Di era tahun 80-an hingga awal 2000. Namanya begitu lekat di telinga masyarakat. Pantun canda nan jenaka yang dibarengi petikan irama gambus, membuat banyak orang terhibur. Risno Ahaya, begitulah namanya.
Ramlan Tangahu, Telaga Jaya
Kabut mendung kembali menyelimuti dunia seni Gorontalo. Seorang seniman yang cukup populer di tengah masyarakat Gorontalo, Risno Ahaya, berpulang. Pria berusia 64 tahun tutup usia, Kamis (13/8/2020).
Pria yang dikenal sebagai maestro gambus Gorontalo itu meninggal setelah tiga tahun melawan penyakit yang dideritanya. Kedua lengan kiri dan kanan membengkak, sehingga sulit digerakkan. Tidak diketahui pasti jenis penyakit yang mendera bapak empat anak itu. Selama sakit, Risno memilih dirawat di rumah.
Sebelum kedua lengannya membengkak, Risno sempat mengalami gangguan ingatan. Ia tak ingat lagi anggota keluarga maupun sanak famili. Pihak keluarga sempat membawa Risno Ahaya ke Rumah Sakit Tumbilolato.
“Dari pemeriksaan di sana (RS Tumbilolato) , dokter sampaikan almarhum mengalami gejala pikun,” ujar Densi Ahaya, salah seorang putri almarhum Risno Ahaya.
Selama masa perawatan, Risno Ahaya tak lagi menjalani aktivitasnya sebagai seorang musisi. Ditambah lagi pembengkakan kedua lengannya membuat Risno tak bisa berjalan. Apalagi memetik gambus.
“Jadi tiga tahun itu aktivitasnya lebih banyak di rumah,” kata Densi Ahaya.
Baca juga: Langgar Protokol Kesehatan, Siap-siap Didenda Rp150-500 Ribu
Risno Ahaya menggeluti dunia gambus sejak masih berusia 10 tahun. Musik tradisional khas Gorontalo itu digelutinya secara otodidak. Nama Risno Ahaya mulai moncer pada era 1980-an. Ketika dirinya mengikuti festival budaya Gorontalo yang dilaksanakan Stasiun Radio Republik Indonesia (RRI). Perpaduan irama gambus berdawai empat yang unik, dan sajak tanggomo yang jenaka membuat Risno Ahaya keluar sebagai pemenang.
Sejak dari itu, ia sering diundang untuk mengisi hajatan mapun kegiatan seremoni pemerintahan. Risno Ahay tak hanya pandai memainkan dawai gambus. Meski menyandang difabel tunanetra, Risno Ahaya juga mampu merangkai syair lohidu, dan tanggomo (Seni bertutur khas gorontalo). Mayoritas tanggomo yang diciptakan Risno Ahaya lekat dengan kehidupan masyarakat Gorontalo. Mulai dari tata krama dan norma-norma masyarakat Gorontalo, hingga kehidupan sosial. Kadang pula ada yang berisi pujian terhadap seseorang, hingga candaan dan jenaka.
Salah satu tanggomo yang dipentaskan Risno Ahaya tercatat dalam arsip Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikud. Yaitu berjudul Kasimo Motora (2016).
Menyandang status sebagai musisi gambus yang populer, tidak lantas membuat kehidupan Risno Ahaya bergelimangan harta. Justru sebaliknya, sang maestro harus menjalani hari-harinya yang begitu berat. Agar dapur di rumah bisa tetap berasap, Risno memilih untuk mengamen.
Ditemani sebuah gambus yang catnya sudah memudar, Risno membawakan syair-syair tanggomo. Duduk di sudut pasar-pasar tradisional sambil mengumandankan alunan syair tanggomo. Berusaha sekuat tenaga agar suaranya dan alunan gambusnya bisa terdengar di antar riuhnya lalu lalang kendaraan bermotor. Sayangnya tenaga yang dimilikinya tak sekuat dulu. Kondisi usia yang mengerogoti fisiknya, membuat lantang suaranya tak nyaring semasa muda.
“Saya pantang mengemis. Lebih baik saya mengamen,” ujar Risno Ahaya semasa hidup.
Seiring kemazuan zaman dan hadirnya musik-musik moderen, keberadaan Risno Ahaya makin tersisi. Undangan tampil di hajatan dan kegiatan tak sebanyak dulu lagi. Hanya bisa dihitung dengan jari. Itupun kalau ada yang masih mengingat, atau ingin mendengarkan candaannya berpadu dengan irama gambus.
Kini popularitas Risno Ahaya sebagai pelantun tanggomo tinggal sebuah kenangan. Ia telah pergi untuk selamanya. Menghadap sang Khalik, yang tak pernah lupa setiap usaha hamba-Nya. (***)