ADA dua pendapat klasik yang menjadi “conditio sine qua non” dalam memahami dan mengenal seseorang. Pertama, dengan mengenal lika-liku kehidupan pribadinya. Kedua, dengan cara “menggarap” beberapa karyanya untuk kemudian dinilai.
Pendapat kedua agaknya yang paling shahih untuk dianut. Sebab, karya merupakan penjelmaan paling dalam dari diri seseorang. Ia merupakan potret “sinar rontgen” paling terang dalam menggambarkan seseorang. Persis seperti yang ditemui dalam diri Anne Frank, yang menjadikan karyanya sebagai penjelmaan dari “dirinya yang lain” daripada sekadar torehan tinta belaka.
Saya sendiri adalah jenis manusia meyakini pendapat kedua; menjadikan karya sebagai instrumen dan media penting untuk berkenalan dengan seseorang yang tak pernah berjumpa secara langsung. Hal tersebut setidaknya saya gunakan dalam upaya berkenalan dengan sosok Penjabat Gubernur Gorontalo, Hamka Hendra Noer (H2N).
Diakui atau tidak, sosok H2N memang kurang dikenal oleh generasi angkatan saya (2010-an). Ia lebih dikenal oleh angkatan 1990 – 2000-an, terlebih saat turut aktif dan terlibat dalam momentum heroik pembentukan Provinsi Gorontalo.
Diketahui, selain sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berkarir di Kemenpora, juga dikenal sebagai organisatoris dengan segudang pengalaman aktivismenya di level lokal hingga nasional. Sosok H2N juga pernah tercatat sempat menjadi dosen program pascasarjana dan penguji tesis di sejumlah Perguruan Tinggi di Indonesia.
BERKENALAN LEWAT KARYANYA
Sosok H2N memiliki produktivitas melahirkan berbagai karya dengan nilai akademis yang tinggi. Sebagai seorang Birokrasi cum Akademisi, sejauh ini ia telah mempublikasi 22 jurnal ilmiah dan menerbitkan 5 buah buku.
Dari karyanya tersebut, secara tidak langsung saya pernah “menggarap” beberapa diantaranya, yakni buku tentang “Ketidaknetralan Birokrasi di Indonesia” serta jurnal tentang “Pengalaman Demokrasi di Asia Tenggara”. Meskipun tidak secara komprehensif, namun setidaknya dari dua karya tersebut saya bisa “membaca” tentang sosok, karakter dan kepribadiannya.
Pertama, dari bukunya tentang “Ketidaknetralan Birokrasi di Indonesia”. ia dengan apik mengulas tentang kondisi pola, gaya dan skema birokrasi di Indonesia dengan tarikan nafas yang objektif. Dan, setelahnya, dengan tajam dan “berani” mengkritisi gaya birokrasi yang seringkali justru menjadi part of the problem, dan “gagal” dalam menterjemahkan identitasnya sebagai “abdi” rakyat di sektor publik. Kehidupan Birokrasi, menurutnya, mesti concern pada tugasnya, dan yang paling penting: tetap netral terhadap tarikan kepentingan penguasa.
Kedua, dari ulasannya tentang “Pengalaman Demokrasi di Asia Tenggara”. Dalam tulisan tersebut, ia melempar gagasan yang analitik tentang demokrasi “yang seharusnya”. Ia menyoal tentang budaya demokrasi di negara- negara berkembang (khususnya negara di Asia Tenggara) yang masih menggunakan pola “patron-client”, yang menurutnya, merupakan budaya lama, serta menjadikan demokrasi (politik) menjadi tertutup. Itulah sebabnya dalam tulisannya tersebut ia memberikan oase tentang demokrasi yang “seharusnya” dan lebih substantif.
Dari kedua karyanya di atas, setidaknya, saya “menafsirkan”, bahwa H2N merupakan sosok yang cenderung normatif, berani dan mempunyai idealisme yang tinggi terhadap tugas dan tanggung jawab yang diemban. Ia juga “terbaca” sebagai seorang yang analitik, “anti-kemapanan”, memiliki keterbukaan terhadap sesuatu, serta memiliki wawasan geopolitik yang mumpuni.
H2N “MILIK” SIAPA?
Meskipun dilantik bukan sebagai pejabat definitif, namun euforia menyambut kepemimpinan H2N seolah tetap mendengung dengan begitu kencang.
Hal tersebut setidaknya terlihat dari berbagai “selebrasi” berupa ucapan selamat yang datang dari berbagai kerabat, teman, maupun kelompok tertentu kepadanya.
Bisa dipahami, euforia yang meluap-meluap tersebut hadir karena beberapa hal: Pertama, karena sosok H2N yang dikenal memiliki “kecerdasan wilayah” tentang ke-Gorontalo-an. Ia diyakini memahami kebutuhan dan hajat hidup rakyat secara kolektif. Kedua, karena jaringan pertemanannya yang luas di bumi serambi Madinah. Itulah sebabnya, banyak yang merasa “memilikinya”.
Secara politis, hal ini membawa implikasi ganda; di satu sisi, menjadi angin segar dan sinyalemen positif baginya. Minimal menjadi modal penting dalam menjaga stabilitas politik di bawah kepemimpinannya.
Namun, di sisi lain, hal ini menjadi boomerang dan ancaman, apabila ia tak cukup cerdas dalam mengakomodasi kepentingan kerabat, teman, terlebih kelompok yang merasa paling “memilikinya”, serta kutub politik yang merasa paling berjasa dalam memuluskan langkahnya hingga menjadi Pj. Gubernur.
H2N harus cukup jeli dalam menterjemahkan mana kepentingan yang memiliki tarikan politik yang secara praktis menguntungkan, dan mana yang tidak. Hal ini sangat penting. Sebab, dirinya sudah terlanjur “diklaim” berasosiasi dengan kelompok politik tertentu yang (juga) terlanjur menaruh “harapan politik” pada kepemimpinannya. Jika abai terhadap hal itu, maka bisa dipastikan ia akan mengalami turbulensi politik yang “membahayakan” kepemimpinannya.
H2N harus melepaskan diri dari klaim “milik” pribadi atau kelompok kepentingan tertentu. Meskipun, sekali lagi, ia sudah terlanjur diklaim “milik” kelompok tertentu, semisal, beberapa kelompok organisasi yang menjadi wadah bernaungnya dulu, hingga kelompok (entitas) politik tertentu. Ia harus menunjukkan dirinya sebagai “milik” kolektif masyarakat Gorontalo, dan, bukan “milik” kelompok tertentu.
BAGAIMANA PELUANGNYA DI PILGUB 2024?
Meskipun terkesan prematur dan terlalu terburu-buru, namun, pembicaraan tentang peluang H2N untuk mengikuti kontestasi Pilgub 2024 santer terdengar. Bukan tak mungkin, ia akan diaspirasikan untuk meramaikan Pilgub akan datang. Indikatornya sederhana:
Pertama, sebagai Pj. Gubernur, ia dianggap menduduki jabatan strategis secara politik. Minimal, posisinya saat ini secara tidak langsung mampu menderek sisi popularitasnya. Dan, jika kinerjanya dinilai baik, maka secara praktis dapat mendatangkan “bonus” elektoral yang signifikan.
Kedua, latar belakangnya yang merupakan “pribumi” Gorontalo yang sukses berkarir di level Nasional, dapat dijadikan sebagai salah satu branding politik yang menarik dan memiliki “nilai jual” tinggi.
Ketiga, Pada kontestasi Pilgub 2024 nanti, sosok H2N menjadi semacam tawaran sekaligus pilihan politik alternatif di tengah Calon Gubernur yang “itu-itu saja”.
Keempat, sebagai tokoh birokrat yang berkarir di level Nasional, ia pasti memiliki channel politik yang kuat. Hal tersebut setidaknya menjadi modal politiknya dalam membangun konfigurasi politik yang kuat dalam kontestasi Pilgub 2024.
Kelima, segudang pengalamannya di dunia birokrasi, berikut jabatan strategis yang pernah diembannya, menjadi modal yang sangat berharga dalam mengarungi pemerintahan, andai nanti nasib membawanya memenangi kontestasi Pemilihan Gubernur akan datang.
***
Oleh:
Syam Rizal Abbas