Oleh: Hasanuddin Djadin
Akhir Agustus 2023 yang kelam bagi Partai Demokrat. Di penghujung bulan Kemerdekaan RI itu, Partai Demokrat harus menerima kabar tak mengenakkan. Harapan Partai Demokrat agar ketuanya, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY, mendampingi bakal calon presiden (bacapres), Anies Baswedan, buyar.
Kabar santer Anies Baswedan akan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sekretaris Jendral (Sekjen) Partai Demokrat, Teuku Riefky Harsya, mengkonfirmasi kebenaran kabar tersebut. Melalui siaran pers, Riefky memastikan bila Anies akan menggandeng Cak Imin ke Pilpres 2024.
Kubu Partai Demokrat bereaksi atas kabar tersebut. Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ikut buka suara.
“Ada lagi komentar ‘ini Demokrat kena prank dari musang berbulu domba’,” kata SBY. (Baca: SBY Sebut Kena Prank Musang Berbulu Domba)
Setali tiang uang. Pengurus dan kader Partai Demokrat di daerah ikut bereaksi. Mereka menurunkan baliho yang menampilkan wajah Anies. Langkah itu sebagai bentuk luapan kekecewaan atas langkah Anies Baswedan yang memilih Muhaimin Iskandar ketimbang AHY.
Kekecewaan para kader partai yang berlambang seperti segitiga mercy ini cukup beralasan. Sebab sejak dimulainya Koalisi Perubahan untuk Persatuan, yang merupakan gabungan NasDem, Demokrat, dan PKS, nama AHY untuk mendampingi Anies Baswedan terus mencuat. Sosok AHY dipandang layak mendampingi Anies sebagai pasangan yang merepresentasikan nasionalis demokrat.
Tersingkirnya AHY sebagai kandidat pendamping Anies Baswedan, membuat Partai Demokrat berada di persimpangan. Pilihan untuk bertahan di Koalisi Perubahan dan Persatuan tentu tak mudah. Luka telah menganga. Partai Demokrat tentu tak mau dianggap sebagai penggembira. Hanya sekadar pelengkap.
Pilihan untuk pindah koalisi ke Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo sangat memungkinkan diambil Partai Demokrat. Pada Pilpres 2019, Demokrat melabuhkan dukungan untuk Prabowo. Sebuah historis yang bisa saja terulang.
Namun ambisi menempatkan AHY di pentas Pilpres lagi-lagi tak mudah. Bahkan tak menjamin bila AHY akan dipilih sebagai Cawpares oleh Prabowo atau Ganjar. Duet Anies dan Muhaimin makin mengurucutkan pertimbangan kewilayahan dan basis massa, dalam pemilihan cawapres. Prabowo maupun Ganjar pastinya tidak akan mengambil pendamping di wilayah ceruk yang sama. Mereka butuh tambahan amunisi untuk memperluas wilayah elektoral. Pertimbangannya antara wilayah atau basis massa, atau bisa jadi kedua-duanya.
Pilihan membangun koalisi sendiri juga memungkinkan. Partai Demokrat bisa saja menggandeng PPP dan PKS. Menjadi poros baru di antara Anies, Prabowo, dan Ganjar. Tetapi upaya menggandeng PPP maupun PKS, merupakan pekerjaan yang benar-benar berat. Apalagi PKS secara terbuka menyatakan tetap akan berada di Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Tetap mendukung Anies Baswedan yang nantinya berpasangan dengan Muhaimin Iskandar. Demikian pula PPP yang masih berada di barisan PDIP untuk mendukung Ganjar.
Waktu tersisa 6 bulan lagi. Walaupun bukan yang ideal, masih ada waktu bagi Partai Demokrat. Memilih bertahan (sulit untuk terwujud, red), merapat ke kubu Prabowo atau Ganjar, membentuk koalisi baru, atau meniti jalan sepi kontestasi Pemilu.
Memang ini bukan baru pertama bagi Demokrat yang meniti jalan sepi di tengah hiruk pikuk pencalonan Presiden. Pada Pemilu 2019, Partai Demokrat memilih netral dan tak bergabung ke koalisi Jokowi dan Prabowo. Apakah hal itu akan terulang lagi di Pilpres 2024? Mari kita simak…