Oleh: Tim
GORONTALO — Suasana ruang sidang Pengadilan Tipikor, Senin (30/6) siang, berbeda dari biasanya. Tidak ada ketegangan khas persidangan, tidak pula perdebatan tajam antarpenegak hukum. Yang hadir justru keheningan, tangis, dan cerita-cerita hidup yang membekas.
Hamim Pou, mantan Bupati Bone Bolango selama tiga periode, duduk sebagai terdakwa dalam perkara dugaan penyimpangan dana bantuan sosial. Namun yang tampil di kursi saksi hari itu bukan auditor atau pejabat, melainkan para mahasiswa dan pengurus masjid, penerima langsung dari program yang kini dipersoalkan.
Salah satu saksi adalah Abdul Samad Djamaini, mahasiswa asal Kecamatan Bone Raya. Dengan suara bergetar, ia menjelaskan bahwa dirinya bisa menyelesaikan kuliah berkat program beasiswa dari Pemerintah Kabupaten Bone Bolango.
“Saya tidak pernah diminta apa-apa. Tidak ada potongan. Saya hanya kuliah, dan beasiswa itu sangat membantu,” ujarnya sembari mengusap air mata.
Beberapa mahasiswa lain menyampaikan hal serupa. Mereka berasal dari keluarga kurang mampu, dan menerima beasiswa penuh dari Pemda. Kesaksian mereka mengalir, kadang tersendat karena tangis, tapi konsisten menunjukkan bahwa bantuan itu nyata dan sangat bermanfaat.
Namun yang paling haru, diungkapakan Parmin Azis, salah satu Ketua Badan Takmirul masjid. Dia Bercerita, Mereka menerima bantuan pemerintah untuk memperbaiki dan menambah fasilitas di masjid. Tidak ada potongan dana, tidak ada permintaan imbal balik. Bantuan itu bersih dan membawa manfaat langsung untuk jamaah.
“Kami hanya ajukan proposal, dan dibantu. Itu sangat berarti bagi kami,” katanya dengan suara terbata-bata, sambil berurai air mata.
Ia lalu menunduk sejenak, sebelum melanjutkan dengan nada getir namun tulus, “Seorang Pak Hamim tidak disangka akan dibuat seperti ini. Kami tahu niat beliau. Tidak semua orang berani membantu tanpa pamrih seperti itu. Kalau bukan karena keikhlasan, mana mungkin bantuan-bantuan itu bisa sampai tanpa potongan, tanpa syarat?,” lirih Parmin.
Suasana ruang sidang berubah. Sunyi. Beberapa pengunjung menunduk. Tak sedikit yang menitikkan air mata. Yang lain perlahan keluar dari ruangan untuk menenangkan diri. Istri Hamim Pou, Lolly Yunus, juga terlihat meninggalkan ruang sidang lebih awal.
Di tengah keheningan itu, Ketua Majelis Hakim, Efendi Kadengke, mempersilakan Hamim Pou menyampaikan tanggapan.
Dari kursinya, dengan suara pelan dan nyaris terputus-putus karena emosi, Hamim Pou memulai:
“Mohon maaf, Yang Mulia. Saya ingin bicara di luar konteks hukum, ” ucap Hamim
Ia lalu bercerita tentang masa kecil dan latar hidupnya.
“Saya ini dibesarkan oleh seorang ibu yang menjadi guru sekolah dasar. Kami hidup sederhana. Saya bisa kuliah karena lulus PMDK. Waktu itu saya pernah jualan bakso, menumpang di kamar kost teman, dan bersyukur mendapat beasiswa.” Ucap Hamim sambil berhenti sebentar, dan menunduk kepala.
“Saya bersyukur pernah dipercaya memimpin Bone Bolango. Dan ketika ada program beasiswa dari pemerintah daerah—untuk membantu anak-anak dari keluarga seperti saya dulu—lalu itu menjadi persoalan… saya merasa itu sangat berat,” pinta Hamim
Beberapa detik berlalu dalam diam. Suaranya makin pelan.
“Program itu disusun, dibahas bersama DPRD, dituangkan dalam Perda, dan masuk dalam APBD. Itu kebijakan pemerintah. Tapi hari ini saya harus menjelaskannya di pengadilan,” lanjut Hamim sambil mengusap air mata.
Ia tak menambahkan banyak kata. Tangisnya pelan, tertahan. Pengacaranya mendekat dan memberikan tisu.
Tidak banyak komentar dalam ruang sidang setelahnya. Tapi suasana itu campuran keheningan, haru, dan perenungan meninggalkan kesan dalam.
Bagi sebagian orang, persidangan ini adalah urusan hukum. Tapi bagi mereka yang hadir hari itu, terutama para mahasiswa dan tokoh masyarakat yang bersaksi, ini adalah momen untuk menyampaikan sesuatu yang tak selalu tertulis dalam dokumen: bahwa kebijakan yang menyentuh hidup mereka kini sedang diadili, dan mereka merasa perlu menjelaskan kebenaran yang mereka alami sendiri.
Hamim Pou tak memberi pembelaan panjang. Tapi hari itu, banyak orang pulang dari pengadilan dengan perasaan lain: bukan hanya soal hukum, tapi tentang nilai, tentang niat, dan tentang hubungan yang tidak bisa dijelaskan oleh pasal-pasal. (*)