Oleh: Ardin Bataweya
Wasekum PPD HMI Cabang gorontalo
Enigma (ketidak jelasan), pembangunan yang dibuat oleh pemerintah Kota Gorontalo, menjadi sejarah kelam bagi UMKM dan pedagang kecil yang menjadi arus perpuataran ekonomi masyarakat mandiri. Kekacauan ini bisa kita lihat bersama dari banyaknya UMKM dan pedagang kecil yang tutup diakibatkan oleh proses pembangunan, anehnya pembangunan tersebut dianggarkan dari hasil pinjaman kepemerintah pusat dengan Istilah PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). Alih alih untuk memulihan ekonomi, ternyata anggaran PEN berbanding terbalik dengan tujuannya, yang memberikan dampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi yang ada di kota gorontalo.
Jika melihat Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2020, terdapat enam kebijakan yang diatur dalam program PEN. Di antaranya insentif bagi dunia usaha, dukungan untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), penanganan kesehatan, perlindungan sosial, pembiayaan korporasi, dan program sektoral kementrian lembaga dan pemerintah daerah. Dari enam kebijakan tersebut harus memprioritaskan terhadap penunjangan pertumbuhan ekonomi yang ada di daerah. Di kota Gorontalo, lewat pemerintahanya cukup mengherankan dalam pengelolaan anggran PEN, dengan kondisi anggaran kurang lebih 290 milyar diproyeksikan untuk dua program saja, yaitu mengenai kesehatan dan pembangunan infrastruktur. Hal ini membuktikan betapa tidak tahunya pemerintah kota gorontalo dalam mengelolalah anggran PEN, yang diperuntukan untuk pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, mungkin saja pemerintah kota gorontalo mempunyai kajian tersendiri dalam menumbuhkan ekonomi dalam daerah, bisa jadi bahwa dengan melakukan pembangunan infrastruktur akan memudahkan akses untuk berjalanya perekonomian di masa yang akan datang. Tetapi sekali lagi pemerintah kota gorontalo tidak cukup cerdik melihat kondisi masyarakat, UMKM, dan pedang kecil yang ada, mana lagi setelah dampak covid 19 yang secara bersama melemahkan perekonomian masyarakat, dari tataran elit sampai pada kelas bawah. Ketidak tahuan pemerintah kota gorontalo terhadap kondisi masyarakat menjadikan pengelolaan anggran PEN tidak tepat sasaran.
Selain itu, jika membaca lebih jauh persoalan anggaran yang berstatus pinjaman yang diproyeksikan untuk pembangunan, mengingatkan kita pada awal kemerdekaan Indonesia, dimana pemerintah berbondong bondong melakukan pembangunan untuk menstabilkan sistem perekonomian Indonesia, namun pembangunan tersebut didapatkan dari hasil pinjamanan dari bangsa lain. Keadaan ini menimbulkan kritik dari Kaharudin Yunus yang mengatakan “baiaya pembangunan hendaknya bersumber dari tabungan bukan utang, karena bila bersumber dari utang hanya menjadi beban berat yang harus di tanggung generasi yang akan datang”, Kaharudin juga menginterprestasikan kebijakan indonesia pada awal kemerdekaan sama sekali tidak mementingkan jangka panjang. Bahkan dihadapan para peserta kongres Persatuan Islam di bandung 19 Desember 1956, kaharudin Yunus juga mengkritik sistem ekonomi indonesia adalah sistem yang korup, sebab hukum yang berlaku di Indonesia, justru membuka peluang terjadinya pencurian tertib di bawah perlindungan hukum.
Terakhir, keterpurukan perekonomian UMKM, dan pedagang kecil yang diaakibatkan oleh proses pembangunan seharusnya menjadi tanggung jawab besar bagi Pemerintah Kota Gorontalo. Artinya pihak pemerintah bukan saja fokus pada penyelesaian pembangunan yang sudah dilakukan. Akan tetapi pemerintah kota Gorontalo mampu menunjang perekonomomian UMKM dan pedagang kecil yang menurun bahkan tutup diakbitkan oleh pembangungan tersebut.(*)