Beberapa pekan belakangan ada satu fenomena keagamaan baru yang muncul di Gorontalo. Seorang pesohor di Gorontalo tiba-tiba membentuk sebuah WhatsApp grup yang diberi nama MOTABIYA. Dalam Video yang diunggahnya melalui akun Facebook pribadinya, Isal Gorapu–begitu ia disebut–menjelaskan WAG itu sengaja dibuat dengan tujuan untuk saling mengingatkan akan pentingnya solat lima waktu.
Tidak tanggung-tanggung, belum sampai satu bulan sejak grup itu dibuat, WAG tersebut sudah memenuhi kapasitas grup selanjutnya melahirkan angkatan berikutnya. Sampai saat ini, sudah ada lima WAG dengan masing-masing anggota didalamnya sekitar 500an anggota dan tidak menutup kemungkinan akan muncul WAG Motabiya 6 dan seterusnya mengingat banyaknya peminat yang ingin bergabung menjadi anggota di dalamnya.
Fenomena ini sebagai bentuk ekspresi keislaman baru di Gorontalo tentu sangat menarik. Pasalnya, kehadiran Isal dengan WAG Motabiya kemudian memunculkan semangat kolektif baru dan semakin meneguhkan bentuk identitas keislaman di Gorontalo. Padahal, ajakan Isal Gorapu untuk saling mengingatkan perihal tentang kewajiban solat tentu tidak pernah luput dari setiap pesan dakwah dan selalu menjadi seruan universal yang disampaian oleh banyak pendakwah di Gorontalo.
Fakta ini kemudian melahirkan banyak pertanyaan tentang WAG Motabiya. Sebenarnya, ada apa dengan Grup WA Motabiya yang akhir-akhir ini populer di Gorontalo? Apakah kehadiran Grup WA Motabiya sampai lima angkatan itu adalah ekspresi keislaman biasa? Atau ada ideologi keislaman yang sedang bertarung di dalamnya? Atau apakah ini hanya bentuk aktualisasi identitas semata?
WAG Motabiya sebagai Bentuk Kesalehan Aktif
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu untuk dipahami terlebih dahulu bahwa WAG Motabiya adalah bentuk adaptasi teknologi oleh agama. Hal ini membuktikan bahwa agama peka terhadap satu seting sosial. Dalam artian, agama terus mengalami sebuah proses penyesuaian dengan lingkungan di mana dia hidup dan berkembang.
Fenomena ini turut menjadi anti tesis dari banyak pendapat yang mengatakan bahwa kehadiran internet dan media sosial sebagai turunannya akan membentuk sekularisasi pada masyarakat, kenyataannya WAG Motabiya adalah malah menjadikan banyak anggotanya semakin saleh.
Pada titik ini, hubungan antara agama dan media tidak lagi bisa kita sebut sebagai dua entitas yang terpisah meskipun keduanya berbeda; WhatsApp sebagai media sosial merupakan hal yang profan dan agama adalah hal yang sakral.
Relasi keduanya mengarah pada apa yang disebut Stewart M Hoover sebagai mediatiside, proses di mana media dan agama saling membutuhkan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Rasonalitas yang mengarah pada sekularisasi kehidupan modern menjadikan banyak masyarakat yang berusaha untuk mencari pemuas dahaga rohani dengan memanfaatkan perangkat modernitas sebagai tumpuan akhir dalam penyelasian masalah kekinian, salah satunya adalah WA Grup.
Jadi, tidak mengherankan apabila kehadiran WA Grup Motabiya itu membangkitkan semangat kolektif dalam beragama khususnya perihal saling mengingatkan dalam ibadah sebagaimana tujuan awal pembentukan WAG Motabiya.
Selain itu, kehadiran Isal Gorapu dengan WAG Motabiya ini bisa diidentitifkasi sebagai bentuk kesalehan aktif. Kesalehan aktif dalam definisi yang dikemukakan oleh Asef Bayat adalah sebuah rasa tanggung jawab individu untuk membuat pilihan perihal keagamaan dalam kehidupan modern.
Pada dasarnya, kesalehan aktif ini merupakan sebuah respon terhadap relativitas komitmen keagaaman yang semakin menunjukkan keragaman lokal dan global yang muncul bersamaan dengan modernisasi di wilayah perkotaan.
Sederhananya, hal ini cenderung mengarah pada penyempitan paham keislaman melalui pembatasan pemikiran salafis.
Adapun kesalehan aktif ini nampak dari perilaku seseorang yang memilih untuk memutuskan hubungan dengan masa lalunya atau dalam bahasa kekinian disebut dengan hijrah. Tidak hanya itu, wujud dari kesalehan aktif ini juga menjadikan seseorang merasa punya beban kewajiban untuk menceramahi orang-orang yang beriman secara pasif.
Sehingga dalam konteks ini apa yang dilakukan Isal dengan WAG Motabiya tidak bisa kita lihat hanya sebagai praktek keislaman biasa. Ada semacam pengarusutamaan gerakan islam sayap kanan dan ideologi keislaman yang sedang bertarung memperebutkan ruang publik islam di Gorontalo.
Hijrah dan Popularitas Public Figure
Sebagai seorang public figure yang mentereng di Gorontalo, Isal Gorapu punya modal yang mungkin tidak dimiliki oleh banyak pendakwah lain. Modal itu adalah popularitas. Meskipun sebagian pendakwah juga ada yang sudah dikenal luas di kalangan masyarakat Gorontalo, tapi popularitas yang mereka miliki cenderung berbeda dengan popularitas Isal.
Sebagai public figure yang dikenal sebagai komedian lokal, Isal lebih mudah untuk menjangkau banyak khalayak dengan berbagai latar belakang di Gorontalo. Hal semacam ini yang sulit untuk dijangkau oleh popularitas banyak pendakwah di Gorontalo.
Popularitas dan transformasi Isal yang hijrah ini memungkinkan untuk dimanfaatkan oleh para pendakwah Islam di Gorontalo khususnya mereka yang memiliki keyakinan Islam berwajah tunggal.
Popularitas Isal bisa jadi akan bertransformasi menjadi komoditas keislaman baru di Gorontalo yang akan dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan dakwah yang tidak bisa dijangkau dengan popularitas pendakwah dan hanya bisa disentuh dengan modal popularitas Isal Gorapu.
Jadi, kalau menggunakan logika ini, saya berasumsi ketertarikan beberapa anggota WAG Motabiya bukan atas dorongan kesadaran ingin beragama secara sungguh-sungguh melainkan ada sugesti popularitas Isal yang hal itu digiring dalam bentuk ekspresi keislaman baru.
Sehingganya adalah sebuah kewajaran ketika WAG Motabiya dibanjiri oleh anggotanya.
Sebagai penutup, saya hanya ingin menekankan bahwa tulisan ini dibuat bukan untuk mereduksi semangat motabiya kawan-kawan. Berdosalah kita yang belum sempurna dalam menjalankan ajaran-ajaran agama padahal sudah didukung oleh perangkat teknologi yang mumpuni. Begitu.