GOPOS.ID, JAKARTA – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyatakan terdapat terdapat 1.098 kasus dugaan pelanggaran Pilkada 2020.
“Bawaslu sudah mendapatkan temuan sebanyak 904 kasus dan laporan 194 kasus dugaan pelanggaran,” kata anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (29/8/2020).
Ratna mengatakan, dugaan pelanggaran ini terjadi hanya selama tahapan verifikasi faktual dukungan calon kepala daerah perseorangan, serta tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) untuk penyusunan daftar pemilih.
Masih banyak tahapan pilkada yang belum dilaksanakan, sehingga ke depan potensi dugaan pelanggaran masih mungkin terjadi.
“Kita belum sampai pada tahapan pencalonan, tahapan kampanye, pungut hitung. Nah, ini harus menjadi kewaspadaan kita,” ujar dia.
Menurut Ratna, dari total 1.098 kasus, ada 242 kasus dugaan pelanggaran administrasi sebanyak 242.
Pelanggaran ini mayoritas disebabkan karena penyelenggara mengumumkan seleksi penyelenggara ad hoc tidak sesuai ketentuan.
Selain itu, ada 57 kasus dugaan pelanggaran kode etik dengan tren panitia pemungutan suara (PPS) atau panitia pemilihan kecamatan (PPK) memberi dukungan ke bakal calon.
Kemudian, ada 14 kasus dugaan pelanggaran tindak pidana dengan tren memalsukan dukungan pasangan calon perseorangan.
“Pelanggaran hukum lainnya sebanyak 528 kasus dengan tren ASN memberikan dukungan politik melalui media sosial dan melakukan pendekatan mendaftarkan diri ke partai politik, dan 260 kasus bukan pelanggaran,” tambahnya.
Sebelumnya Ketua Bawaslu RI, Abhan, mengatakan, beberapa rekomendasi sanksi dari KASN bagi ASN yang melanggar netralitas tidak sepenuhnya ditindaklanjuti oleh pembina pejabat kepegawaian (PPK) di setiap instansi.
Sementara itu, PPK di lingkungan pemerintah daerah dijabat oleh kepala daerah, yang bisa berpotensi maju kembali dalam pilkada.
Abhan menegaskan, setiap ASN harus bersikap netral, dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah.
KPU akan menggelar Pilkada 2020 di 270 daerah pada 9 Desember. (Infopublik.id)