Oleh: Prof. Dr.Ir.Fadel Muhammad
(Wakil Ketua MPR RI)
Bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara jika nanti ditentukan dengan Ketetapan MPR berkonsekuensi pada amandemen kelima UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi di sisi lain makin tampak peran kunci DPD yang sulit ditawar karena hakekat DPD itu sendiri.
Badan Pengkajian MPR RI terus menindaklanjuti Rekomendasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI masa jabatan 2014-2019 tentang Pokok-Pokok Haluan Negara. Dari kajiannya sejauh ini, Badan Pengkajian MPR menilai bahwa Pokok-Pokok Haluan Negara sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara seperti diamanatkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Untuk itu Badan Pengkajian MPR menargetkan paling lambat akhir tahun 2021 Rancangan Pokok-Pokok Haluan Negara sudah dapat diselesaikan.
Adapun nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara adalah nomenklatur yang terdapat dalam Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2019 tentang Rekomendasi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Masa Jabatan 2014-2019. Pilihan nomenklatur tersebut, seperti disebutkan oleh Badan Pengkajian MPR, tidak dimaksudkan sekadar untuk membedakan dengan nomenklatur Garis-garis Besar Haluan Negara yang pernah ada, tetapi karena di dalam Pokok-Pokok Haluan Negara hanya akan memuat kebijakan strategis yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur falsafah bangsa Pancasila, serta merupakan pengejawantahan dari UUD NRI Tahun 1945.
Pokok-Pokok Haluan Negara akan menjadi rujukan atau arahan bagi perencanaan, penyusunan, keputusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pembangunan pemerintah.
Peran Kelompok DPD di MPR
Berdasarkan diskusi dengan para pakar/akademisi yang dilakukan Badan Pengkjian MPR sejauh ini, bentuk hukum yang diusulkan yang paling kuat adalah dalam bentuk Ketetapan MPR. Menurut Badan Pengkajian MPR, bentuk hukum Ketetapan MPR memiliki kedudukan hukum yang kuat karena dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Ketetapan MPR berada di atas Undang-Undang. Bagi Kelompok DPD di MPR, dengan makin menguatnya Pokok-Pokok Haluan Negara untuk ditetapkan melalui Ketetapan MPR, akan makin menguatkan kewenangan DPD RI dalam ikut berperan dalam penataan sistem ketatanegaraan. Bahkan bisa dikatakan dalam kaitan dengan pembentukan Pokok-Pokok Haluan Negara, DPD memegang peran kunci.
Seperti disebutkan oleh Badan Pengkajian MPR, secara filosofis, Pokok-Pokok Haluan Negara adalah dokumen hukum bagi penyelenggara negara yang berbasis kedaulatan rakyat. Artinya, rakyatlah melalui lembaga MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang merancang dan menetapkannya, lalu ditetapkan oleh MPR untuk selanjutnya menjadi rujukan bagi Presiden dan lembaga negara lainnya dalam menyusun program- program pembangunan sesuai wewenangnya masing-masing.
Kemudian disebutkan bahwa secara ideologis, keberadaan Pokok-Pokok Haluan Negara dipandang mendasar dan mendesak, mengingat tidak saja proses pembangunan nasional memerlukan panduan arah dan strategi baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang, tetapi lebih mendasar lagi yaitu untuk memastikan bahwa proses pembangunan nasional merupakan manifestasi dan implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa Pancasila.
Sedangkan secara yuridis, seperti dikemukakan Badan Pengkajian MPR, MPR merupakan pelaksana kedaulatan rakyat yang paling sempurna karena memiliki dua unsur keanggotaan yaitu anggota DPR dan anggota DPD. Jadi, menurut Badan Pengkajian MPR, dalam diri MPR itu tidak saja ada representasi rakyat Indonesia secara keseluruhan, tetapi juga ada representasi kepentingan daerah. Dengan demikian DPD yang mewakili daerah dan orang-orang daerah yang dipilih oleh warga daerahnya masing-masing, merupakan representasi utuh dari kepentingan daerah.
Peran penting DPD juga dikemukakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. Dalam sebuah bukunya (Konstitusionalisme Haluan Negara untuk Mewujudkan Tujuan Negara Berdasarkan Pancasila), Prof. Jimly menyebutkan, jika pilihan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara (Prof. Jimly masih menyebutnya sebagai GBHN) adalah Ketetapan MPR maka diperlukan Perubahan Kelima UUD NRI Tahun 1945 terlebih dulu, yaitu dengan mengubah ketentuan Pasal 3. Pasal 3 UUD 1945 saat ini berisi 3 ayat yang tidak mengatur sama sekali tentang garis besar haluan negara. Oleh karena itu, diperlukan tambahan ketentuan baru. Prof. Jimly antara lain mengusulkan penambahan “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis besar haluan negara atas usul Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah.” Ia menekankan disebutkannya “Presiden” dan “Dewan Perwakilan daerah (DPD)”. Mengapa Presiden? Kata Prof. Jimly, karena pemerintahlah yang paling banyak menguasai informasi dan keahlian yang dapat diharapkan menyusun perencanaan jangka panjang secara lebih baik. Lalu, mengapa Dewan Perwakilan Daerah (DPD)? Karena DPD-lah di Indonesia yang paling menguasai masalah-masalah di daerah- daerah, sehingga GBHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) bukan saja lahir dari dan mencerminkan idealitas normatif dari atas, tetapi juga mencerminkan realitas faktual dari bawah. Setelah rancangan diusulkan, menurut Prof. Jimly, barulah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai anggota MPR akan terlibat dalam mengambil keputusan untuk menetapkan garis besar haluan negara tersebut dalam forum MPR sebagaimana mestinya.
Sekali lagi, catatan Prof. Jimly itu menunjukkan pengakuan peran Kelompok DPD di MPR RI yang makin meningkat wewenangnya dalam ikut menentukan sistem ketatanegaraan negara kita. Bahwa bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara jika nanti ditentukan dengan Ketetapan MPR memang berkonsekuensi pada amandemen kelima UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi di sisi lain makin tampak peran kunci DPD yang sulit ditawar karena hakekat DPD itu sendiri. Ini bentuk hasil perjuangan DPD sejak lama.
Kalau melihat sedikit ke belakang, Pimpinan DPD RI bersama Kelompok DPD di MPR tercatat berjuang untuk mendapatkan dukungan dari anggota MPR agar ikut berperan dalam sistem ketatanegaraan, terjadi ketika pada 9 Mei 2007 menyerahkan usul Perubahan Pasal 22D UUD 1945 kepada Pimpinan MPR dan pada saat diajukan telah ditandatangani pengusul sebanyak 238 orang Anggota MPR (syarat sesuai Pasal 37 UUD 1945 adalah minimal 1/3 anggota MPR atau 226 orang). Namun pada saat itu dinamika politik yang terjadi di MPR yang mengakibatkan penarikan dukungan dari Anggota Fraksi, sehingga pada tanggal 6 Agustus 2007 disepakati bahwa belum saatnya meneruskan proses usul perubahan Pasal 22D UUD 1945. Tahun 2009 dibuat rumusan naskah komprehensif tentang usul perubahan UUD 1945. Tahun 2010 dimulai komunikasi politik antar-partai dan antar-fraksi di MPR yang dilakukan Kelompok DPD di MPR untuk menggalang dukungan politik mengenai usulan perubahan UUD 1945 menyangkut wewenang DPD. Pada 2012, tindaklanjut dari komunikasi politik Kelompok DPD di MPR berhasil mendorong pembentukan Tim Kerja Kajian Ketatanegaraan Indonesia di MPR RI.
Kemudian pada 8 Oktober 2012 disampaikan pengajuan Uji Materi terhadap UU 27/2009 (UU MD3) dan UU 12/2011 (UU P3) terkait fungsi legislasi DPD RI yang sesuai UUD 1945. Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, meneguhkan (lihat Rekam Jejak Kelompok DPD di MPR 2004-2020):
1. DPD terlibat dalam pembuatan program legislasi nasional (prolegnas);
2. DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana halnya atau bersama-sama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. DPD berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD 1945;
4. Pembahasan UU dalam konteks Pasal 22D ayat (2) bersifat tiga pihak (tripartit), yaitu antara DPR, DPD, dan Presiden.
5. MK menyatakan bahwa ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945, baik yang diminta maupun tidak.
Peningkatan Wewenang DPD RI
Hasil itu kemudian ditindaklanjuti dengan langkah DPD RI yang menyampaikan usul inisiatif RUU Kelautan kepada Baleg DPR pada tanggal 13 Maret 2013. UU Kelautan kemudian disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI 29 September 2014 yang kemudian ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 Oktober 2014 sebagai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. UU ini menjadi produk hukum pertama yang dihasilkan DPR RI bersama Pemerintah dan DPD RI.
Jejak legislasi DPD lainnya, tahun 2014 Kelompok DPD di MPR berhasil mendorong Rekomendasi MPR RI masa jabatan 2009-2014 melalui Keputusan Keputusan MPR No. 4/MPR/2014 tentang Rekomendasi MPR Periode 2009-2014. Isi rekomendasi MPR memuat rekomendasi mengenai penataan sistem ketatanegaraan Indonesia, di mana salah satunya penguatan kewenangan DPD RI. Kemudian pada 2018, melalui UU No. 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua UU MD3, membawa implikasi bagi DPD RI yaitu berupa penambahan wewenang untuk melakukan pemantauan dan evaluasi Perda dan Ranperda, penambahan komposisi Pimpinan DPD RI, dan kemandirian Anggaran. Kemudian, melalui UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berimplikasi pada penambahan wewenang DPD RI terhadap pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-undang.
Pada 2019 melalui Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2019 tentang Rekomendasi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Masa Jabatan 2014-2019, terdapat tujuh poin rekomendasi, yang tiga di antaranya adalah:
a.Tentang Pokok-pokok Haluan Negara.
b.Penataan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
c.Penataan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dengan demikian, seiring dengan penyusunan Rancangan Pokok-Pokok Haluan Negara yang akan dilakukan Badan Pengkajian MPR, bersamaan dengan itu dilakukan penataan kewenangan DPD.##