Rudi masih mengingat bagaimana rupa lahan pesisir di Desa Pasar Rawa pada masa lalu. Desa yang jauhnya sekitar 70-80 kilometer dari kota Medan, Sumatra Utara, itu sangat kaya dengan ekosistem hutan mangrove, membuat masyarakat tidak pernah kesulitan menangkap ikan, udang, dan kepiting, hingga memanen madu.
Setelah merantau sekian lama dan kembali ke kampung halaman, Rudi justru mendapati sejumlah masyarakat masuk bui akibat mencuri sawit. Ini lantaran dipicu alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran di Desa Pasar Rawa dalam kurun waktu 2010-2018, yang membuat sumber mata pencaharian warga setempat hilang.
Rudi mencatat, kala itu, sekitar 2.000 hektare lahan yang sudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Kemudian, limbah sawit juga mencemari perairan Desa Pasar Rawa, Kecamatan Gebang, sehingga tidak ada lagi biota pesisir yang hidup di dalamnya.
“Masyarakat sudah tidak ada lagi sumber mata pencariannya, sehingga mereka mencuri sawit hanya untuk menahan lapar sejengkal perut. Mereka mencuri bukan untuk memperkaya diri, tapi untuk bertahan hidup karena mata pencariannya hilang,” cerita Rudi, ketika dijumpai ANTARA
Ekosistem mangrove di Desa Pasar Rawa sudah rusak parah sekitar tahun 2004. Ini yang diingat Wahyudi, Ketua Kelompok Tani (KT) Penghijauan Maju Bersama. Penebangan mangrove yang tidak terkontrol, sekaligus memusnahkan rumah bagi biota-biota pesisir. Masyarakat yang bertambak juga mengalami kegagalan akibat ekosistem yang rusak.
Jauh sebelum mendirikan kelompok tani, mulanya Wahyudi bekerja sebagai bandar arang di Desa Pasar Rawa. Banyak masyarakat setempat menebang mangrove untuk dijadikan bahan baku pembuatan arang. Mereka menjualnya kepada Wahyudi.
Kelompok tani kemudian dibentuk pada 2011. Saat itu, masyarakat belum bisa memutuskan ke mana arah kelompok tani yang baru didirikan. Hal yang mereka tahu, hutan mangrove telah rusak dan masyarakat perlu untuk melakukan penanaman kembali. Sebenarnya niat awal penanaman mangrove itu agar nantinya dapat dilakukan tebang pilih dan masyarakat tetap bisa memproduksi arang berbahan dasar kayu mangrove.
Setelah empat tahun berselang, mangrove yang ditanam masyarakat mulai tumbuh besar. Mereka menyadari bahwa menanam dan menumbuhkan mangrove bukan pekerjaan yang mudah. Menebang mangrove hanya membutuhkan waktu hitungan jam, sedangkan menumbuhkannya hingga menjadi benar-benar besar membutuhkan waktu tahunan. Pada titik ini, masyarakat dalam kelompok tani yang dipimpin Wahyudi mengurungkan niat awalnya.
Selama melakukan penanaman mangrove itu, KT Penghijauan Maju Bersama belum mendapatkan pendampingan dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) setempat. Pada 2017, kelompok ini dianjurkan untuk mengikuti program perhutanan sosial. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi mereka untuk mendapatkan izin pengelolaan hutan seluas 177,8 hektare.
Setelah surat keputusan (SK) akses kelola perhutanan sosial didapatkan pada 2018, masyarakat sepakat untuk menutup seluruh dapur arang di Desa Pasar Rawa. Mereka juga menyusun peraturan sendiri, berupa pemberian denda sosial bagi pelaku penebangan mangrove. Untuk setiap satu batang mangrove yang ditebang, pelaku wajib menggantinya dengan 1.000 batang propagul atau bibit mangrove.
Wahyudi bersyukur karena sampai sekarang tidak ada warga yang menebang. Kalaupun ada yang menebang, hanya digunakan untuk pancang bubu penangkap ikan.
Ekosistem Pulih
Upaya pelestarian mangrove di Desa Pasar Rawa terus berprogres. Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Pasar Rawa, kemudian dibentuk pada 2018 yang diketuai oleh Rudi. Sebelumnya, Rudi menjadi pengurus KT Penghijauan Maju Bersama.
Pembentukan LPHD Pasar Rawa bertujuan untuk memperluas area kerja masyarakat dalam pengelolaan hutan, dengan polanya masing-masing. Sama seperti KT Penghijauan Maju Bersama, LPHD Pasar Rawa mendapatkan izin perhutanan sosial dengan lahan kelolaan seluas 138 hektare.
Penanaman mangrove di Desa Pasar Rawa berlanjut pada 2020,dengan keikutsertaan masyarakat dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) serta pada 2021 dalam program Padat Karya Penanaman Mangrove (PKPM) melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) seluas 135 hektare. Penanaman juga masih berlanjut hingga kini.
Melalui bantuan untuk pembibitan mangrove dari BRGM, kelompok tani itu memanfaatkan sisa dana untuk membangun saung yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah, tempat pemantauan dan penjagaan hutan, hingga cikal bakal pengembangan wisata mangrove.
Seiring dengan meluasnya tutupan hutan mangrove, ekosistem kembali terbentuk. Menyadari bahwa biota pesisir mulai bermunculan kembali di sekitar hutan mangrove, masyarakat membuat rumpon atau rumah ikan. Melalui uang kas yang mereka kelola, masyarakat juga membeli perahu-perahu dan membuat alat tangkap ikan. Kini, ekosistem mangrove telah menjadi jantung yang lestari dan berkelanjutan bagi Desa Pasar Rawa.
Atas upaya kelompok tani itu dalam mendukung keberlanjutan lingkungan, mereka mendapatkan penghargaan Wana Lestari pada tahun 2024 ini. Sebelumnya, prestasi juga telah ditorehkan LPHD Pasar Rawa yang pada tahun 2021 memperoleh penghargaan Kalpataru kategori penyelamat lingkungan. Pada 2022, LPHD Pasar Rawa juga mendapatkan sertifikat nasional Program Kampung Iklim (Proklim).
Melalui LPHD, warga Pasar Rawa telah menyelamatkan hutan, walaupun sedikit. Hutan yang sebelumnya dijadikan kebun sawit oleh pengusaha, kini kembalikan lagi menjadi hutan.
Meskipun melalui liku sejarah yang sangat panjang dan rasa perih bagi masyarakat, mereka terus berupaya untuk mempertahankan itu sebagai jantung kehidupan serta tempat masyarakat mencari nafkah.
Ekosistem mangrove Desa Pasar Rawa menyumbang bagian penting pada luasnya tutupan hutan mangrove di Kabupaten Langkat. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Sumatra Utara tahun 2023, Kabupaten Langkat memang menjadi daerah dengan eksisting mangrove terluas di provinsi itu, dengan total mencapai 20.823 hektare yang didominasi mangrove lebat seluas 14.726 hekatre.
Sementara total mangrove eksisting di Provinsi Sumatra Utara mencapai 59.765 hektare. Luasan ini didominasi mangrove lebat dengan porsi sebesar 74,35 persen, sedangkan luas lahan potensi mangrove di provinsi itu mencapai 25.458 hektare.
Indonesia menjadi rumah bagi sekitar 23 persen hutan mangrove dunia. Berbagai manfaat penting dari mangrove, mulai dari pelindung alami dari erosi pantai, badai, dan tsunami, hingga penyerap karbon dalam jumlah besar, sehingga berperan dalam upaya memitigasi perubahan iklim.
Cita-cita global menuju emisi nol bersih (net zero emission/NZE), yang salah satunya dapat dicapai lewat penanaman mangrove, diikuti dengan kesepakatan demi kesepakatan di antara negara-negara, mungkin tidak sepenuhnya mengisi ruang visual masyarakat akar rumput.
Meskipun demikian, hal yang pasti dirasakan langsung masyarakat adalah pulihnya ekosistem mangrove membawa harapan perbaikan kehidupan bagi lingkungan pesisir, sebagaimana yang dicontohkan di Desa Pasar Rawa.
Ekonomi Baru
Sumber mata pencaharian nelayan dari hutan mangrove Desa Pasar Rawa telah kembali. Sumber ekonomi itu tidak hanya hasil tangkap nelayan berupa udang dan kepiting. Banyaknya ikan ketang atau ikan baronang, yang awalnya tidak sengaja terbawa jaring nelayan, mendorong ibu-ibu di desa itu turut memanfaatkannya, dengan diolah menjadi keripik.
“Kalau ikan ini sudah dijaring, dilepas lagi, ikan ini akan mati. Jadi kan sayang. Kami coba jual untuk dijadikan ikan asin, orang pun tidak minat. Jadi, kami coba membuat keripik ikan. Tidak langsung jadi seperti ini (dengan rasa yang enak dan kemasan bagus). Berbagai percobaan kami lakukan terlebih dahulu,” cerita Sabaria, anggota KUPS Maju Bersama Kuliner.
Setelah mengikuti inkubator bisnis di Medan, produk keripik ikan baronang dibungkus dalam kemasan yang lebih menarik. Mereka pun mulai berani untuk memasarkan produknya di beberapa toko oleh-oleh di Kabupaten Langkat.
Saat ini, keripik ikan baronang baru mendapatkan izin halal, Nomor Induk Berusaha (NIB), dan Produk Industri Rumah Tangga (PIRT). Setelah mempunyai rumah produksi, KUPS itu berharap nantinya mereka bisa mendapatkan izin BPOM serta Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) Bidang Pengolahan Ikan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kelompok ibu-ibu ini berharap, keripik ikan baronang menjadi salah satu ciri khas oleh-oleh khas Langkat yang akan dikenal oleh masyarakat luas. Bahkan, keripik produksi rumahan ini telah dilirik oleh pasar Malaysia.
Dari sisi pendapatan, yang menarik, sebagian hasil penjualan keripik ikan baronang masuk sebagai kas bersama yang dapat digunakan untuk kepentingan patroli hutan mangrove. Usaha rumahan ini juga telah memberdayakan ibu-ibu yang semula hanya mengurus rumah tangga dan tidak memiliki pekerjaan.
Ibu-ibu itu berujar bahwa di kampung, pekerjaan tidak ada untuk kaum perempuan, apalagi dengan tingkat pendidikan yang hanya lulus sekolah menengah pertama (SMP). Dengan usaha kripik ikan baronang, mereka, kini memiliki penghasilan, yang dikerjakan di rumah.
Tidak hanya ikan baronang, ekosistem mangrove memunculkan potensi ekonomi baru melalui pemanfaatan pohon nipah. Rudi menyebut keberadaan nipah, yang luasnya ratusan hektare dan banyak tumbuh di lingkungan hutan mangrove, menjadi harta karun terpendam bagi warga Desa Pasar Rawa.
Sejauh ini, LPHD Pasar Rawa berhasil memproduksi gula nipah yang masih dijual untuk konsumsi masyarakat sekitar. Batang nipah yang disadap niranya akan mengeluarkan cairan manis dan jika dimasak selama dua jam akan membeku menjadi gula padat, seperti gula merah dari pohon enau atau kelapa. Satu batang nipah bisa menghasilkan 10-20 liter air nira.
Rudi berharap, LPHD Pasar Rawa nantinya dapat mengembangkan produk turunan lainnya dari pohon nipah, seperti es buah nipah, manisan, hingga keripik. Segudang manfaat pohon nipah lainnya juga potensial sebagai sumber ekonomi baru, mulai dari minyak nipah, tepung nipah, garam nipah, kertas rokok dari daun nipah, atap dari daun nipah, hingga lidi nipah.
Satu pohon nipah yang ada di Desa Pasar Rawa, ternyata bisa sampai tujuh hingga 10 manfaat secara ekonomi bagi masyarakat. Sebelumnya, mereka tidak tahu bahwa dari sebatang pohon nipah bisa menjadi tambahan pemasukan bagi ibu-ibu di desa itu.
Sama seperti KUPS Maju Bersama Kuliner, LPHD Pasar Rawa berharap nantinya bisa membangun rumah produksi sendiri. Dengan begitu, masyarakat setempat semakin yakin dan percaya bahwa pohon nipah memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan di Desa Pasar Rawa. Lapangan kerja bagi masyarakat pun dapat terbuka semakin lebar.
Mangrove memang bukan sekadar pohon biasa. Lebih dari itu, keberadaan ekosistem mangrove yang dikelola secara berkelanjutan turut memberi kesejahteraan pada masyarakat pesisir.
Masyarakat Desa Pasar Rawa tidak sebatas mendedikasikan hidupnya sebagai penjaga dan pelestari hutan mangrove. Mereka terus saling memberdayakan satu sama lain. Gerakan demi gerakan kecil yang dilakukan oleh tiga kelompok masyarakat Desa Pasar Rawa menjadi representasi bagaimana gotong royong dan kemauan yang kuat untuk berinovasi, perlahan-lahan membawa perubahan bagi kehidupan desa dalam jangka panjang.(*)
Sumber: Antara