Kita pasti sudah tidak asing lagi mendengar kata, “17 agustus tahun 1945” yang mana menandakan hari kemerdekaan negeri tercinta ini. Saat itu, semua orang mengibarkan bendera merah putih, ketika upacara dan menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh semangat.
“17 agustus tahun 1945, itulah hari kemerdekaan kita,” kemerdekaan yang mana ? begitu lantang kita menyanyikan lagu kemerdekan tetapi di luar sana, masih ada perempuan yang haknya dirampas, suaranya tak pernah didengar, dan mimpinya dicabut paksa. Apa arti kemerdekaan jika setengah dari rakyat negeri ini masih dipenjara oleh diskriminasi dan kekerasan? Jangan bangga menyebut kita bangsa merdeka jika perempuan masih harus berjuang sendirian untuk hal-hak yang seharusnya menjadi miliknya sejak lahir.
Khususnya di tanah kita sendiri, Gorontalo, masih banyak perempuan yang belum merasakan arti merdeka sepenuhmya. Bukan cerita jauh, ini cerita tetangga, saudara, bahkan mungkin teman kita. Tahun lalu, ratusan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tercatat di berbagai wilayah. Ada gadis belia yang dipaksa menikah demi alasan adat,meski hatinya menolak.ada buruh perempuan yang bekerja dari pagi sampai malam,tapi gajinya tidak sepadan bahkan mengalami pelecehan ditempat kerja. Ada ibu yang bertahun-tahun menjadi korban KDRT, tapi memilih diam karena takut anak-anaknya terlantar.mereka ini bagian dari kita, bagian dari bangsa yang katanya merdeka tetapi mengapa hidup mereka justru masih terbelenggu?
Kita sering lupa bahwa kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan bangsa asing, tetapi juga bebas dari ketidakadilan dan ketakutan di tanah sendiri. Kemerdekaan seharusnya berarti setiap warga negara, tanpa memandang gender atau usia, bisa hidup dengan aman, dihargai, dan mendapatkan haknya. Apa gunanya kita mengibarkan bendera setinggi langit, jika di sisi lain masih ada air mata yang jatuh diam-diam karena kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi?
Jika bangsa ini benar-benar mau disebut merdeka, maka kemerdekaan itu harus dirasakan oleh semua, termasuk mereka yang selama ini terpinggirkan. Pemerintah boleh saja membuat program perlindungan perempuan dan anak, tapi tanpa dukungan masyarakat yang berani bersuara dan melawan ketidakadilan, semua itu hanya akan jadi slogan kosong.
Merdeka adalah saat tidak ada lagi gadis yang dinikahkan paksa demi adat, saat tidak ada lagi buruh perempuan yang dilecehkan di tempat kerja, dan saat tidak ada lagi ibu yang takut melawan kekerasan di rumahnya sendiri. Selama itu belum terwujud, kemerdekaan kita hanyalah janji yang belum ditepati.
Kita memang sudah merdeka di atas kertas, tapi kemerdekaan sejati baru akan ada ketika semua orang terutama perempuan dan anak hidup tanpa rasa takut. Jangan biarkan angka-angka kekerasan itu terus bertambah dan hanya jadi berita yang lewat di timeline kita. Mulai dari hari ini, dari lingkungan kita, mari kita jadi suara bagi mereka yang bungkam, jadi perisai bagi mereka yang lemah, dan jadi pengingat bagi bangsa ini: kemerdekaan bukan hadiah yang selesai diterima, tapi perjuangan yang harus terus dijaga.*
Penulis: Annisa Yantu, Anggota IMM Universitas Muhammadiyah Gorontalo dan Founder Walidah Muda.