Oleh: Hasanuddin Djadin
Uji kompetensi wartawan buat apa? Ini kalimat yang sering ditanyakan. Di perbincangan pada berbagai ruang dan tempo yang berbeda. Sejak dideklarasikan pada Hari Pers Nasional (HPN) 2010 di Palembang. Pertanyaan soal manfaat kegiatan yang akrab disebut UKW itu senantiasa muncul.
Tak terkecuali pada Uji Kompetensi Wartawan yang dilaksanakan Dewan Pers di Provinsi Gorontalo, Jumat-Sabtu (25-26/8/2023). Diikuti oleh 40 wartawan dengan dua lembaga uji. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta.
Dari pelaksanaan UKW tersebut, saya ingin meng-highlight tiga hal dalam tulisan yang singkat ini. Yaitu Ketrampilan (skill); Pengetahuan (knowledge); serta Kesadaran (Awarness). Tiga hal ini menjadi benchmark atau alat ukur setiap peserta UKW sesuai jenjang ujian (Muda, Madya, dan Utama). Pengukuran tiga hal ini pula yang menjadi dasar untuk menetapkan seseorang memiliki kompetensi dalam menjalankan tugas dan kerja-kerja kewartawanan.
Mengapa tiga hal ini diukur? Dunia kewartawanan di Indonesia merupakan profesi yang terbuka. Dalam artian pelaksanaan tugas dan kerja-kerja kewartawanan di Tanah Air tidak terbatasi oleh sekolah atau ijazah khusus, termasuk standar pendidikan tertentu. Berbeda dengan dokter yang mengharuskan lulusan Fakultas Kedokteran. Pengacara yang harus memiliki lisensi oleh organisasi advokat, serta profesi lainnya.
Profesi yang terbuka ini membuat siapa saja bisa menjadi wartawan. Dampak positifnya, profesi wartawan tidak dimonopoli oleh sekolah/pendidikan tertentu. Dampak negatifnya, sulit membedakan wartawan profesional dan non-profesional atau acapkali disebut abal-abal. Karena itu dilakukan UKW untuk melindungi sekaligus memuliakan profesi wartawan.
Setiap wartawan yang mengikuti UKW akan diukur ketrampilannya. Tidak hanya ketrampilan dalam mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi (6M). Ketrampilan lainnya memiliki keterkaitan dengan kerja kewartawanan ikut diuji. Seperti melakukan riset hingga penggunaan alat/perangkat teknologi informasi.
Begitu pula pengetahuan yang dimiliki. Seorang wartawan dituntut mengetahui banyak hal, di samping pengetahuan teori dan prinsip kewartawanan. Baik pengetahuan bersifat umum maupun pengetahuan bersifat khusus. Aspek pengetahuan sangat berkaitan dengan kemampuan seorang wartawan dalam menguji kebenaran setiap informasi yang diterima. Memastikan informasi yang diperoleh untuk kepentingan umum. Tugas seorang wartawan tidak sekadar memindahkan “mulut” seseorang ke paragraf dalam tulisan, tetapi bagaimana menghadirkan kebenaran bagi banyak orang.
Lalu aspek kesadaran yang menjadi pondasi sekaligus elemen penting bagi setiap wartawan. Meski profesi terbuka, dunia kewartawanan di Indonesia bukanlah alam liar. Kemerdekaan pers tidak berarti bebas sebebas-bebasnya. Ada rambu-rambu (guidelines) dan pembatas (firewall) yang melingkupinya. Yaitu ketentuan hukum berupa regulasi, dan norma moral perilaku atau etika. Regulasi dan etika harus berjalan seiring dalam menjalankan tugas dan kerja-kerja kewartawanan. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan.
“Kerusakan sistem yang terjadi saat ini karena banyak orang tidak melanggar undang-undang, tetapi melanggar etika. Sama halnya dalam dunia kewartawanan. Bisa saja seorang wartawan secara Undang-undang dia tidak melanggar, tetapi secara etika dia melanggar.”. Begitulah penegasan Yusuf M. Said. Penguji PWI saat memberi sambutan pada pembukaan UKW di Provinsi Gorontalo, Jumat (25/8/2023).
Akhir kata bagi teman-teman yang dinyatakan kompeten, bukan berarti proses dan upaya menjadi seorang wartawan profesional telah selesai. Justru sebaliknya. Status kompetensi menjadi tolok ukur bagi seorang wartawan untuk terus mengasah ketrampilan, pengetahuan serta kesadaran terhadap ketaatan atas aturan dan etika.
Dunia kewartawanan tidak berada di belakang perubahan. Dunia kewartawanan senantiasa mengiringi, bahkan pelopor sebuah perubahan. (***)