Oleh: Dahlan Pido, SH., MH. (Praktisi Hukum/Advokat)
ASAS persamaan di depan hukum (Equality before the Law) tercantum dalam Pasal 27 ayat (1), 28 ayat (1) UUD1945, Jo Pasal 5 ayat (1) U.U. No. 14 Tahun 1970, Jo UU No. 35 Tahun 1999 tentang HAM, Jo Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM, Jo UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan penjelasan dalam Pasal 54, 55 dan 56 ayat (1) KUHAP. Dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, yang menempatkan hukum pada posisi tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum, jangan hukum dijadikan sebagai alat membenarkan kekuasaan. Hukum bertujuan untuk melindungi kepentingan rakyat, karena kedudukan penguasa dengan rakyat di mata hukum sama, bedanya hanya fungsinya. Apabila tidak ada persamaan hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal.
Dalam Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 114 KUHAP, semua tingkat pemeriksaan dalam proses Peradilan, Tersangka / Terdakwa dijamin untuk pemeriksaan yang adil dan manusiawi dengan didampingi Penasihat Hukum / Advokat untuk membela hak-hak hukum bagi Tersangka / Terdakwa sejak dari proses penyidikan sampai pemeriksaan. Advokat berperan melakukan kontrol jangan sampai terjadi Ketidakadilan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) .
Berdasarkan kenyataan ini, penegak hukum berkewajiban mengadakan penyidikan dan pemeriksaaan dengan seksama dan cermat, apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh seseorang itu benar merupakan tindak pidana yang melanggar suatu UU pidana atau tidak ? Jika itu pelanggaran pidana, maka penegak hukum (Polisi atau Jaksa), harus menemukan dulu bahwa suatu peristiwa itu merupakan perbuatan pidana atau tidak, jika sudah menemukan, baru kemudian menetapkan orang yang berbuat, bukan sebaliknya, orangnya dulu ditetapkan baru menyusul mencari perbuatan pidananya, ini cara berpikir yang terbalik dan sewenang-wenang yang merupakan pelanggaran perundang-undang yang ada dalam UU Pidana dan Hak Asasi Manusia, seperti saat ini terjadi.
Sebagai contoh, adanya Putusan Peninjauan Kembali (PK) atas Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial APBD tahun 2011 – 2012 Kab. Bone Bolango dan menentukan Korupsi di GORR (Gorontalo Outer Ring Road), Kejaksaan Tinggi Gorontalo telah melakukan standar ganda (Diskriminasi Hukum).
Terkait Kerugian Negara seperti dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan:
Kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Bahwa awalnya terkait dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam pembebasan lahan GORR di Gorontalo sebesar Rp. 85 Milyar (80 %) dari anggaran total, apakah itu wajar? karena Kejaksaan Tinggi Gorontalo menyatakan perhitungan itu sementara. Haruslah perhitungan itu sudah jelas dan nyata dilakukan oleh Lembaga Negara (Badan Pemeriksaan Keuangan atau BPK). Namun sangat aneh, saat ini ada lagi angka yang dirilis oleh BPKP atas kerugian negara sebesar Rp. 43.3 Milyar, sangat fantastis turunnya setengahnya dari +/- 2 (dua) tahun lalu.
Kesimpang siuran angka ini menandakan belum siapnya (Prematur) Kejaksaan Tinggi Gorontalo untuk mengajukan kasus ini sebagai Pidana Korupsi, belum lagi yang tersangka tadinya 4 (empat) orang saat ini tinggal 3 (tiga) orang, kemana satu tersangka itu tertinggal atau hilang ?
Bahwa Kerugian Negara dalam perkara korupsi sebagaimana dinyatakan sebagai unsur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor merupakan salah satu elemen pokok, tanpa adanya unsur ini maka tidak ada korupsi. Dan sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 0003/PUUIV/2006, tanggal 25 Juli 2006 “unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung”. Pembuktian dan penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya itu harus dilakukan “secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian”.
Jelas ketentuan di atas mengatur setiap penyidik Kejaksaan harus berhati-hati dalam menentukan bahwa perbuatan itu merupakan TIPIKOR atau MAL ADMINSTRASI, seperti yang menjadi kewenangan Kejaksaan berdasarkan UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dalam Pasal 8 ayat (3) menyatakan, “demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah”. Sedangkan pada ayat (4) memerintahkan, “dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya ,Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya”.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 22, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik kesengajaan maupun karena kelalaian.
Sehubungan dengan penilaian kerugian negara tersebut, Pasal 10 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Negara, menyatakan:
BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN / BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Menurut PP No. 192 Tahun 2014, Jo. Kepres 103 Tahun 2001 tentang BPKP:
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP, adalah Lembaga pemerintah non Kementerian Indonesia yang melaksanakan tugas Pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan yang berupa Audit, Konsultasi, Asistensi, Evaluasi, Pemberantasan KKN serta Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelas yang berwenang menghitung, menilai, dan / atau menetapkan kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang selanjutnya dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan sebagai keputusan BPK, bukan Lembaga atau Instansi lain. Menjadi pertanyaan apakah Kerugian Negara di GORR Gorontalo sudah di Audit dan ditetapkan oleh BPK kerugian Negaranya ? Dan menjadi aneh ada perbedaan yang sangat mencolok hasil kerugian Negara yang dituduhkan, waktu 2 (dua) tahun lalu.
Menurut penulis, untuk menentukan Korupsi di GORR (Gorontalo Outer Ring Road), Kejaksaan Tinggi dalam menentukan Korupsi harus berdasarkan hasil audit pemeriksaan BPK, dan didukung oleh keterangan ahli Pidana serta ahli yang terkait lainnya, sebagai salah satu alat bukti yang menyatakan bahwa pekerjaan GORR tersebut terindikasi dugaan korupsi sesuai ketentuan Pasal 184 KUHAP.
Selain itu, Kejaksaan Tinggi Gorontalo harus menyelidiki apakah prosedur dan dokumen pelaksanaan pengadaan tanah pembangunan ruas jalan lingkar luar Gorontalo atau GORR sudah sesuai atau belum, siapa-siapa saja pelaksana pengadaan tanah, siapa yang menentukan nilai harga tanah (Appraisal), adakah sosialisasi dari Lurah/Kepala Desa kepada pemilik tanah bahwa tanahnya akan dilewati oleh pembangunan jalan GORR, adakah musyawarah atau sanggahan atau penolakan dari pemilik tanah Lurah/Kepala Desa, siapakah yang menetapkan nilai ganti untung kepada setiap lahan tanah/desa, adakah verifikasi pemberian ganti untung, adakah validasi pelepasan hak untuk masing-masing pemilik tanah kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo, terakhir adakah pemutusan hubungan hukum pemilik tanah yang kena lintasan pembangunan GORR.
Sehingga untuk menentukan jenis tindak pidana korupsi yang seperti yang disebutkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, yang dikenakan dengan Pasal 2, Pasal 3, 18 dan Pasal 55 KUHPidana yang sering digunakan oleh Jaksa atau Penuntut Umum untuk menjerat orang yang diduga melakukan penyelewengan keuangan negara, dan pasal-pasal di atas menjadi senjata ampuhnya Kejaksaan (Pasal Primadona).
Menurut penulis, banyak kasus yang ketika dikaji sebenarnya bukan merupakan tindak pidana korupsi karena tidak adanya niat jahat (mens rea) untuk melakukan korupsi, tetapi adanya kesalahan prosedur administratif (mal adminstratie) yang diabaikan, seperti yang terjadi di Jalan Lingkar GORR ini, karena ada asas dalam Hukum Pidana yang menyatakan bahwa, “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”.
Hal berbaeda yang terjadi pada Kasus Korupsi Dana BANSOS Kab. Bone Bolango tahun 2011 – 2012, yang dilakukan oleh salah satu Keapala Daerah hingga sekarang orang tersebut masih bebas berkeliaran, sehingga PERSAMAAN DI DEPAN HUKUM itu dimana diletakkan ???, Kasus ini muncul setelah adanya Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) yang dilayangkan oleh salah satu Terpidana sudah DITOLAK oleh Mahkamah Agung, tetapi kenyataan yang ada pasca putusan PK di Tolak, sepertinya Kejaksaan Tinggi Gorontalo tidak menindaklanjuti dan memanggilnya, mengapa ada Diskriminasi Hukum terhadap seseorang, ada apa dengan hal ini ???.
Perkara ini sebenarnya sudah harus disidangkan, hal ini demi menjaga wujud kepastian hukum di bumi Indonesia, Kajati Gorontalo tidak boleh mengabaikan Putusan Mahkamah Agung, karena bukan itu saja, Pengadilan Negeri Gorontalo telah menolk juga SP3 yang diajukan, sehingga salah satu tugas dan wewenang Kejaksaan adalah menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jangan karena seseorang itu berafiliasi dengan kekuatan yang ada, perlakuannya berbeda. Ini bukan hanya mencoreng kepercayaan publik kepada Pemerintah yang ada saat ini, tetapi juga mencoreng wajah Adyaksa secara keseluruhan.
Kejaksaan sebagai suatu Lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, memiliki tugas mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang dan jelas tentang tindak pidana korupsi yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Untuk menemukan unsur kerugian keuangan negara, maka bukti-bukti yang harus dikumpulkan oleh Kejaksaan tentu yang terkait dengan bukti-bukti terjadinya kerugian keuangan negara yang di Audit oleh Lembaga yang ditentukan oleh UU, yakni Lembaga BPK.
Dalam KUHAP, pasal 82 ayat (3) huruf b berbunyi:
“Dalam hal putusan menerapkan bahwa suatu penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan”. Nah dalam pasal ini terdapat frasa wajib dilanjutkan, berarti proses lanjutan dari Penyidikan adalah penuntutan sebagaimana tuntutan kami yang dikabulkan Hakim Praperadilan beberapa bulan silam.
Kronologis Proses Hukum Kasus Korupsi Dana Bansos Bone Bolango 2011-2012:
Pada 19 Agustus 2015, Kejaksaan Tinggi Gorontalo menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan APBD Bone Bolango Tahun 2011-2012 sebagaimana Sprindik. Nomor : 426/R.5/Fd.1/08/2015 dengan menetapkan 3 (tiga) orang Tersangka. Kemudian pada 6 April 2016, Pengadilan Negeri Gorontalo Menolak Pra Peradilan yang diajukan oleh salah satu Tersangka dengan putusan No. 04/Pid.Pra/2016/PN.GTO.
Selanjutnya pada 15 September 2016, Kejaksaan Tinggi Gorontalo menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor: 509/R.5/Fd. 1/09/2016 terhadap Tarsangka Kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan APBD Bone Bolango Tahun 2011-2012 dengan alasan tidak cukup bukti sebagaimana termuat dalam putusan Praperadilan Nomor 10/Pid.Pra Peradilan/2016/PN.Gto.
Berhubung kasus ini telah Dieksekusi dan saat ini 2 (dua) orang telah ditahan di Lapas, sehingga kasus korupsi ini telah memiliki Kekuatan Hukum Yang Tetap, yakni terbukti adanya Tindak Pidana KORUPSI BANSOS yang dilakukan oleh 3 (tiga) oknum tersebut. Dengan dikabulkannya kedua Permohonan Pemohon, maka cukup beralasan hukum kepada Termohon untuk mencabut Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) No. Print 509/R.5/Fd.1/09/2016 terhadap Tersangka dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan APBD Bone Bolango Tahun 2011-2012.
Kepala Kejaksaan Tinggi Gorontalo pada saat itu memastikan kasus dugaan korupsi Bantuan Sosial (Bansos) tahun anggaran 2011-2012 yang melibatkan Kepala Daerah kembali dibuka, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun diminta dilibatkan di dalamnya. Dijelaskan Kajati, ada dua kasus Bansos yang sudah mepunyai kekuatan hukum tetap, dan berdsasarkan putusan Kasasi Mahkamah Agung bahkan sudah ada peninjauan kembali (PK), maka kasus dugaan korupsi Bansos Bone Bolango dibuka Kembali.(*)