GOPOS.ID, BONE BOLANGO — Peringatan hari buruh di Kabupaten Bone Bolango tahun ini menghadirkan ironi yang dalam di tengah gema seremonial dan pidato pembangunan. Suara jeritan pekerja sektor informal pun menggema, menagih keadilan yang tak kunjung nyata.
Hal itu mengundang reaksi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bone Bolango untuk menyuarakan kegelisahan rakyat kecil yang hingga kini masih bergulat dengan upah minim, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kepastian kerja yang layak.
Menurut data Dinas Tenaga Kerja Provinsi Gorontalo, tingkat pengangguran terbuka di Bone Bolango pada tahun 2024 masih berada di angka 4,7 persen. Mayoritas angkatan kerja bergantung pada sektor pertanian dan perikanan—sektor yang rentan terhadap guncangan pasar dan perubahan iklim.
Setiap tahun, ratusan lulusan perguruan tinggi terpaksa meninggalkan daerah karena minimnya lapangan kerja. Hal itu mencerminkan mandeknya pertumbuhan sektor industri di daerah ini.
Meski pemerintah telah meluncurkan program pelatihan kerja mandiri, namun dinilai pelatihan tersebut belum menyentuh akar masalah. Tanpa ekosistem usaha yang berpihak dan dukungan nyata terhadap UMKM, pelatihan hanya berujung pada sertifikat yang tak menjamin penghidupan.
“Keresahan hari ini bukan hanya soal kekurangan kerja, tapi absennya pekerjaan yang bermartabat,” ucap Jamaludin B. Hamsa, Formateur Ketua Umum HMI.
Konflik antara konservasi lingkungan dan kebutuhan ekonomi masyarakat desa penyangga kawasan konservasi juga menjadi sorotan. Warga mengeluhkan pembatasan ruang hidup tanpa pelibatan bermakna dalam kebijakan konservasi.
Mereka tidak menolak perlindungan alam. Namun menuntut keadilan ekologis yang tidak meminggirkan mereka dari tanah kelahirannya. Dia juga mengkritisi praktik ketenagakerjaan eksploitatif di sektor informal dan infrastruktur.
Banyak buruh masih bekerja tanpa kontrak, tanpa jaminan kesehatan, dan menerima upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Gorontalo yang sebesar Rp3.005.000. Di balik proyek pembangunan yang megah, masih banyak anak buruh yang putus sekolah karena desakan ekonomi.
Ironisnya, PAD Bone Bolango tahun 2024 tercatat hanya sekitar Rp.60 miliar. Sebagian besar justru bergantung pada pajak dari sektor-sektor informal yang tidak mendapatkan perlindungan.
Sementara itu, belanja publik yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat seringkali ditekan demi belanja rutin dan proyek infrastruktur.
“Keadilan sosial tak lahir dari rapat-rapat formal, tapi dari keberanian mendengar jeritan rakyat dan berpihak pada yang tertindas,” imbuhnya. (Maryam/MG/Gopos)