Oleh: Fadel Muhammad, Wakil Ketua MPR RI
Ekonomi Indonesia tampaknya sudah mulai membaik setelah kita mengalami dampak pandemi Covid-19 sejak 2020 yang cukup dalam. Berdasarkan performa ekonomi yang dikemukakan Kadin, seperti disampaikan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Fiskal dan Publik Suryadi Sasmita di sejumlah media, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik dibanding negara-negara lain. Hal ini terdorong oleh ekspor batu bara, crude palm oil (CPO), nikel, dan timah. Meskipun begitu, secara makro ekonomi Indonesia belum kembali ke kondisi sebelum pandemi. Tentunya dibutuhkan terobosan-terobosan lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik lagi.
Beberapa pihak, baik di dalam negeri maupun lembaga-lembaga asing, memprediksi ekonomi Indonesia akan makin baik pada tahun 2022. Bank Dunia dalam laporannya berjudul Global Economic Prospect (GEP) yang dipublikasikan Juni 2022, memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,1% pada tahun 2022 dan naik menjadi 5,3% pada tahun 2023. Sementara itu, Asian Development Bank (ADB) yang pada April 2022 memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,0%, berdasarkan publikasi Juli 2022 (Asian Development Outlook) memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,2%. Peningkatkan perkiraan pertumbuhan ekonomi itu, menurut ADB, karena pertumbuhan permintaan domestik dan ekspor yang kuat serta aktivitas ekonomi terus berjalan normal. Apalagi infeksi Covid-19 tetap terkendali.
Akan tetapi ini pun tetap harus disikapi dengan hati-hati dan waspada karena pelemahan ekonomi global yang utamanya karena dipicu oleh inflasi global yang tinggi. Beberapa negara mengalami inflasi di atas 50% seperti dialami Turki (lebih dari 70%) dan Argentina (lebih dari 60%). Sementara Brazil, Rusia, dan Spanyol, meski relatif jauh dibanding Turki dan Argentina, inflasi mereka sudah melewati dua digit. Akibat kecenderungan yang mengkhawatirkan itu Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 hanya akan berkisar pada 2,9%, padahal tahun 2021 ekonomi dunia, menurut Bank Dunia, tumbuh 5,7%.
Diplomasi Presiden
Bagi Indonesia mendorong ekspor penting untuk mendongkrak ekonomi. Dunia memang sedang dihadapkan pada ketidakpastian dalam hubungan perdagangan akibat perang Rusia-Ukraina. Rantai pasok sejumlah komoditas terganggu, terutama rantai pasok pangan yang bisa memicu naiknya harga bahan pangan di sejumlah negara. Hal ini, antara lain, karena Rusia memblokade pengiriman pangan melalui Laut Hitam yang memicu krisis. Untuk mengurangi dampak blokade Rusia itu, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, beberapa waktu lalu meminta negara-negara yang menimbun stok pangan untuk melepas stok pangan tersebut agar tersedia di belahan dunia dengan harga yang terjangkau. Hal ini membutuhkan solusi diplomatik dalam membuka akses rantai pasoknya.
Dalam kondisi saat ini diplomasi menjadi sangat dibutuhkan. Karena itu saya mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan Presiden Joko Widodo yang telah mengunjungi tiga negara penting bagi Indonesia di kawasan Asia Timur pada akhir Juli 2022. Pada saat itu, Presiden melakukan kunjungan kenegaraan ke Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.
Dari Tiongkok, Presiden mendapat kesepakatan kerja sama dengan Presiden Xi Jinping di sejumlah bidang. Di antaranya, Tiongkok akan kembali membuka akses pasar untuk minyak sawit, produk perikanan, dan produk pertanian. Tiongkok, menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, yang mendampingi Presiden dalam kunjungan tersebut, juga berkomitmen untuk menambah impor CPO sebanyak 1 juta ton dan akan memprioritaskan impor produk pertanian dari Indonesia.
Usai dari Tiongkok, Presiden ke Jepang dan bertemu Perdana Menteri Jepang, Kishida Fumio. Dari pertemuan itu, Presiden menyepakati kedua negara akan memperkuat kerja sama di bidang perdagangan dan investasi. Dalam hal perdagangan, secara khusus Presiden meminta Jepang untuk memberikan dukungan penurunan tarif bagi beberapa produk pangan Indonesia seperti tuna, pisang, dan nanas, serta memberikan akses untuk mangga.
Sementara itu, di Korea Selatan Presiden Jokowi bertemu dengan Presiden Yoon Suk-yeol. Dari pertemuan tersebut, Presiden mengemukakan bahwa di luar tren perdagangan antar-kedua negara yang terus meningkat, kedua belah pihak sepakat untuk terus membuka akses pasar, mengatasi hambatan-hambatan perdagangan, dan mempromosikan produk-produk unggulan kedua negara. Tentu saja di samping mendorong peningkatan hubungan dagang, Presiden juga mendorong agar investasi dari ketiga negara itu terus meningkat di Indonesia.
Hasil kunjungan Presiden ke Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan itu, membutuhkan tindak lanjut dari para pembantu Presiden agar realisasinya bisa dilakukan dengan mulus. Oleh karena itu, pemerintah juga harus mendengar keluhan dari pelaku usaha yang berkaitan dengan poin-poin kesepakatan itu. Misalnya, dalam hal ekspor CPO. Pemerintah telah membuka keran ekspor CPO setelah sebelumnya menyetop karena tingginya harga minyak goreng di dalam negeri. Dorongan ekspor antara lain dilakukan dengan memberlakukan beberapa skema. Salah satunya skema domestic market obligation (DMO) atau kewajiban eksportir untuk memasok kebutuhan pasar domestik untuk CPO dan turunannya.
Mulai Agustus 2022 pengali ekspor CPO (DMO) adalah 1:9 atau sembilan kali lipat untuk ekspor dibanding untuk pemenuhan pasar domestik. Sebelumnya skema DMO ini adalah 1:7. Akan tetapi, meskipun peluang ekspor dibuka lebih lebar, menurut Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, seperti dikutip Kompas, pada praktiknya tidak mudah karena pasar CPO dunia sedang lesu. Salah satu kendalanya sulit mendapatkan kapal. Dalam keadaan normal, eksportir biasanya sudah mencari kapal sebelum mendapatkan persetujuan ekspor (PE). Sekarang, untuk mendapatkan PE, eksportir harus memenuhi DMO terlebih dahulu, baru mencari kapal. Padahal mendapatkan kapal sedang sulit karena berebut dengan pengguna kapal dari negara lain. Ia meminta pemerintah menghapus kebijakan DMO dulu untuk mendorong ekspor CPO. Jika nanti harga minyak goreng kembali naik di dalam negeri baru CMO diberlakukan kembali. Hal-hal demikian mungkin membutuhkan dialog untuk menemukan solusi terbaik. Jadi, selain diplomasi antar-negara, di dalam negeri pun membutuhkan “diplomasi” di antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam mendorong ekspor (pemerintah dan pengusaha).
Akan halnya diplomasi yang dilakukan Presiden Jokowi, hal ini menjadi penting karena Indonesia menjadi ketua Presidensi G20 yang puncaknya adalah KTT yang akan diselenggarakan di Bali pada November 2022. Seperti kita ketahui, perang Rusia-Ukraina membuat penyelenggaraan KTT G20 mendapat ancaman pemboikotan dari sejumlah negara anggota yang menolak kehadiran Rusia di forum tersebut. Tentunya dibutuhkan kepintaran diplomasi untuk meyakinkan semua anggota agar KTT G20 itu dan Presidensi G20 yang dipegang Indonesia sejak Desember 2021 akan sukses. Langkah diplomasi Presiden Jokowi ke tiga negara itu –selain sebelumnya kunjungan ke Eropa, termausk ke Ukraina dan Rusia– juga sejalan dengan tema Presidensi G20 yakni “Recover Together, Recover Stronger“. Melalui tema tersebut, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk bisa pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan. Tentunya kita harus mendukung langkah-langkah tersebut sehingga Indonesia mendapat pengakuan dunia dalam menjalankan politik internasionalnya.###