Oleh : Ali Mobiliu
Pemerhati pendidikan
ESENSI peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei adalah mengenang, memaknai dan menghayati semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara di era penjajahan Belanda yang begitu gigih memperjuangkan hak-hak pribumi untuk mengenyam pendidikan dengan mendirikan perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 di Jokyakarta.
Namun dengan melihat realitas pendidikan di Gorontalo hari ini, terbersit keyakinan, betapa spirit perjuangan Ki Hajar Dewantara tidak lagi berbekas dalam benak pikiran dan sanubari para pengambil kebijakan di daerah ini.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional, tidak lebih dari sekadar rutinitas tahunan yang lebih terasa nuansa seremonialnya dari pada menyentuh substansi hari pendidikan nasional itu sendiri.
Hari Pendidikan Nasional di Provinsi Gorontalo selama ini, seakan hanya menjelma menjadi panggung retorika yang terasa hambar tanpa makna dari para pengambil kebijakan.
Indikatornya dapat dilihat dari realitas kondisi dan potret pendidikan di bumi Serambi Madinah yang sungguh memprihatinkan, bahkan mengkhawatirkan bagi masa depan generasi Gorontalo.
Jangankan berbicara tentang peningkatan “kualitas pendidikan” dan penjabaran pendidikan relevansif berbasis potensi kawasan yang identik dengan pendidikan kejuruan atau keterampilan, dalam aspek peningkatan “akses pendidikan” saja, Provinsi Gorontalo masih menyimpan persoalan.
Dari data yang dirilis Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 misalnya, Provinsi Gorontalo masih masuk dalam 3 besar sebagai daerah dengan akses pendidikan setingkat SMA terendah di Indonesia.
Akses pendidikan setingkat SMA di Provinsi Gorontalo hingga tahun 2023 hanya berkisar 46,19 persen atau masuk rangking ke-3 setelah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berada di angka 43, 46 persen dan Provinsi Induk Papua sebesar 39,5 persen.
Bahkan untuk akses pendidikan setingkat SMA ini, Gorontalo kalah pamor dengan Provinsi Papua Barat yang sudah bertengger pada angka 59,99 persen.
Jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Sulawesi, Provinsi Gorontalo termasuk rangking satu sebagai daerah dengan akses pendidikan setingkat SMA terendah.
Artinya, Provinsi Gorontalo masih kalah dengan Sulawesi Tengah yang sudah berada pada posisi 55,69 persen dan Sulawesi Barat 54,79 persen.
Dari prosentase akses pendidikan SMA di Gorontalo yang hanya 46,19 persen tersebut, maka dari total populasi anak usia 15-24 tahun sebanyak 212.877 jiwa sesuai data BPS tahun 2021, maka hanya sekitar 98 ribu-an anak yang mengenyam bangku pendidikan setingkat SMA.
Itu artinya,sekitar 100 ribu lebih anak usia 15-24 tahun, sejak 2021 tidak bisa mengakses pendidikan setingkat SMA. Bahkan boleh disebut jumlah 100-an ribu anak remaja Gorontalo tersebut sebagai “generasi yang hilang” dalam 10 hingga 20 tahun ke depan.
Jumlah ini bukanlah angka yang sedikit dan jika dibiarkan,maka betapa Gorontalo menghadapi krisis Sumber Daya Manusia (SDM).
Dalam konteks ini, Gorontalo tidak siap menghadapi era Indonesia Emas atau bonus demografi,justru sebaliknya menghadapi “malapetaka demografis”.
Demikian pula dengan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) di Indonesia. Hingga tahun 2023, Provinsi Gorontalo menempati rangking 2 terendah di Indonesia, yakni hanya 8,48 Tahun atau masih setingkat lebih baik dari Provinsi Papua yang berada pada angka 7,34 tahun. Sementara dengan Provinsi lain, Gorontalo sangat jauh ketinggalan.
Dalam aspek peningkatan RLS ini, Provinsi Gorontalo rasa-rasanya harus membuang malu untuk belajar dari Provinsi Papua Barat yang sudah berada pada angka 10,14 tahun.
Dari angka-angka di atas, maka indeks RLS di seluruh Provinsi di Pulau Sulawesi, Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Barat berada pada angka terendah, yakni 8,48 tahun. Bandingkan dengan Provinsi Sulawesi Tengah yang sudah berada pada 9,22 tahun.
Yang lebih memprihatinkan lagi, adalah suguhan data tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga di Provinsi Gorontalo yang boleh disebut “satu kelas” dengan Provinsi Papua dan NTT.
Menurut data BPS tahun 2023, prosentase Kepala Rumah Tangga di Gorontalo yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD) berada pada angka 48,39 persen, tamat SD sebanyak 29,74 persen, tamat SMP hanya 11,32 persen, tamat SMA hanya 6,38 persen dan tamat Perguruan Tinggi hanya 4,8 persen.
Dari paparan data tersebut, maka tidak mengherankan jika Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Gorontalo tidak pernah beranjak dari predikat 10 besar sebagai daerah dengan IPM terendah di Indonesia
Jangankan berbicara tentang tingkat produktivitas dan daya saing masyarakat Gorontalo yang kompetitif di masa depan, berbicara tentang wajib belajar 12 tahun saja, Gorontalo masih yang terendah di Indonesia.
Anehnya, jika mencermati sikap, perilaku dan arah kebijakan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota di sektor pendidikan selama ini, sepertinya, tidak ada keprihatinan, tidak ada kegelisahan, tidak ada koordinasi dan kolaborasi antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Bahkan terlihat, Pemerintah Provinsi Kabupaten dan Kota berjalan sendiri-sendiri, tidak menyatu dalam konsep membangun yang terarah dan sistematis.
Bahkan Pemerintah Provinsi yang diharapkan mampu mengemban fungsi koordinasi, sepertinya sulit terwujud,justru terkesan menjadi kabupaten ke-7 di Gorontalo.
Akibatnya, tidak ada terobosan progresif yang dilakukan dalam persiapan menghadapi “bonus demografi”.
Hampir Semua instansi pemerintah, DPRD dan instansi vertikal terjebak pada rutinitas kerja yang menoton,hampir tidak terlihat gebrakan inovatif, terobosan prospektif di bidang pendidikan.
Yang ada,justru hampir semua pengambil kebijakan terjebak pada “pencitraan” untuk meraih simpati dan kekuasaan.
Masyarakat selama ini dipertontonkan dengan kegiatan seremonial pemerintahan dimana-mana, masyarakat hanya dibiasakan menjadi “tangan dibawah”, pencitraan bagi-bagi sembako dan bantuan sosial (bansos) terus menggejala tanpa arah.
Komitmen membangun SDM yang berkualitas menghadapi Indonesia Emas dengan bonus demografinya, terkesan hanya sebatas retorika. Bahkan hingga sekarang sudah tidak jelas lagi, bagaimana ketentuan alokasj anggaran pendidikan 20 persen dari APBD di luar gaji Guru dan tenaga pendidikan,apakah masih dipatuhi oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota atau tidak.
Kalaupun ketentuan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBD sesuai amanat Undang-Undang Sisdiknas itu, direalisasikan, lantas sejauh mana dampaknya terhadap progresisivitas pendidikan di Gorontalo.
Tidak perlu jauh-jauh, sejak pemerintahan Gubernur Rusli Habibie tahun 2012, Dinas Dikpora (Dikbud sekarang), mendapatkan alokasi anggaran hingga Rp.400 miliar atau satu hari harus membelanjakan Rp.1 miliar lebih dengan asumsi 1 tahun 365 hari.
Kalau kemudian program peningkatan akses pendidikan atau program pendidikan untuk semua saja masih belum terwujud dengan anggaran sebesar itu, apalagi semenjak 10 tahun yang lalu, maka sudah dapat dipastikan ada yang salah dengan pengelolaan pendidikan di Gorontalo yang sudah menghabiskan anggaran yang sangat besar.
Indikatornya adalah pada prosentase penduduk yang berpendidikan setingkat SMA di Gorontalo yang masih belum mencapai 7 persen dalam 23 tahun Gorontalo sebagai sebuah Provinsi.
Sejatinya, setelah 23 tahun menjadi Provinsi, Gorontalo saat ini sudah mampu mewujudkan pemerataan akses pendidikan untuk semua dan sudah berada pada tahapan “peningkatan kualitas” pendidikan.
Untuk itu, peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini sejatinya menjadi momentum untuk merenung dan intropeksi, khususnya bagi elemen pemerintah, DPRD di semua tingkatan untuk lebih fokus memprioritaskan pendidikan sebagai ujung tombak masa depan Gorontalo.
Hanya dengan SDM yang berpendidikan, unggul dan berdaya sainglah sebuah bangsa dan daerah itu maju dan berperadaban.
Sejatinya Gorontalo hari ini tidak sekadar memperingati hardiknas dengan upacara dan kegiatan seremonial tapi lebih mengarah untuk berusaha bangkit mereformat, menata dan membenahi konsep pendidikan yang lebih fundamental dan substantif. Dirgahayu Pendidikan Nasional. (*)