MENANGKAP pelaku kasus korupsi bukan seperti menangkap pelaku pencurian ayam. Butuh kehati-hatian aparat penegak hukum dalam mencari bukti-bukti yang menunjukkan bahwa orang itu benar-benar terlibat korupsi atau tidak. Yang dibutuhkan penegak hukum minimal dua alat bukti yang dapat dipergunakan dalam proses penanganan perkara selanjutnya. Bahkan hingga menyeret tersangka ke pengadilan.
Jika tidak, maka penegak hukum akan diserang balik oleh para koruptor tersebut dengan adanya gugatan pra-pradilan. Tidak sedikit dari terduga koruptor ini menang atas pra-pradilan yang mereka layangkan di Pengadilan.
Sehingga tidak heran jika kasus korupsi di Indonesia dalam di tiga tahun terakhir menunjukkan penurunan pengungkapan kasus korupsi. Dari data ICW pada 2017 ada 576 kasus korupsi terungkap. Jumlahnya menurun sejak 2018 ada 454 kasus korupsi, kemudian jumlahnya turun nyaris 50 persen pada 2019 menjadi 271 kasus korupsi saja yang terungkap.
Kebayakan dari aktor-aktor koruptor ini adalah kepala daerah. Sementara aparatur sipil mereka menjadi tumbal dari perbuatan atasanya tersebut. Tidak heran, ketika seseorang yang berkeinginan menjadi kepala daerah maupun pimpinan di lembaga Kementerian, sudah merencanakan apa yang akan mereka lakukan ketika menjabat sebagai kepala daerah atau Menteri. Inilah yang dinamakan korupsi by plan.
Bukti kongkrit dari calon kepada daerah dengan itikad tidak baik adalah meminjam dana kepada investor sebagai modal dalam kampanye hingga duduk di kursi nomor satu di daerah tersebut.
Namun pada perjanjiannya, sang investor tak menginginkan pengembalian modal yang diberikan dalam bentuk uang. Tetapi berbentuk proyek yang bisa dikerjakan hingga jangka waktu panjang. Inilah yang membuat suatu daerah menciptakan mega proyek meski sebenarnya belum dibutuhkan bahkan tidak bermanfaat bagi daerah tersebut. Namun dipaksakan demi membayar lunas modal politik yang digunakan ketika maju dalam konstetasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Tidak hanya sampai disitu, hal ini akan kembali terulang ketika kepala daerah tersebut ingin maju kembali ke periode kedua. Mereka lakukan hal yang sama. Yakni meminjam uang sebagai cost politik, kemudian menukarnya dengan mega proyek.
Korupsi by plan lainnya dengan memanfaatkan kebijakan yang dimiliki. Sebab mewujudkan proyek mega besar itu, kepala daerah harus mendapat untung. Mereka kemudian melakukan survei terhadap mega proyek yang akan dibangun, membeli lahan yang menjadi lokasi proyek itu dengan harga murah. Kemudian menjualnya kembali ke lembaga pemerintah dengan harga lebih besar. Keuntungannya bisa berkali-kali lipat.
Hal inilah yang coba dilawan oleh masyarakat. Sehingga tidak heran jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2019 ini sudah menerima sebanyak 6.084 aduan masyarakat. Namun dari jumlah itu, hanya sebanyak 2.780 laporan di antaranya, merupakan pengaduan terkait tindak pidana korupsi yang telah diverifikasi, (laporan tahunan KPK).
Untuk melawan korupsi by plan ini. Maka yang diperlukan adalah keberanian. Tidak hanya keberanian dari penegak hukumnya. Tetapi aparatur-aparatur negara yang sering kali menjadi tumbal dari kebijakan kepala daerahnya. Ketika mendapatkan kondisi menyimpang yang terjadi diinstasi dimana aparatur sipil negara ini bekerja, maka bisa melaporkan ke layanan yang telah disediakan oleh KPK maupun aparat penegak hukum lainnya.
Persiapkan bukti yang dapat dipergunakan untuk menyeret orang tersebut ke Pengadilan. Atau tidak menginformasikan kepada aparat hukum, kemungkinan transaksi yang akan dilakukan disuatu tempat.
Dengan begitu, kebijakan buruk dari pemimpin daerah tidak ditindaki sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Tidak sampai disitu, peran masyarakat juga sangat dibutuhkan. Ketika mendapatkan kondisi menyimpang dalam aparatur sipil atau pejabat daerah di lingkungannya. Maka bisa melapor ke aparat penegak hukum.
Memberikan bukti yang menjadi dasar dalam penindakan. Terakhir, adalah keseriusan dari penegak hukum untuk memproses perkara tersebut. Biasanya, setiap kasus butuh waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk dapat diproses hingga ke pengadilan. Apalagi jika pimpinan aparat penegak hukum tersebut sudah terkontaminasi dengan kedekatan kepala daerah.
Maka yang terjadi adalah bentuk kepentingan. Jika pimpinan institusi penegak hukum benar-benar komitmen memberantas korupsi. Maka setiap kasus yang sudah memiliki cukup alat bukti. Bisa melimpahkan ke pengadilan atau institusi lebih tinggi. Meski ada tantangan dan ancaman yang menanti. Tak hanya berupa intimidasi verbal, melainkan juga berupa serangan secara fisik hingga percobaan pembunuhan. (*)