GOPOS.ID – Gugatan Fadel Muhammad terhadap pemberhentiannya sebagai Wakil Ketua MPR utusan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dikabulkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Putusan atas perkara nomor nomor 398/G/2022/PTUN JKT dipandang sudah tepat oleh pakar hukum.
Pakar hukum dari Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Aan Eko Widiarto, dikutip dari Republika.co.id, menilai putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad sudah tepat. Menurutnya, putusan tersebut sejalan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dekan Fakultas Hukum Unibraw ini mengatakan, pada pasal 87 huruf B UU 30/2014 kewenangan dari PTUN saat ini mencakup soal keputusan badan dan/atau pejabat tata usaha negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya.
“Dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) mengalami perluasan makna dan tidak sempit dalam lingkungan lembaga eksekutif saja,” tutur Aan dalam keterangannya, Senin (15/5/2023).
Menurut Aan keputusan yang dibuat di lembaga legislatif seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bisa diadili di PTUN.
“Asalkan bukan bersifat produk legislasi,” tegasnya.
Dengan adanya aturan itu, Aan menegaskan bahwa PTUN Jakarta berwenang dalam mengadili gugatan yang diajukan anggota DPD Fadel Muhammad dalam kaitannya pemecatan dirinya sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari unsur DPD dalam Sidang Paripurna ke-2 DPD RI pada Agustus 2022.
Aan menegaskan PTUN tidak bisa mencampuri putusan terkait kewenangan legislatif dalam membuat legislasi atau undang-undang. “Tapi bila sidang paripurna hasilnya adalah keputusan (bersifat administratif) bisa diadili di PTUN,” ujar dia.
Ia menambahkan, ciri produk “keputusan” adalah bersifat individual, kongkrit, dan final seperti mengangkat atau memberhentikan seseorang. Sedangkan produk peraturan bersifat abstrak. Menurut Aan, PTUN berperan dalam menilai apakah keluarnya putusan dalam Sidang Paripurna DPD sudah sesuai dengan prosedur atau tidak.
Dia menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan UU Nomor 17 tahun 2004 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) menyatakan bahwa pimpinan MPR hanya bisa diganti karena tiga hal, yaitu meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Klausul “diberhentikan” terjadi apabila ada dua terpenuhi yakni diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD, dan tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR.
“Dalam kasus ini (Fadel) tidak memenuhi semua unsur itu, tapi tiba-tiba diberhentikan,” tegas dia.
Sebelumya, putusan PTUN Jakarta menyatakan batal Surat Keputusan Dewan Perwakilan Daerah RI NO 2/DPDRI/I/2022-2023, tentang penggantian pimpinan MPR dari unsur DPD tahun 2022-2024. Mewajibkan tergugat untuk mencabut SK tergugat tentang penggantian pimpinan MPR dari unsur DPD serta menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp413 ribu.(adm-02/gopos)