Oleh: Muhammad Arif
Ketua DPD IMM Gorontalo Bidang Media dan Komunikasi
Internet dan media sosial merupakan dua hal yang sulit terpisah dari kehidupan manusia modern saat ini. Keduanya sudah menjadi kebutuhan primer sebagaimana sandang, pangan dan papan dalam keseharian. Fenomena ini dimungkinkan karena banyak kebutuhan manusia yang semakin dipermudah dengan kehadiran internet dan media sosial. Bahkan beberapa pekerjaan seperti jual-beli, jasa transportasi dan penyedia jasa untuk membersihkan rumah sudah berpindah ke layar 3×5 Cm itu. Semua layanan penyedia jasa itu bisa dengan mudah kita nikmati hanya dengan satu kali klik di layar telepon genggam kita.
Dalam hal konsumsi informasi, kita juga sudah tidak disulitkan. Berbagai platform media dan kanal informasi juga bisa dengan mudah kita temui dan bisa diakses kapanpun dan dari manapun selama tersedia jaringan internet, tentu dengan harga yang relatif terjangkau. Kehadiran media sosial berjejaring dengan beragam fitur yang disediakan juga memungkinkan kita tidak hanya mejadi penerima informasi saja tapi, sebagai penggunanya kita juga bisa menjadi kanalisasi informasi.
Tapi, bukan untuk menguraikan segala kemudahan itu tulisan ini saya buat. Di samping menawarkan segala kemudahannya bukan berarti internet dan media sosial tidak punya sesuatu hal yang perlu khawatirkan. Ibarat pisau bermata dua, justru dengan berbagai kemudahan akses ini media sosial kerap kali menciptakan keriuhan di ruang maya, banalisasi informasi, hoax atau berita bohong dan tidak jarang semua hal itu menjadi kontroversi yang berujung pada perpecahan antar individu atau kelompok di dunia nyata. Bagaimana itu bisa terjadi? Apa penyebabnya? dua hal inilah yang membuat nurani saya tergerak untuk menuliskan artikel sederhana ini.
Segala hal yang bertolak belakang dengan kemudahan yang mengiringi kehadiran internet itu tidak serta merta tercipta begitu saja. Hal ini dimungkinkan karena algoritma mesin pencari yang digunakan dalam beragam fitur media sosial melakukan polarisasi berdasarkan riwayat pencarian, lokasi, usia dan konten yang sering diakses oleh penggunanya. Kecenderungan mesin pencari yang melakukan polarisasi berdasarkan algoritma semacam ini dikenal dengan sebutan Filter Bubble. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh seorang pengusaha dan aktivis internet asal Amerika Serikat, Ali Pariser pada tahun 2011 melalui bukunya yang berjudul The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You.
Polarisasi yang dilakukan oleh mesin pencari ini kemudian mengakibatkan munculnya keseragaman informasi yang selalu ditampilkan dan disarankan di beranda media sosial kita. Oleh Pariser, hal ini disebut dapat menyebabkan seseorang terisolasi secara intelektual dalam artian memiliki kecenderungan untuk menjadikan seseorang melihat segala sesuatu hanya dari satu sudut pandang. Dengan kata lain, keseragaman informasi ini kemudian menciptakan bentuk fanatisme terhadap satu bentuk pemikiran, merasa benar sendiri dan menganggap kesimpulannya sebagai bagian dari kesimpulan mayoritas sehingga dirinya cenderung menolak pemikiran lain dan menutup dari ruang-ruang diskursif. Akibatnya filter bubble malah melahirkan individu-individu yang anti kritik dan cenderung merasa benar sendiri. Pariser menegaskan sebuah dunia yang dibangun dengan kesamaan, adalah tempat kita tidak bisa belajar apapun.
Selain itu filter bubble juga menempatkan kita ada posisi Echo Chamber atau ruang gema. Secara sederhana ruang gema adalah tempat di mana kita dapat mendengar suara kita yang memantul dan bergema. Dalam posisi ini kita seolah-olah telah mengetahui banyak hal dari dari sebuah informasi yang kita terima secara seragam berdasarkan rekomendasi mesin pencari yang telah terpolarisasi itu.
Proses mendapatkan informasi yang seperti inilah yang meniscayakan terjadinya keriuhan di ruang maya, banal informasi dan hoax atau berita bohong. Untuk meminimalisir agar hal ini tidak terjadi, mulailah menjadi dengan pengguna media sosial yang bijak, tidak mudah menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya dan rutin melakukan disiplin verifikasi terhadap segala informasi yang kita terima. (***)