GOPOS.ID, GORONTALO – Sebuah ironi tajam menampar wajah dunia birokrasi di Gorontalo. Seorang mantan narapidana, yang sebelumnya mendekam di penjara karena tersandung kasus, nyaris saja dilantik menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di lingkungan Kementerian Agama.
Dalam seremoni pelantikan PPPK serentak se-Indonesia pada Senin (26/5/2025), yang dipimpin langsung oleh Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, satu nama mencuat dan membuat gaduh publik.
Dialah MA, eks narapidana yang divonis tujuh bulan penjara namun berhasil masuk ke dalam daftar peserta yang akan dilantik.
Bagaimana bisa seorang yang pernah duduk di kursi pesakitan, justru mendapat tiket emas menjadi abdi negara? Jawaban ini membuat publik geram.
MA diketahui bebas dari penjara pada Juli 2024 dan tetap dipertahankan sebagai tenaga honorer. Bahkan lebih mengejutkan lagi, ia dinyatakan lulus dalam seleksi PPPK pada Oktober 2024.
Keputusan yang mencoreng akal sehat dan etika publik. Masyarakat menuntut pertanggungjawaban, siapa yang bermain di balik kelulusan ini?
Kepala Bagian Tata Usaha Kemenag Gorontalo, Mahmud Bobihu, mencoba meredam amarah publik. Ia berdalih MA memiliki dokumen lengkap, termasuk SKCK, dan tidak ada pelanggaran administratif saat proses seleksi.
“Secara dokumen semuanya terpenuhi. SKCK-nya juga sah. Dia tidak mengurus berkas dari penjara, karena sudah keluar saat pendaftaran bulan Oktober 2024. Sedangkan dia sudah keluar di bulan juli 2024. Jadi dia yang urus semua itu,” jelas Mahmud, seolah hendak menutup “luka” dengan plester administrasi.
Sebelum pelantikan, tepatnya di Asrama Haji Gorontalo kepada wartawan Mahmud juga mengatakan, selama menjalani hukuman, SK honorer MA tidak dicabut.Pihaknya hanya menghentikan pembayaran gaji kepada yang bersangkutan selama masa penahanan.
“SK nya tetap berlaku karena sudah ditandatangani. Statusnya sebagai honorer tidak dicabut, hanya saja selama di penjara dia tidak menerima gaji,” kata dia didampingi stafnya saat itu.
Dia menambahkan bahwa dalam aturan P3K, yang penting adalah calon tidak pernah dihukum penjara lebih dari dua tahun. Dengan vonis hanya tujuh bulan, MA dianggap masih memenuhi syarat administratif untuk mendaftar P3K.
“Terkait yang dipertanyakan soal hukum, MA tidak menjalani hukuman dua tahun yang bersangkutan hanya tuju bulan. Di dokumen ok, kita juga uji publish agar masyarakat bisa mengetahuinya dan selama itu tidak ada yang menyangga,” jelasnya.
Namun penjelasan itu tak cukup. Warganet keburu murka. Terlebih lagi ketika mencuat informasi bahwa MA terjerat kasus pelecehan seksual terhadap anak, tuduhan yang sangat serius dan tidak bisa dianggap remeh, meski belum dikonfirmasi secara resmi dalam pelantikan.
Di media sosial, hujan kecaman membanjiri Kemenag Gorontalo. Publik mempertanyakan integritas institusi yang seharusnya menjadi garda moral bangsa. Mengapa seorang eks napi tetap dipertahankan sebagai honorer? Mengapa seleksi bisa diloloskan tanpa mempertimbangkan rekam jejak moral?
Kemenag berdalih tengah menunggu fatwa hukum dari pusat. Tapi publik tidak menunggu. Mereka sudah memberi vonis bahwa bobroknya sistem pengawasan dan ketidakpekaan terhadap kepercayaan masyarakat.
Berhembus juga asumsi dari publik jangan-jangan, kasus MA ini hanyalah puncak dari gunung es yang lebih dalam: soal nepotisme, pembiaran, dan ketertutupan dalam proses seleksi ASN?(isno/gopos)