Oleh: RONALDI TIMPOLA
Beberapa waktu terakhir, Omnibus Law memicu banyak perdebatan ditingkat nasional, Itulah Omnibus Law di Indonesia pertama kali akrab di telinga kita setelah pidato pelantikan Joko Widodo pada tahun 2019 lalu.
Sebagaimana bahasa hukum lainnya, Omnibus berasal dari Bahasa latin Omnis yang berarti banyak. Artinya Omnibus Law bersifat lintas sector yang sering ditafsirkan UU sapujagat.
Ada tiga hal yang disasar pemerintah, Yakni UU perpajakan, Cipta lapangan kerja dan Pemberdayaan UMKM.
Penerapan Omnibus Law juga bukan hal baru, di Amerika Serikat, yang bercirikan sistem hukum Anglo-saxxon, Omnibus law sudah kerap kali dipakai sebagai UU lintas sektor. Ini membuat pengesahan Omnibus Law oleh DPR bisa langsung mengamendemen beberapa UU sekaligus. Artinya, Omnibus Law merupakan metode atau konsep pembuatan regulasi, yang mengabungkan beberapa aturan, yang substansinya pengaturannya berbeda menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.
Jika dilihat penggunaan konsep Omnibus Law sepertinya mampu menjawab persoalaan tumpang tindih aturan perundang-undangan di Indonesia. Dari data yang disampaikan pemerintah saat ini terdapat 8.486 peraturan pusat. 14.815 peraturan menteri. 4.337 peraturan Lembaga, dan 15.966 peraturan daerah. Total keseluruhan berjumlah 43.604 peraturan.
Jumlah tersebut rasanya cukup menggambarkan bagaimana kerumitan regulasi di Indonesia. Secara Konseptual penerapan Omnibus Law digunakan di Indonesia untuk penyeragamaan kebijakan pusat dan daerah dalam menjunjung iklim investasi.
Berkenaan dengan hal ini, omnibus Law bisa menjadi cara singkat sebagai solusi pertauran perundang-undangan yang saling berbenturan, baik secara vertikal maupun horizontal.
Tujuan Konsep Omnibus law ini adalah untuk memudahkan investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Terkait hal ini, Menteri Koordinator dan perekonomian, Darmin Nasution mengigatkan bahwa kemudahan berusaha di Indonesia atau Ease of Doing Business (EODB) secara berangsur-angsur sudah menunjukkan perbaikan menjadi peringkat 91 dari peringkat 106 pada tahun 2016. Untuk mencapai target yang lebih baik itulah, maka pemerintah harus melakukan terobosan melalui Konsep Omnibus Law.
Baca juga: Permudah Izin Usaha, Pemerintah Siapkan ‘Omnibus Law’
Pertanyaan kemudian, Apa urgensi dari RUU omnibus Law ?
Apakah konsep omnibus law ini bisa diterapkan di Indonesia yang menganut system hukum Eropa continental?
Saya menilai, Penerapan Omnibus Law ini berpotensi menambah masalah baru dalam sistem hukum di Indonesia. Kemudian perencanaan omnibus law ini terburu-buru dan tertutup ke masyarakat. Penerapan Omnibus Law RUU cipta lapangan kerja berpotensi melanggar hak warga negara. Terutama buruh dan keluarganya yang dijamin konstitusi. Pasal 28 D ayat 2 UUD 1945 menjelaskan setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan perundang-undangan yang baik meliputi, kejelasan tujuan, kesesuain antara jenis, hirarki dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kejelasan rumusan dan keterbukaan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempertimbangkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis.
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang mengambarkan bahwa peraturan yang dibentuk harus mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta filosofi bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang mengambarkan bahwa peraturan yang di bentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta emperis mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat, seharusnya penerapan konsep omnibus law harus berdasarkan pada kebutuhan masyarakat.
Mentri Koordinator bidang politik hukum dan HAM, Mahfud MD menyatakan mempersilakan buruh menolak omnibus law dan penolakan tersebut harus di barengi dengan adanya masukan, karena posisi aturan tersebut masih berupa RUU belum UU
Landasan yuridis, penerapan konsep Omnibus Law seharusnya memperhatikan UU No. 15 tahun 2019 perubahan kedua atas UU No. 12 tahun 2011 pasal 7 mengenai Hirarki peraturan perundang-undangan. Artinya apa? Substansi RUU omnibus law tidak bisa bertentangan dengan konstitusi kita.
Sehingga saya menilai penerapan konsep Omnibus Law ini Inkonstitusional karena tidak memperhatikan landasan filosofis, emperis dan yuridis.
Atas pertimbangkan ini saya menyarankan pemerintah memberikan penguatan kepada Badan Pembinaan Hukum Nasional Dan HAM hal ini dilandaskan pada aspek muatan materi dan penyusunan UU.
Dalam aspek muatan materi, ada 4 aspek yang harus dikuatkan, yaitu Pengharmonisasian pembuatan peraturan perundang-undangan berdasarkan nilai-nilai Pancasila Pengharmonisasian peraturan pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan UUD 1945 khususnya pada Alinea ke 4 UU yang di bentuk harus memiliki garis vertikal, artinya dari tataran atas hingga bawah ada akomodir secara jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga tidak ada tumpang tindih aturan
Penerapan omnibus law perlu dilakukan uji materil di Mahkamah Konstitusi.(*)
Penulis adalah Ketua Badan Semi Otonom Pusat Kajian dan Advokasi Pidana (PUSKAVASI PIDANA), Fakultas Hukum, Universitas Negeri Gorontalo.