Oleh: Dr. Sahmin Madina
Pembangunan Indonesia tak bisa lagi semata mengandalkan pusat-pusat kota. Justru dari pinggiran, dari desa-desa yang menyimpan kekayaan sumber daya dan kearifan lokal-lah pembangunan sejati harus bermula. Gagasan “pembangunan dari pinggiran” bukan sekadar slogan, melainkan strategi yang berpijak pada keadilan spasial dan penguatan kemandirian rakyat. Di sinilah Koperasi Desa Merah Putih menemukan relevansi dan urgensinya.
Pakar pembangunan Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom menekankan bahwa pembangunan yang berhasil adalah yang memperluas kebebasan dan kapasitas masyarakat, terutama kelompok-kelompok marjinal. Konsep ini sejalan dengan semangat koperasi yang menjadikan rakyat bukan sekadar penerima hasil, tetapi pelaku utama ekonomi. Dengan demikian, pembangunan dari pinggiran tak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga membebaskan potensi rakyat dari ketergantungan struktural.
Koperasi Desa Merah Putih hadir sebagai inisiatif ekonomi kolektif dari pemikiran begawan besar, yakni pemikiran visioner Presiden Prabowo Subianto yang berpijak pada semangat gotong royong, kemandirian, dan keberpihakan pada warga pinggiran yakni warga desa.
Melalui koperasi, desa tak lagi hanya menjadi “penonton” pasar, melainkan aktor aktif yang mengelola produksi, distribusi, hingga konsumsi secara mandiri. Ini bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Bung Hatta sejak lama menegaskan koperasi sebagai “soko guru ekonomi nasional”, sebuah sistem ekonomi yang mengutamakan kemaslahatan bersama, bukan keuntungan segelintir orang.
Menurut laporan ILO (2016), koperasi terbukti berperan signifikan dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama di sektor-sektor yang sulit dijangkau oleh pasar atau negara. Di banyak negara, koperasi menjadi tumpuan ekonomi komunitas terpencil. Indonesia seharusnya bisa menjadikan koperasi desa sebagai kekuatan ekonomi alternatif yang tidak rentan terhadap guncangan eksternal.
Tak kalah penting, koperasi juga menjadi ruang sosial yang menjaga kohesi masyarakat desa. Anthony Giddens (1998) dalam The Third Way menekankan bahwa komunitas yang kuat adalah fondasi dari masyarakat modern yang stabil. Dengan demikian, koperasi tak hanya menggerakkan ekonomi, tapi juga memperkuat ikatan sosial dan nilai-nilai lokal.
Pembangunan dari pinggiran melalui koperasi desa bukan soal romantisme pedesaan, melainkan strategi konkret untuk membangun ketahanan ekonomi nasional dari bawah. Data BPS (2023) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di desa masih jauh lebih tinggi dibanding kota. Artinya, membangkitkan ekonomi desa berarti menjawab kesenjangan dan mengikis ketimpangan struktural yang selama ini dibiarkan menganga.
Koperasi Desa Merah Putih merupakan wujud nyata dari semangat berdikari dalam ekonomi. Negara harus hadir dengan dukungan regulasi, insentif fiskal, teknologi, dan konektivitas pasar agar koperasi ini tumbuh sehat dan kompetitif. Dengan begitu, pembangunan dari pinggiran bukan lagi wacana politis, tapi menjadi arus utama pembangunan Indonesia ke depan.
Ketika desa kuat, Indonesia berdiri tegak. Ketika koperasi hidup, rakyat bergerak bersama. Inilah jalan pembangunan yang membebaskan dan memuliakan. Sehingga, jargon dari rakyat, oleh rakyat, untuk kesejahteraan rakyat akan benar-benar terwujud.