kasus bantuan sosial yang kini menjadi sorotan. Namun anehnya, dari ruang sidang hingga suara rakyat, satu benang merah menguat: tidak ada yang merasa dirugikan. Justru banyak yang merasa ditolong.
Saksi-saksi yang hadir di persidangan bukan orang-orang elit. Mereka adalah mahasiswa, tokoh masjid, ibu rumah tangga, hingga kepala desa. Semua menyatakan hal serupa: bantuan tersalurkan utuh, tertata dalam dokumen resmi, dan tidak pernah ada perintah dari Bupati untuk menyelewengkan dana.
Saksi ahli dari BPKP bahkan menyatakan bahwa tidak ditemukan penyimpangan langsung oleh Hamim Pou. Laporan resmi BPK pun menyebut tidak ada kerugian negara. Yang ada hanyalah catatan administratif, bukan kejahatan pidana.
Pengamat hukum di Gorontalo menyebut ini sebagai potret kriminalisasi kebijakan. Banyak pejabat daerah akhirnya takut menyalurkan bantuan karena bayang-bayang kriminalisasi. Padahal, justru bantuan seperti inilah yang menyelamatkan masa depan generasi muda dan memberdayakan masyarakat kecil.
Hamim Pou bukan nama asing di Gorontalo. Selama 13 tahun memimpin Bone Bolango, ia dikenal sebagai pemimpin yang bekerja dengan tangan dan hati. RS Toto, GOR Boludawa, The Center Point (Bright Gate), revitalisasi Danau Perintis, dan jalan ke Pinogu—semua lahir dari kepemimpinan yang berpihak.
Ia membagikan lebih dari 10.000 ternak, membangun ribuan rumah, dan menghidupkan ekonomi desa. Ia juga mempopulerkan Kopi Pinogu hingga tercatat di MURI. Di bidang sosial, ia dikenal sebagai pencetus Hari Anak Yatim dan dijuluki ‘Panglima Anak Yatim.’
Hamim juga membawa kampus Universitas Negeri Gorontalo ke Bone Bolango, dan menerima dua Satya Lencana Pembangunan dari Presiden RI.
Kini, ia menghadapi ujian hukum. Namun publik tahu: yang dipermasalahkan bukanlah niat jahat, tapi keputusan berani untuk menolong rakyat.
“Saya tidak sempurna, tapi saya tidak pernah mengambil yang bukan hak saya. Jika ini ujian dari Allah, saya menerimanya,” ujar Hamim dalam sebuah pertemuan tertutup, dengan suara pelan namun penuh keyakinan.
Sidang berikutnya akan menghadirkan ahli pidana. Namun sebelum palu hakim diketuk, rakyat Bone Bolango tampaknya sudah lebih dulu memutuskan: Hamim Pou bukan pelaku kejahatan, tapi korban dari tafsir hukum yang melupakan nurani.
Dan di tengah semua itu, yang paling bersinar bukanlah tuduhan, melainkan ketulusan seorang pemimpin yang telah memberi segalanya untuk rakyatnya.(adm-01/gopos)