Oleh : Prof. Dr. Ir. Fadel Muhammad
SEBAGAI mantan Gubernur Gorontalo dua periode, saya pernah dikritik beberapa teman dalam sebuah diskusi ringan ketika saya membanggakan peristiwa Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 ini kepada mereka.
Mereka bertanya, apa hebatnya Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 sampai harus disandingkan dengan Proklamasi 17 Agustus 1945?.
Banyak masyarakat Indonesia yang tidak tahu, apalagi generasi milenial saat ini, bahwa sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, daerah Gorontalo telah lebih dahulu memproklamasikan kemerdekaannya lepas dari penjajahan Belanda.
Yaitu pada hari Jumat tanggal 23 Januari 1942. Pada pagi hari itu, pemerintah Hindia Belanda dan aparatnya ditangkap dan ditawan, bendera Merah-Putih dikibarkan, lagu Indonesia Raya dikumandangkan, dan pidato kemerdekaan diproklamirkan.
Peristiwa ini dikenal dengan Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 di Gorontalo yang dipimpin oleh seorang ‘petani-pejuang’ NANI WARTABONE (1908-1986) yang mendapat gelar Pahlawan Nasional tahun 2003 silam. Pemberian gelar dilaksanakan setelah saya yang ketika itu Gubernur Provinsi Gorontalo mengusulkannya ke Ibu Presiden Megawati Soekarnoputri.
Para sejarahwan menyebutkan, bahwa ‘proklamasi kemerdekaan’ tersebut mirip atau menyerupai Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Soekarno – Hatta tanggal 17 Agustus 1945 (yang juga jatuh pada hari Jumat).
Nani Wartabone yang didaulat sebagai Ketua Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang baru saja dibentuk menyampaikan ‘pidato kemerdekaan’ didampingi wakilnya RM. Kusno Danupoyo (semacam ‘dwitunggal’ Gorontalo) di hadapan massa rakyat Gorontalo yang sudah berkumpul di alun-alun kota depan Hotel Saronde kini.
Mereka menaikkan bendera Merah-Putih diiringi menyanyikan lagu Indonesia Raya (saat itu belum pakai lirik ‘merdeka-merdeka’ tetapi ‘mulia-mulia’). Lalu Nani Wartabone berpidato singkat sebagai berikut :
“Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942 kita bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka bebas lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita yaitu Merah-Putih, lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil alih oleh Pemerintah Nasional. Mari kita menjaga keamanan dan ketertiban”.
Selesai upacara, seluruh kota mengibarkan bendera merah-putih, bendera yang sejak lama secara diam-diam diperintahkan GAPI (Gabungan Politik Indonesia) Cabang Gorontalo kepada anggotanya untuk disimpan.
Sore hari langsung dilanjutkan dengan konsolidasi membentuk Pasukan Pengawal Kota dipimpin Ibrahim Mohammad dengan kepala stafnya Ali Baladraf yang anggotanya seluruh kepanduan (pramuka).
Sementara Pendang Kalengkongan putra Minahasa ditunjuk memimpin Bagian Keamanan Rakyat dengan anggota para polisi yang sudah bergabung (Veld Politie dan Stad Politie) yang ditawan pada hari itu. Untuk konsolidasi kekuatan, maka pada 27 Januari 1942 diadakan apel besar dan unjuk kekuatan (show of force) segenap pasukan tersebut dengan Inspektur Upacara Nani Wartabone, didampingi RM. Kusno Danupoyo dan Komandan Upacara Pendang Kalengkongan.
Yang menarik dari peristiwa ini – yang oleh masyarakat Gorontalo hanya dinamakan Peristiwa Patriotik untuk tidak menyaingi kemerdekaan Indonesia – kejadiannya menyerupai Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Diskusi bisa berkembang, bila kita hanya menyoroti dari sudut pandang ruang yang memang masih bersifat lokal kedaerahan, akan tetapi dari sudut pandang waktu ‘proklamasi kemerdekaan’ ini jelas mendahului Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dan dari aspek substansi dan konten proklamasinya bukanlah proklamasi kemerdekaan lokal, tetapi menyebutkan kemerdekaan ‘bangsa Indonesia’ dengan pemerintahan nasional, bendera dan lagu kebangsaan.
Kenapa Nani Wartabone dan kawan-kawan begitu tinggi jiwa nasionalismenya? Rupanya latar belakang pendidikan mereka sangat berpengaruh. Nani Wartabone mengenyam pendidikan di MULO Tondano dan kemudian ke Surabaya yang mempertemukannya dengan Soekarno (1923), Cokroaminoto, Agus Salim dan Dr. Sutomo, sebagai Sekretaris Jong Gorontalo, yang menggelorakan semangat nasionalismenya.
Ia kembali ke Gorontalo (1928) membawa ide nasionalisme dengan menggembleng para pemuda tani binaannya agar berjiwa nasional.
Perebutan kekuasaan atau pengisian kekosongan kekuasaan (vacuum of power)?
Ada teori yang mengatakan peristiwa semacam itu adalah pengisian kekosongan kekuasaan (vaccum of power theory). Dikatakan bahwa Belanda tidak lagi berkuasa dan Jepang akan segera datang, jadi peristiwa itu terjadi tanpa ada perjuangan fisik kemerdekaan dan perebutan kekuasaan. Benarkah demikian?
Saya mendapat jawaban dari literatur sejarah bahwa ternyata Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 tersebut terjadi perebutan kekuasaan (coup d’tat) terhadap pemerintah Hindia Belanda di Gorontalo. Aksi perebutan kekuasaan dimulai hari Jumat setelah Subuh tanggal 23 Januari 1942. Nani Wartabone, bersama massa rakyat pemuda tani bergerak dari kecamatan Suwawa, melewati kecamatan Kabila, hingga masuk wilayah kota Gorontalo.
Dimana sambil bertakbir sepanjang jalan yang dilalui oleh pasukan rakyat ini terus bergabung rombongan pemuda lainnya (dari Tamalate, Padebuolo, Ipilo dan bergabung pula massa dari kampung Bugis, Tenda, Siendeng, Biawao, dll). Sejak tengah malam itu telah dilakukan pelucutan senjata terhadap anggota Vernieling Corps yang dibentuk untuk membumihanguskan obyek-obyek vital di Gorontalo.
Setelah Subuh Nani Wartabone mendatangi rumah Kusno Danupoyo memberitahukan rencananya untuk merebut kekuasaan bersama pasukan rakyat.
Gerakan rakyat itu mencapai puncaknya setelah kantor pos, telegrap dan telepon (PTT) dikuasai dengan menangkap Komandan Stad Politie E. Couper dan bergabungnya para anggota polisi bangsa Indonesia (Gorontalo dan Minahasa) yang menjaga obyek vital di kantor PTT itu. Sekretaris GAPI Cab. Gorontalo U.H. Buluati segera memajang merah-putih yang bertuliskan “Indonesia Berparlemen” di gerbang kantor PTT itu.
Pasukan yang dipimpin Nani Wartabone pukul 8 pagi melakukan penangkapan terhadap semua pejabat Hindia Belanda, mulai dari Komandan Stad Politie W.C. Romer, yang diminta untuk memerintahkan pasukan polisi dalam asrama depan rumahnya menyerahkan diri.
Selanjutnya dilakukan penangkapan terhadap Controleur Dancona dan pejabat lainnya, dan terakhir Asisten Residen Corn ditangkap, pistolnya dilucuti tanpa perlawanan, dan dimasukkan ke dalam penjara.
Mereka berhasil menguasai seluruh kota dan berhasil menawan seluruh personil Belanda. Total pejabat Hindia Belanda yang ditangkap/ditawan berjumlah 15 orang ditambah seluruh pasukan Veld Politie yang menyerahkan diri.
Selesai penangkapan, Nani segera digelar pertemuan dengan pejabat pemerintah bawahan pemerintah Hindia belanda yaitu para Jogugu dan Marsaoleh agar mendukung gerakannya. yang segera membentuk Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang diketuai Nani Wartabone dan wakilnya RM. Kusno Danupoyo dan anggota intinya berasal dari Komite-12 dan wakil-wakil partai dan organisasi yang ada di Gorontalo (GAPI Cabang Gorontalo).
Badan pemerintahan Militer dipimpin oleh Nani Wartabone yang berkedudukan sebagai Panglima Angkatan Perang atau Komandan Militer bagi daerah Indonesia Gorontalo merdeka.
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 ini adalah gerakan perebutan kekuasaan dan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia skala lokal dengan simbol nasional (lagu kebangsaan dan bendera merah-putih).
Pentingnya peran Nani Wartabone terlihat dari perhatian Presiden Soekarno. Presiden Soekarno datang dua kali ke Gorontalo untuk menemui Nani Wartabone yaitu tahun 1950 dan 1956 dengan menggunakan pesawat amfibi Catalina yang mendarat di Danau Limboto tepatnya di dermaga Desa Iluta.
Pembumihangusan menghadapi invasi Jepang
Peristiwa 23 Januari di Gorontalo terjadi setelah meletusnya Perang Pasifik Desember 1941. Ketika itu Jepang telah terjun ke kancah perang dengan menyerang Pearl Harbour 8 Desember 1941.
Pemerintah Hindia Belanda di Gorontalo yang dipimpin Assisten Residen Corn dan Controleur Dancona dan Komandan Veld Politie W.C. Romer khawatir akan invasi Jepang dan membentuk Vernielings Corps (VC) untuk melakukan bumi hangus obyek-obyek vital apabila mereka terpaksa harus mengundurkan diri dari tanah jajahan..
Kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda di Gorontalo memuncak setelah mendaratnya Jepang di Manado tanggal 11 Januari 1942. Untuk menghadapi penyerbuan dan pendaratan tentara Jepang di Gorontalo, pemerintah Hindia Belanda mengadakan persiapan.
Para pejabat pemerintah Hindia Belanda dipersenjatai dengan pistol. Kaum pergerakan nasional terus diawasi dan dimata-matai. Penduduk tidak boleh berkumpul lebih dari dua orang.
Hal ini membuat kaum pergerakan GAPI di Gorontalo melakukan rapat tertutup Jumat tengah malam tanggal 16 Januari 1942 di rumah pimpinannya Kusno Dhanupoyo, meminta Nani Wartabone menjadi Ketua Komite 12 dalam menghadapi bumi hangus kota Gorontalo yang dilakukan Vernieling Corps.
Pembumihangusan yang pertama dilakukan tanggal 28 Desember 1941, yaitu Gudang kopra dan minyak BPM masing-masing di Pabean dan Talumolo beserta bahan sandang pangan yang merupakan persediaan kebutuhan rakyat habis dibakar.
Dengan adanya pembumihangusan tersebut tokoh pergerakan Nani Wartabone atas nama seluruh rakyat mengirim surat protes kepada Asisten Residen Corn serta Controleur Dancouna pada tanggal 10 Januari 1942.
Kalau pemerintah Hindia Belanda akan tetap mengadakan pengrusakan, maka rakyat siap mengadakan tantangan. Di samping Nani Wartabone, Pendang Kalengkongan yang berjiwa nasional, selaku apparat Hindia Belanda telah bergerak di bawah tanah mencegah tindakan pengrusakan dan pembumihangusan itu.
Pemerintah Hindia Belanda tidak menghiraukan tantangan tersebut, malah pada tanggal 19 Januari 1942 masyarakat digemparkan lagi dengan pembumihangusan yang kedua, yaitu kapal motor KM Kololio yang sedang berlabuh di Pelabuhan Gorontalo dibakar oleh petugas Vernieling Corps.
Demikian juga gudang kopra dan sejumlah harta milik rakyat di Pelabuhan Kwandang turut dibakar.
Dalam menghadapi kegiatan pengrusakan oleh Vernielings Corps, pada tanggal 15 Januari 1942 atas inisiatif dari wakil-wakil partai dan organisasi, dilangsungkan suatu rapat rahasia di rumahnya Kusno Danupoyo.
Maksud rapat itu adalah mempersatukan langkah tokoh-tokoh partai beserta tokoh pejuang Nani Wartabone. Hasil kesepakatan malam itu terbentuklah badan perjuangan yang diberi nama ‘Komite Duabelas’, dengan Ketuanya Nani Wartabone, Wakil Ketua RM. Kusno Danupoyo, Sekretaris Oe.H. Buluati, Wakil Sekretaris A.R. Ointu, dengan anggota-anggotanya Usman Monoarfa, Usman Hadju, Usman Tumu, A.G. Usu, RM. Sugondo, RM. Danuwatio, Sagaf Alhasni dan Hasan Badjeber.
Tanggapan Tokoh Nasional
Jenderal A.H. Nasution menulis, khusus kenang-kenangan ketika meninggalnya Nani Wartabone (Maret 1986): “Dengan pimpinan Nani Wartabone dan kawan-kawan menggeser kekuasaan Belanda dengan gilang gemilang, adalah hari yang pantas dicatat di dalam rangkaian ukiran sejarah perjuangan fisik, dan perlu kiranya diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia, agar sesuatu yang berharga di tubuh ibu pertiwi ini tidak hilang ditelan waktu begitu saja. Perlu disadari bahwa di masa lampau dalam situasi dan kondisi waktu itu adalah langka untuk mencari seorang pimpinan yang berani, jujur dan cerdas seperti yang dilahirkan oleh bumi Gorontalo. Semangat 23 Januari 1942 adalah pencerminan watak manusia merdeka yang ikhlas mengorbankan segala-galanya demi untuk kemerdekaan”.
Saat Jepang menguasai Manado pertengahan Januari 1942, pemerintahan PPPG tetap eksis, dan bendera merah-putih berdampingan dengan bendera Jepang masih berkibar di Gorontalo.
Namun pada 16 Juni 1942 pasukan Jepang meminta merah-putih diturunkan dan mengakhiri PPPG pimpinan Nani-Kusno. Nani Wartabone pun sempat dipenjarakan Jepang karena difitnah jadi mata-mata Sekutu. Ia berhasil dibebaskan seorang pembesar Jepang temannya di Makassar.
Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia baru tiba di Gorontalo menjelang pertengahan September 1945. Nani Wartabone kembali mengambil alih kekuasaan dengan membentuk pemerintahan nasional di Gorontalo bersama Komite Nasional Daerah sampai masuknya pemerintahan NICA menguasai kembali Gorontalo (1946).
Nani Wartabone diajak berunding di atas kapal laut bersama anggota Dewan lainnya. Ternyata Nani Wartabone ditawan dan dibawa ke Manado. Ia dihukum 15 tahun karena mempekerjakan para tahanannya orang Belanda di jalanan. Terakhir ia menjalani hukumannya di penjara Cipinang Jakarta.
Ia dibebaskan setelah 6 tahun sebagai tahanan politik setelah KMB (pengakuan kedaulatan RI) awal Januari 1950, dan ia kembali ke Gorontalo. Hanya beberapa bulan setiba di Gorontalo tanggal 6 April 1950 ia memimpin demonstrasi mulai dari halaman Gedung Nasional Ipilo, menggelorakan tuntutan “Bubarkan NIT (Negara Indonesia Timur), dan Gorontalo bergabung dengan Pemerintah RI di Yogya. Semboyannya yang terkenal : “Sekali ke Yogya tetap ke Yogya” terus dikumandangkan.
Akhir tahun 1950 Nani telah diangkat sebagai pejabat sementara Kepala Daerah menggantikan abangnya Ayuba Wartabone yang sakit. Ia sempat menerima kunjungan pertama kalinya Presiden Soekarno ke Gorontalo tahun 1950 yang mendarat di danau Limboto dengan pesawat ampibi di desa Iluta, kecamatan Batudaa.
(Saat saya menjabat Gubernur Gorontalo, rumah pendaratan Bung Karno di Iluta itu saya minta direnovasi Pemprov Gorontalo dan diresmikan sebagai Museum Pendaratan Soekarno oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 29 Juni 2002).
Perjuangan Nani Wartabone tidak pernah berhenti. Ia berjuang dengan “pasukan rimba”nya melawan PRRI/Permesta. Ia tampil kembali merebut kekuasaan dari pemerintahan PRRI/ Permesta 1958.
Dengan perjuangannya ini, daerah Gorontalo tercatat dalam lembaran sejarah Republik Indonesia sebagai daerah yang gigih menentang, menumpas dan menghancurkan Permesta dibawah pimpinan tokoh pejuang Nani Wartabone yang terkenal dengan “pasukan rimba”nya.
Konsistensi perjuangan dan nasionalisme Nani Wartabone sangat diakui oleh Jend. TNI A.H. Nasution. Beliau menulis (Maret 1986): “…. Nani Wartabone adalah teladan pejuang yang konsisten. Tak banyak pejuang kita yang demikian, karena itu perjuangannya haruslah disejarahkan kepada generasi-generasi mendatang, karena konsistensi adalah prinsip ke 1 dalam ilmu strategi pejuang”. Di bagian akhir tulisannya ia menyatakan : “Saya tak menduga bahwa saya akan jadi teman seperjuangan dekat dengan tokoh historis ini, yakni di masa terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta yang dibarengi intervensi tertutup Amerika Serikat tahun 1958-1961. ……… Maka kesekian kalinya tampillah pejuang patriot perwira Nani Wartabone dengan prakarsa yang amat saya hargai selaku KASAD/ Penguasa Perang yang dewasa itu dapat tugas memulihkan keutuhan dan keamanan seluruh RI”.
Kutipan tulisan A.H. Nasution ini, berikut dokumen dan foto-foto peristiwa Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 disimpan oleh Zain Badjeber di Arsip Nasional (ANRI) dan copynya diberikan kepada saya.
Zain Badjeber adalah mantan hakim, mantan Anggota DPR/MPR-RI, yang beberapa kali mewancarai langsung Nani Wartabone dan RM. Kusno Danupoyo (yang sempat menjadi Gubernur Lampung pertama) dan beberapa pelaku sejarah lainnya kala itu.
Event penting Nani Wartabone selalu terjadi di hari Jumat
Peristiwa Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 terjadi pada hari Jumat. Nani Wartabone dibebaskan sebagai tahanan politik dari penjara Cipinang pada tanggal 23 September 1949, hari Jumat. Nani Wartabone berhasil merebut kembali kekuasaan dari pemerintahan PRRI/Permesta pada 14 Pebruari 1958, hari Jumat.
Nani Wartabone wafat pada tanggal 3 Januari 1986, hari Jumat, saat itu Gorontalo diguyur hujan lebat, diiringi hujan air mata ribuan warga Gorontalo yang mengantarkan jenazahnya di desa kelahirannya, Bube, Suwawa.
Setelah perjuangan panjang, syukur alhamdulillah akhirnya Nani Wartabone mendapat gelar Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan 2003 silam. Anugerah diserahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri kepada salah satu ahli warisnya H. Fauzi Wartabone pada tanggal 7 November 2003, hari Jumat. Pada saat memperjuangkan perolehan gelar pahlawan tersebut, saya sebagai Gubernur Gorontalo kala itu berbincang dengan Presiden Megawati dan beliau mengatakan bahwa almarhum Nani Wartabone sudah beliau kenal sejak kecil bersama Bung Karno sebagai pejuang kemerdekaan, wajar dan patut beliau mendapat gelar Pahlawan Nasional.-
Jakarta, 23 Januari 2021: * Wakil Ketua MPR-RI 2019 -2024: Ketua Organisasi Masyarakat Gorontalo Rantau LAMAHU 2020-2025