Oleh: Fadel Muhammad
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2022 mencapai 5,31%. Angka pertumbuhan tersebut di atas target pemerintah yang sebesar 5,2%. Tentu ini kabar yang menggembirakan yang seharusnya membuat kita makin optimistis memasuki tahun 2023 dan seterusnya. Salah satu poin penting yang bisa mendorong optimisme itu adalah pandemi Covid-19 sudah mereda hingga pemerintah pun berani mencabut kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di seluruh wilayah Indonesia sejak kebijakan itu dicabut 30 Desember 2022. Dengan dicabutnya PPKM, mobilitas dan aktivitas masyarakat berangsur normal bahkan kini sudah bisa dikatakan relatif seperti sebelum pandemi.
Tantangan Daerah
Dilihat dari kontribusi daerah terhadap pertumbuhan itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional tersebut masih dominan disumbang Pulau Jawa. Pulau Jawa memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia sebesar 56,48% dan tahun lalu pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Pulau Jawa secara rata-rata adalah sebesar 5,31%, sama dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
Kontribusi daerah lainnya (berdasarkan pulau) adalah Pulau Sumatera yang berkontribusi sebesar 22,04% terhadap perekonomian nasional dan tahun 2022 tumbuh sebesar 4,69%. Kemudian Kalimantan yang kontribusinya pada ekonomi nasional sebesar 9,23% dengan pertumbuhan ekonomi tahun lalu sebesar 4,94%. Disusul kemudian Pulau Sulawesi dengan kontribusi kepada ekonomi nasional sebesar 7,03% (tahun lalu ekonominya tumbuh 7,05%), lalu Bali dan Nusa Tenggara dengan kontribusi 2,72% (tahun lalu ekonominya tumbuh 5,08%), serta Maluku dan Papua dengan kontribusi pada ekonomi nasional sebesar 2,50% dan ekonominya tumbuh 8,65% pada tahun yang sama.
Berdasarkan lapangan usaha, data BPS menyebutkan, lapangan usaha transportasi dan pergudangan tumbuh paling tinggi yakni sebesar 19,87%, diikuti oleh penyediaan akomodasi dan makan minum yang tumbuh sebesar 11,97%. Secara sekilas bisa kita pahami bahwa tumbuh tingginya kedua kelompok lapangan usaha itu karena sepanjang tahun lalu mobilitas dan aktivitas masyarakat makin meningkat seiring diperlonggarnya kebijakan PPKM. Sedangkan lapangan usaha yang memberikan kontribusi paling dominan pada PDB nasional adalah industri pengolahan dengan pertumbuhan tahun lalu sebesar 4,89%.
Sejak lama kita berharap sektor industri pengolahan bisa tumbuh impresif dan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional mengingat kita memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah di setiap daerah. Akan tetapi hingga saat ini kita masih berhadapan dengan beragam kendala, terutama di luar Pulau Jawa.
Industri pengolahan hingga saat ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Bagaimana industri pengolahan di luar Pulau Jawa bisa ditingkatkan? Dalam teori yang sudah sama-sama kita mafhumi, faktor pendorong utamanya (di sisi lain bisa menjadi faktor penghambatnya) adalah SDM, modal (investasi), dan teknologi. Tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa daerah yang sektor industri pengolahannya berjalan lambat pimpinan daerahnya tidak memperhatikan ketiga faktor itu. Semua daerah memperhatikan hal-hal tersebut. Perbedaannya adalah bagaimana mengoptimalkan SDM yang dimiliki, kegigihan dan kreativitas daerah menarik investor, serta memanfatkan terknologi yang umumnya dibawa oleh investor. Tentu kita masih bisa mengurut hambatan berikutnya, seperti jalur distribusi yang masih terkendala, pemasaran, kualitas produk, pasar nasional dan dunia yang melambat, dan sebagainya.
Terkait hal tersebut, menarik untuk memperhatikan arahan Presiden Joko Widodo saat menghadiri Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Se-Indonesia Tahun 2023 yang diselenggarakan di Bogor pada 17 Januari 2023 lalu. Di antara sejumlah arahannya, ada dua arahannya yang cukup relevan dengan industri pengolahan, yakni terkait investasi dan pengembangan komoditas. Dalam kaitan dengan investasi, Presiden meminta daerah untuk tidak mempersulit izin. Menurut Presiden, semua izin harus bisa selesai dalam hitungan hari, jangan sampai berbulan-bulan. Sudah sama-sama kita yakini bahwa kemudahan izin bisa meningkatkan daya tarik investasi daerah, namun masih banyak daerah yang izinnya lama.
Poin lain yang menurut saya perlu mendapat perhatian serius di daerah adalah bahwa setiap daerah harus memiliki brand-nya sendiri-sendiri yang berhubungan dengan kekhasan yang dimilikinya. Ini menurut saya menjadi potensi yang sangat besar karena setiap daerah sudah tentu memiliki keunggulan yang merupakan ciri khasnya sendiri yang berbeda dengan daerah lainnya. Dulu ketika saya menjadi Gubernur Gorontalo (2001-2009), saya membangun Gorontalo menjadi provinsi dengan branding sebagai provinsi jagung. Hingga saat ini, 20 tahun kemudian, brand Gorontalo sebagai provinsi jagung masih melekat kuat pada Gorontalo. Ini merupakan salah satu contoh pembentukan local branding untuk mendongkrak ekonomi daerah.
Kualitas dan Pasar
Ide tentang branding daerah ini sebenarnya sudah lama. Kalau kita melihat ke belakang, salah satu ide mem-branding daerah yang cukup berhasil dan bergaung di dunia adalah saat Gubernur Oita Prefecture, Jepang, yakni Morihiko Hiramatsu, menggagas gerakan “One Village, One Product” (OVOP) pada tahun 1979 dan mulai diimplementasikan pada tahun 1980. Konsep utama OVOP adalah untuk mendorong keterlibatan aktif warga lokal dalam bidang ekonomi dengan menghasilkan produk unik yang khas daerahnya dan mengembangkannya sesuai standar nasional dan global.
Standar nasional dan global berarti bahwa produk yang dimaksud harus memiliki kualitas yang diakui secara nasional dan global. Untuk itulah maka pemerintah prefecture tersebut memberikan dukungan pada masyarakat dengan menyediakan tenaga ahli atau supervisor pendamping di bidang teknis, pemasaran, dan lain sebagainya. Dalam hal ini tampak bahwa peran pemerintah daerah sangat besar untuk membangun gerakan itu dan memotivasi masyarakat serta menjamin kualitas sesuai standar pasar, dan juga menciptakan pasarnya.
Bagaimana pemerintah Oita Prefecture membangun pasar? Pertama, dengan mempromosikan program OVOP ke luar prefecture. Kemudian membangun imej tentang produk yang dihasilkan OVOP sebagai produk lokal berkualitas. Untuk menentukan produk atau komoditas unggulan itu, pemerintah Oita menyeleksinya dari 300-an produk unggulan setempat. Ketika promosi bergema secara nasional, lalu muncul kepenasaranan masyarakat luar Oita akan produk unggulan khas daerah itu sehingga pada akhirnya tercipta pasar. Di samping itu penduduk setempat juga didorong agar bangga dengan produk mereka.
Sebagai akibatnya, beberapa produk dari Oita Prefecture menjadi komoditas top di Jepang seperti jamur goreng, jeruk mandarin, dan sebagainya. Mereka juga mendorong pariwisatanya. Di Kota Yufuin yang hanya berpenduduk 12 ribuan jiwa, pada tahun 1979 (sebelum OVOP) hanya dikunjungi 1,9 juta wisatawan, namun pada 2004 jumlah wisatawan melonjak menjadi 3,88 juta orang (Widiyanti, A., 2018). Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Oita Prefecture berhasil mem-branding daerahnya sebagai penghasil produk unggulan berkualitas tinggi yang memenuhi standar nasional dan global. Masalah standar (kualitas) menjadi penting. Konsep OVOP sendiri kemudian diadopsi berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
Di Indonesia
Di Indonesia sudah banyak daerah yang mengimplementasikan OVOP. Ada banyak yang berhasil, tetapi ada juga yang kurang optimal. Di antara yang berhasil adalah karena pemerintah daerahnya “all-out” mendukung program itu sampai produk yang jadi unggulannya menjadi brand khas daerahnya. Pemerintah daerahnya ikut mempromosikan dan mambangun pasar produk mereka di luar daerahnya, termasuk membuka pasar ekspor.
Yang membedakan antara OVOP ala Oita Prefecture, di Indonesia kini banyak program OVOP yang digerakkan oleh Kementerian Perindustrian melalui dinas perindustrian di daerah. Memang harus dilakukan kajian apakah OVOP itu sesuai dengan harapan Presiden membangun kekhasan daerah, juga apakah cukup efektif OVOP di bawah Kementerian Perindustrian dibanding dikelola oleh pemerintah daerah. Saya berpikir, akan efektif jika ditangani oleh pemerintah daerah karena ketika ditangani Kementerian Perindustrian, pemerintah setempat jadi kurang optimal berperan. Sementara untuk membangun dan memotivasi masyarakat agar gigih mengembangkan produk unggulan, pembinaannya harus lintas sektor. Jika hanya satu dinas yang merupakan wakil kementerian akan sulit berkoordinasi dengan pihak lain di daerah tersebut karena beda kewenang. Beda jika dilakukan oleh pemerintah daerahnya. Namun ini perlu kajian tersendiri dan tentu tidak bisa dipukul rata untuk seluruh daerah.
Saya sedikit punya pengalaman mem-branding daerah dengan komoditas unggulan yakni tatkala Gorontalo dibangun menjadi “provinsi jagung”. Di antara catatan yang ingin saya sharing adalah:
- Daerah memiliki produk spesial (dalam hal ini jagung) yang dikelola secara spesial dan dibangun menjadi penggerak ekonomi daerah yang signifikan.
- Karena fokus untuk mengembangkan brand daerah sebagai “provinsi jagung”, segala sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun brand tersebut beserta nilai ekonominya tercurahkan pada sektor tersebut, mulai dari pengembangan SDM, kebijakan, teknologi, dan lain-lain.
- Dari pengalaman saya, kepala daerah perlu membuat kebijakan sebagai penyangga pelaku usaha (UMKM) di sektor bersangkutan agar mereka bergairah menjalankan usahanya dan terutama membangun standar kualitas komoditas sesuai dengan kebutuhan pasar. Karena komoditas jagung diperuntukkan bagi pakan ternak, standar jagung yang diproduksi masyarakat juga diberi standar kalau ingin diterima pasar. Misalnya, dengan kadar air tertentu. Untuk mendukung agar petani mau menanam jagung dan menghasilkan jagung sesuai standar, Pemerintah Daerah Gorontalo pada saat itu menetapkan harga dasar jagung terendah yang lebih tinggi dari harga pasar yang biasa dipermainkan para tengkulak. Pemerintah daerah menjamin, jika petani sulit menjual jagung ke pasar dengan harga sesuai aturan, pemerintah akan membelinya asal sesuai standar kualitas yang sudah ditetapkan (sesuai standar pasar yang sudah dibakukan dalam keputusan gubernur). Dengan begitu petani tetap bergairah memproduksi jagung karena pasarnya sudah terjamin dengan harga yang menguntungkan mereka. Gairah mereka dalam menanam jagung tetap terjaga karena masa depan mereka terjamin.
Masalah kualitas, menurut saya, merupakan sesuatu yang krusial yang harus terus diperjuangkan selain membuka pasar. Kekhasan daerah memang penting. Akan tetapi khas saja tidak cukup. Khas jika tidak diikuti dengan kualitas yang memenuhi standar nasional atau global atau pasar yang dibidiknya, perkembangannya akan sulit. Inilah yang menjadi salah satu PR dalam membangun local branding daerah terkait dengan produk unggulan tertentu.###