Oleh : Syam Rizal Abbas
TEPAT di penghujung 2019 Jakarta diguyur hujan lebat dengan curah dan intensitas tinggi. Tak pelak, hanya dalam hitungan jam, beberapa kawasan ibukota jelma bak kolam raksasa.
Penghuni ibukota tak perlu ke Dufan atau wahana air lainnya untuk menikmati wisata air, sebab, semuanya sudah tersuguh dengan nyata dihadapan mereka. Dan, tanpa embel-embel retribusi pulak.
Banjir Jakarta menjadi primadona media mainstream untuk diolah. Diceritakan, untuk kemudian diwartakan — mengalahkan pemberitaan tentang skandal “perampokan jiwasraya”, kasus Novel Baswedan. Bahkan iuran be-pe-je-es yang naik seratus persen tepat di hari pertama pergantian tahun. Untuk soalan terakhir, kita agaknya mesti mengamini “umpatan ilmiah” dari Eko Pras: orang miskin dilarang sakit!
Pada beberapa kesempatan, pengguna media sosial juga tak kalah ramai dalam memberitakan soalan banjir Jakarta. Dari sekadar membagikan postingan, mendoakan, bahkan mencaci dan memfitnah, serta mencari-cari kesalahan Gubernur DKI (baca: Anies Baswedan) yang dianggap “telah hilang” — untuk kasus terakhir, mereka menghadirkan semacam silogisme dengan proposisi yang non-koheren, sehingga justru menghasilkan konklusi yang cacat bin sesat dan sulit diterima akal sehat!
“…gara-gara Anies, si Gabener, warga Jakarta dihantam banjir parah”, kira2 bgitu ungkapan pembenci Anies saat menumpahkan kekesalan bercampur iri, benci dan dengki dengan “kondisi mental” yang masih gagal move-on dari Pilgub DKI tempo hari.
Anies dijadikan semacam tumbal atas musibah klasik warga DKI. Anies dipaksa untuk didudukkan di atas kursi pesakitan dan dihakimi dengan penilaian paling subjektif —berkisar pada sikap suka dan tak suka secara politis.
Sementara itu, kelompok pendukung Anies tak tinggal diam. Mereka memuntahkan argumentasi yg rada “dogmatik” dalam membela junjungannya.
Walhasil, Cebong, kampret bahkan kadal gurun yang notabene semacam personifikasi entitas politik tempo hari, seolah kembali hadir dan menjejali timeline sosmed serta beberapa media mainstream kita. Polarisasi politik kembali mencuat dan mengemuka. Topik perdebatan pun tercerai dari substansi permasalahan yang sesungguhnya.
Mereka seolah tengah “merayakan peperangan” di atas penderitaan serta kerugian harta dan jiwa warga Jakarta secara kolektif. Tak ada sikap simpati dan welas asih atas warga Jakarta yang tengah dirundung duka dan musibah. Mereka tampak hanyut dalam pusaran “banjir bandang” kepentingan politik yang serba pragmatis, hingga melupakan universalisme nilai kemanusiaan kita.
Ini adalah konsekuensi logis dari cara dan mental politik kita yang kolot dan usang; yang sekadar memaknai politik dari sekadar bahasan “menang-kalah”, serta menutup ruang perjumpaan nilai kemanusiaan dengan sebegitu rapat dan ketat.
Kondisi seperti itu sebenarnya telah kita temukan dan lewati dalam beberapa momentum kontestasi politik sebelum-sebelumnya.
Utamanya jika harus menilik soalan Pilgub DKI 2017-an silam atau yang teranyar adalah pilpres tahun kemarin; di mana lakon politik kita justru membuka “lapak politik”. Dengan lebih banyak mendagangkan isue-isue kebencian dan menyasar “konsumen politik”. Dengan segmen agama dan suku tertentu —nyaris tanpa menyisipkan agenda kemanusiaan sama sekali di dalamnya. Padahal, yang lebih tinggi dari urusan dan masalah politik adalah urusan kemanusiaan itu sendiri— sebagaimana ungkapan mendiang Alm. Gus Dur beberapa tempo silam.
Kita patut menduga, bahwa kondisi ini adalah akibat dari moral politik kita yang telah mengalami fase degradatif, sebagai imbas dari lakon politik kita yang sering “menjual” “bungkus” ketimbang “isi” dari visi politiknya. Atau, sebagai rembesan dari sikap elite politik kita yang cenderung non-educated dan abai dalam menginsyafi nilai-nilai kearifan politik yang luhur. Persis seperti yang didengungkan Alm. Cak Nur tempo hari.
Wallahu a’lam bisshawab…