GOPOS.ID – Platform media sosial Facebook didenda $5 miliar atau setara Rp70 trilun. Denda itu dijatuhkan Komisi Perdagangan Federal (FTC) setelah Facebook dinyatakan melanggar privasi data.
Dilansir BBC Indonesia, FTC telah menyelidiki tuduhan bahwa konsultan politik Cambridge Analytica mendapatkan data hingga 87 juta pengguna Facebook dengan tidak semestinya.
Nilai denda ini merupakan yang terbesar dalam sejarah FTC. Namun, baik FTC maupun Facebook menolak berkomentar terkait berita tersebut.
Sebelumnya, pada Oktober 2018 Facebook diganjar dengan denda maksimal oleh pengawas privasi Inggris karena skandal Cambridge Analytica. Kantor Komisioner Informasi (ICO) Inggris menetapkan Facebook didenda 500.000 poundsterling atau Rp 9,7 miliar.
Baca juga: Bertemu di Stasiun MRT, Prabowo Ucapkan Selamat ke Jokowi
Skandal Cambridge Analytica
FTC mulai menyelidiki Facebook pada Maret 2018, menyusul laporan bahwa Cambridge Analytica telah mengakses data puluhan juta penggunanya.
Penyelidikan berfokus pada apakah Facebook telah melanggar perjanjian pada 2011 yang mengharuskannya untuk memberi tahu secara jelas pengguna dan mendapatkan “persetujuan tertulis” untuk membagikan data mereka.
Denda tersebut masih harus diselesaikan oleh divisi sipil Departemen Kehakiman. Hanya tak jelas berapa lama proses tersebut akan berlangsung.
Cambridge Analytica adalah perusahaan konsultan politik Inggris yang memiliki akses ke data jutaan pengguna. Beberapa di antaranya diduga digunakan untuk profil psikologis pemilih AS dan menargetkan mereka dengan materi untuk membantu kampanye presiden Donald Trump pada 2016.
Data diperoleh melalui kuis, yang mengundang pengguna untuk mengetahui tipe kepribadian mereka. Kuis itu dirancang untuk memanen tidak hanya data pengguna dari orang yang ikut serta dalam kuis, tetapi juga data teman-teman mereka.
Facebook mengatakan, pihaknya meyakini data sebanyak hingga 87 juta pengguna tidak dibagikan secara semestinya dengan konsultan–yang sekarang sudah tidak ada lagi itu.
Skandal itu memicu beberapa investigasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.(BBC/adm-02/gopos)