Oleh :
Ali MobiliU
(Jurnalis, Pemerhati budaya dan Pendidikan)
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Gorontalo pada tahun 2024 ini, nampaknya masih dibayang-bayangi oleh perilaku mayoritas pemilih yang cenderung berpotensi emosional-irasional yang sangat rentan memunculkan fenomena politik transaksional.
HAL itu merujuk pada peta variable demografi pemilih di Provinsi Gorontalo berdasarkan tingkat pendidikan, yang masih didominasi oleh kelompok masyarakat berpendidikan rendah.
Dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Gorontalo tahun 2024 yang mencapai angka 881.206 jiwa, sebanyak 592.468 jiwa atau hampir mendekati 60 persen yang berpendidikan rendah.
Dari data Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi Gorontalo tahun 2023 menunjukkan, bahwa mereka yang berusia 17 tahun ke atas lulusan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 344.970 jiwa (28,78%), lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 134.740 jiwa (11,24) sementara yang tidak lulus SD berada pada angka sekitar 112. 678 jiwa.
Sementara pemilih lulusan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) sebanyak 213.260 jiwa (17,79%),D1 dan D2 sebanyak 4.390 jiwa (0,37%), D3: 10.930 jiwa (0,91%), Sarjana (S1) sebanyak 55.714 jiwa (6,3 %), S2 sebanyak 4.122 jiwa dan S3 sebanyak 328 orang. Dengan begitu, kelompok masyarakat pemilih di Gorontalo yang potensial bersikap rasional hanya berada pada kisaran 288.744 jiwa.
Dari gambaran peta pemilih di Gorontalo berdasarkan tingkat pendidikan tersebut di atas, maka paling tidak, terdapat 2 perspektif yang dapat ditarik benang merahnya, yakni :
Pertama, fakta ini menunjukkkan ketidakberhasilan Pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam sektor pendidikan. Jangankan berbicara tuntas wajib belajar 12 tahun, wajib belajar 9 tahun saja, Pemerintahan di Gorontalo termasuk gagal. Buktinya, dari data BPS tahun 2023, Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) di Gorontalo hanya 8,10 tahun atau rata-rata penduduk Gorontalo berpendidikan kelas 2 SLTP.
Yang lebih parah lagi dan ini cukup miris, bahwa dari data yang dirilis BPS tahun 2024, Provinsi Gorontalo masih masuk dalam 3 besar sebagai daerah dengan akses pendidikan setingkat SMA terendah di Indonesia. Akses pendidikan setingkat SMA di Provinsi Gorontalo hingga tahun 2023, hanya berkisar 46,19 persen atau masuk rangking ke-3 setelah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berada di angka 43, 46 persen dan Provinsi Induk Papua sebesar 39,5 persen.
Bahkan untuk akses pendidikan setingkat SMA ini, Gorontalo kalah pamor dengan Provinsi Papua Barat yang sudah bertengger pada angka 59,99 persen. Jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Sulawesi, Provinsi Gorontalo termasuk rangking satu sebagai daerah dengan akses pendidikan setingkat SMA terendah. Artinya, Provinsi Gorontalo masih kalah dengan Sulawesi Tengah yang sudah berada pada posisi 55,69 persen dan Sulawesi Barat 54,79 persen.
Dari prosentase akses pendidikan SMA di Gorontalo yang hanya 46,19 persen tersebut, maka dari total populasi anak usia 15-24 tahun sebanyak 212.877 jiwa sesuai data BPS tahun 2021, maka hanya sekitar 98 ribu-an anak yang mengenyam bangku pendidikan setingkat SMA.
Itu artinya,sekitar 100 ribu lebih anak usia 15-24 tahun, sejak 2021 tidak bisa mengakses pendidikan setingkat SMA. Bahkan boleh disebut jumlah 100-an ribu anak remaja Gorontalo tersebut sebagai “generasi yang hilang” dalam 10 hingga 20 tahun ke depan.
Dari gagalnya pendidikan di Gorontalo selama ini, khususnya terhadap indeks akses pendidikan SMA terendah di Indonesia, sejatinya menjadi pukulan telak bagi para calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang sudah pernah diberikan kesempatan oleh rakyat Gorontalo menjadi pemimpin di Puncak Botu, maupun yang sudah pernah berada dalam lingkaran kekuasaan di Puncak Botu.
Tanpa menyebut nama sekalipun, rakyat Gorontalo sudah tau siapa mereka dan siapa yang gagal. Yang jelas, seseorang yang sudah pernah gagal, tapi kemudian meminta kesempatan lagi untuk memimpin, rasa-rasanya tidak elegan ditinjau dari sisi etik.
Kedua, potret demografis pemilih Gorontalo, berdasarkan tingkat pendidikan yang rendah tersebut akan memunculkan fenomena pemilih yang cenderung “emosional” dan “irasional”. Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa cita-cita dan obsesi melahirkan pemimpin yang berkualitas pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun ini, sepertinya sulit terwujud.
Kampanye yang sejatinya menjadi ajang adu gagasan, tentang bagaimana membangun Gorontalo yang maju dan konstruktif dengan narasi politik yang mencerahkan dan mencerdaskan, semuanya itu akan tenggelam oleh kampanye politik yang cenderung menampilkan diksi-diksi dan narasi populis, “adebo doi” yang lebih dominan.
Bahkan diprediksi, fenomena memperebutkan suara rakyat pada Pilgub kali ini, hampir dapat dipastikan akan tetap diwarnai oleh narasi dan diksi-diksi destruktif, kampanye hitam, politik adu domba dan saling memfitnah atau saling menjatuhkan. Mengapa? Karena hanya itulah cara satu-satunya yang paling ampuh dilakukan, ditengah masyarakat pemilih yang mayoritas pemilihnya emosional-irasional.
Dengan kata lain, kampanye yang menonjolkan program dan visi-mis, diyakini tidak akan laku di tengah potret demografis penduduknya yang mayoritas berpendidikan rendah. Selamat berpesta demokrasi.(*)