GOPOS.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan yang diajukan oleh Aditya Anugrah Moha, mantan anggota DPR RI.
Aditya Anugrah Moha (Pemohon) mengujikan Pasal 7 ayat (2) huruf g yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) sebagaimana telah dimaknai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.
Sidang pengucapan Putusan Nomor 54/PUU-XXII/2024 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (20/8/2024) dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi tujuh hakim konstitusi.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum putusan mengatakan permohonan Pemohon yang memohon agar masa tunggu 5 (lima) tahun dapat dikecualikan terhadap terpidana yang tidak dicabut hak politiknya oleh putusan pengadilan sekalipun tindak pidana yang telah terbukti dilakukan oleh terpidana diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih, adalah hal yang tidak berdasar.
Karena menurut Mahkamah persoalannya bukan pada dapat digantikannya masa tunggu 5 (lima) tahun dengan tidak dicabutnya hak politik dengan alasan “seolah-olah” pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang tidak berat sehingga tidak relevan untuk diberlakukan masa tunggu 5 (lima) tahun.
“Namun demikian, terhadap hal tersebut, alasan yang fundamental adalah pemberlakuan masa tunggu 5 (lima) tahun terhadap terpidana yang terbukti melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih, dikarenakan semata-mata terpidana dimaksud dinilai sebagai pelaku tindak pidana yang dikategorikan berat dan oleh karenanya diperlukan masa tunggu yang dianggap cukup agar mempunyai kesempatan beradaptasi dan menunjukkan kepada publik. Khususnya calon pemilih bahwa yang bersangkutan telah menyadari akan kesalahan dan perbuatan pidana yang pernah dilakukan serta menyesali dan kembali dapat diterima pada lingkungan sosialnya, dalam konteks ini dapat diterima kembali oleh calon pemilihnya,” kata Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum putusan.
Terlebih, sambung Suhartoyo, berkaitan dengan pencabutan hak politik, Mahkamah sebenarnya telah mendorong kepada pengadilan, agar seseorang yang telah dijatuhi pidana yang terbukti melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih tidak relevan lagi dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, mengingat hal tersebut sama halnya menjatuhkan pidana “tambahan” 2 (dua) kali terhadap terpidana jika akan menggunakan hak politiknya setelah selesai menjalani pidana.
Sebab, terpidana di samping harus menjalani masa pencabutan hak politiknya juga masih harus menyelesaikan masa tunggu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, yang sejatinya hal tersebut secara faktual masa pencabutan hak politik tersebut telah terserap oleh masa tunggu 5 (lima) tahun.
Lebih lanjut melalui Putusan tersebut penting bagi Mahkamah untuk menegaskan berkenaan dengan perbedaan ancaman pidana paling tinggi (maksimal) 5 (lima) tahun dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih. Hal ini penting, mengingat terhadap hal tersebut acapkali menimbulkan salah tafsir atau setidak-tidaknya terdapat persepsi yang berbeda pada pemahaman terhadap ancaman pidana paling tinggi (maksimal) 5 (lima) tahun dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih yang seolah-olah masa tunggu 5 (lima) tahun dapat diberlakukan terhadap keduanya, karena sama-sama menentukan ancaman pidana yang beririsan dengan 5 (lima) tahun.
“Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendirian, bahwa masa tunggu 5 (lima) tahun hanya dapat diberlakukan terhadap terpidana tindak pidana yang terbukti melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak dapat diberlakukan terhadap terpidana yang terbukti melakukan tindak pidana yang diancam pidana paling tinggi (maksimal) 5 (lima) tahun. Sebab, pengelompokan ancaman pidana antara paling tinggi (maksimal) 5 (lima) tahun dengan ancaman 5 (lima) tahun atau lebih, secara doktriner adalah batas yang secara universal dijadikan parameter untuk menentukan jenis tindak pidana yang berat dan tidak berat. Dengan demikian, hal ini sejalan dengan semangat pembatasan yang memberlakukan masa tunggu adalah disebabkan karena kategori bobot atau berat/ringannya tindak pidana yang terbukti telah dilakukan oleh terpidana,” tegas Suhartoyo.
Sehingga, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk menilai kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, tanggal 11 Desember 2019, dengan menghilangkan syarat “masa tunggu 5 (lima) tahun bagi terpidana yang tidak dicabut hak politiknya oleh pengadilan, meskipun telah terbukti melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih” adalah tidak beralasan menurut hukum.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g sebagaimana yang dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 tidak menyebabkan hilangnya jaminan dan perlindungan hak Pemohon, sebagaimana prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” sebutnya. (adm-01/gopos)