Basri Amin
Lembaga Kajian Sekolah & Masyarakat – LekSEMA
PADA tanggal 16 Agustus 1945, Sang Saka Merah Putih sudah berkibar istimewa di Gorontalo. Memori lama kita tentu tetap abadi tentang “Proklamasi” dan kibaran “Merah Putih” di Gorontalo pada hari Jumat 23 Januari 1942 oleh Nani Wartabone yang ditopang gerakan patriotiknya oleh patriot-patriot terdepan kebangsaan di Gorontalo dan oleh kelompok rakyat –-Pasukan Berani Mati–, termasuk Gerakan Pandu dan anggota partai-partai politik di masa itu.
Dengan nasionalisme yang menyala, merah Putih kembali berkibar di Gorontalo, sehari sebelum kibaran bersejarah di Jakarta…
Nani Wartabone menulis, bahwa pada “16 Agustus 1945, saya mengadakan upacara penaikan kembali Sang Saka Merah Putih dengan iringan lagu Indonesia Raya di halaman bekas kantor Kenkanrikan (bekas kediaman Asisten Residen di Gorontalo). Rupanya, pada tanggal 15 Agustus 1945, Nani Wartabone telah menerima “penyerahan kekuasaan dari penguasa Jepang, Kinosita, kepada beliau (NW, 1978: 4).
Di masa itu, bendera Merah Putih lebih sering disebut dengan kata-kata “Sang Saka Merah Putih.” Telah dipelajari mendalam oleh Prof. Muhammad Yamin, bahwa penggunaan “Merah” dan “Putih” serta makna-makna dasarnya memang sudah mengakar dalam, jauh dan meluas di Nusantara, termasuk di Sulawesi. Kata Saka bermakna “gelaran-kemegahan yang turun temurun.” Dengan demikian, Sang Saka artinya “benda warisan yang dimuliakan.” (Yamin, 1958: 230-231).
Lagi-lagi, sejarah keindonesiaan kita di Gorontalo menemukan cahaya sejarahnya yang unik dan menyala. Kabar Proklamasi “17 Agustus 1945” di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, “Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia” yang dibacakan oleh Soekarno — didampingi Bung Hatta, diketahui oleh rakyat di Gorontalo nanti pada tanggal 28 Agustus 1945, setelah Nani Wartabone dan kawan-kawannya berhasil menyimak beritanya melalui Radio – Jepang. Maka, semakin berkobar lagi jiwa proklamasi itu di Gorontalo. Napas panjang Proklamasi “23 Januari 1942” menggema kembali…
Terhadap “Kemerdekaan” di Gorontalo yang heroik pada 23 Januari 1942 tersebut, Prof. S.R. Nur, menuliskan kalimat yang sangat jernih dan bernyawa: “penggulingan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia yang dilakukan di Gorontalo.” Dengan demikian, perjuangan kemerdekaan bukanlah sekadar “penangkapan sejumlah aparatus Belanda di Gorontalo…” yang jumlah resminya hanya puluhan orang saja.
Perjuangan Gorontalo untuk Merdeka itu bisa dilacak jiwa-nya yang menyala-nyala sampai jauh ke belakang, antara lain sampai di masa Raja Arus Bone I (Raja Suwawa, 1960), Raja Bolango Mohammad Kamaruddin Hassan van Gobel (1862) atau di masa Raja Panipi, Bobihoe (1872—1974), Raja Tangahu (Suwawa), hingga perlawanan Rakyat oleh Olabu dan Tamuu di Sumalata (1889), dst (Nur, 1985).
Adalah kenyataan yang unik bahwa jiwa Merdeka itu di Gorontalo selalu bisa dimaterialkan perjuangannya di atas kebersamaan sebagai bangsa majemuk. Di masa “23 Januari 1942”, kita bukan hanya menggema dengan wibawa – kebesaran dan kerakyatan dari seorang Nani Wartabone, tetapi kita juga menemukan patriot-patriot hebat bernama Pendang Kalengkongan, nasionalis administrator – pemikir bernama R. Koesno Dhanupoyo dan Oe H Buluati. Demikian juga dengan tokoh-tokoh besar lainnya, seperti Dokter Saboe dan Ibrahim Muhammad, khususnya “Komite 12”. Mereka, pada dasarnya, adalah “setara dalam perjuangan” Kemerdekaan, kendati mereka harus saling merelakan dalam memilih peran, berbagi posisi, dan pengambilan resiko.
Patriotisme perjuangan dan simbolisme bukti-buktinya tidak harus diukur oleh nama siapa dan wajah yang bagaimana yang terpampang di baliho selebrasi dan di museum negara serta di dalam buku-buku buatan pakar. Yang jauh lebih mendasar adalah penghayatan kita yang mendalam tentang “jiwa kemerdekaan” dan “persatuan bangsa!”, serta “generasi patriotik” yang gigih menjawab panggilan zamannya di tengah-tengah dunia.
Di Kabila, Bone Bolango, di sebuah titik yang unik, kita bisa menemukan sebuah Tugu Peringatan
“Empat Tahun Proklamasi” Kemerdekaan Indonesia. Di Tugu itu, yang kita temukan bukan hanya “17 Agustus 1945”, melainkan juga tentang “27 Desember 1949”. Rupanya, Tugu Kabila ini hendak mengesankan sebuah pengetahuan keindonesiaan yang sangat penting dan yang tak bisa kita lupakan, bahwa setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta, posisi “Indonesia” kita sesungguhnya dikepung oleh begitu banyak guncangan, pergolakan, dan ketidakpastian. Bahkan, ibu kota Republik di Jakarta terpaksa harus pindah ke Jogjakarta awal tahun 1946 dan nanti pada “27 Desember 1949” posisi Jakarta beroleh marwah kemerdekaannya kembali. Di tahun-tahun yang penuh gejolak itulah yang disebut sebagai “Revolusi Kemerdekaan” (Kahin, 1970).
Pada hari itu, 27 Desember 1949, akhirnya “Belanda menyatakan pengakuan atas Kemerdekaan Indonesia.” Bung Hatta di Belanda berpidato resmi di hari itu, sementara Sri Sultan IX di Istana Negara, “mengibarkan sang Saka Merah Putih.” Dengan penghormatan besar disaksikan oleh rakyat (https://www.youtube.com/watch?v=uj94LJPKBKw), bendera tri warna Belanda diturunkan dari tiangnya. Besoknya, 28 Desember 1949, barulah Presiden Soekarno, keluarga, dan Bendera Pusaka Merah Putih menuju Jakarta. Disambut ribuan rakyat, sepanjang tujuh kilometer dari Kemajoran sampai Istana Merdeka di Gambir (Antara, 2017: 59-60).
Merdeka dalam pengetahuan! Merdeka karena Perjuangan!
Kabila di Gorontalo, dari ujung negeri yang relatif jauh, juga membuktikan jiwa – raganya yang cinta Merah Putih. Sampai kini, Tugu Kabila itu masih terus kokoh berdiri di sana: untuk Kemerdekaan yang sesungguhnya. Kendati, ia terkesan sunyi dan tak pernah disapa oleh sejarah bangsanya di Gorontalo. Entah?! ***