Oleh – Syam Rizal Abbas
HMI Cabang Gorontalo.
“….Larilah kawanku, ke dalam kesendirianku! Kulihat kau jadi tuli oleh suara riuh orang-orang besar dan tersengat oleh orang-orang kecil. Hutan dan karang tahu benar bagaimana jadi membisu bersamamu. Jika engkau seperti pohon kembali, pohon yang bercabang lebar yang kau cintai: dengan tenang dan sepenuh hati menjulurkan dirinya ke laut. Di mana kesendirian berhenti, pasar pun mulai; dan di mana pasar mulai, mulai pulalah riuh dan rendah para aktor besar dan desau kerumun lalat beracun….”
Pengantar di atas adalah salah satu torehan Nietzsche dalam karya agungnya tentang “Also Sprach Zurathustra”.
Terdapat kerangka logis yang mengendap dalam puzle tulisannya tersebut. Setidaknya, tentang ilustrasi metaforik yang mengesankan; tentang model sebuah “pasar” —ditafsirkan sebagai lembaga atau perkumpulan (atau HMI?)— yang merupakan tempat di mana kesendirian sebenarnya hadir: perjumpaan sementara dan hanya berlangsung di permukaan, kebersamaan semu, pertemuan antara “penjual” dan “pembeli” yang masing-masing hanya memikirkan bagaimana kebutuhan sendiri bisa terpenuhi!
Di dalamnya, kita mesti menilik tentang “aktor besar” yang tengah gaduh, serta “lalat-lalat beracun” terus berisik. Atau, —Meminjam bahasa Goenawan Muhamad— sebagai tempat “badut-badut yang khidmat”, di mana hadir “sang aktor” yang dilingkupi orang banyak, dengan keyakinan yang terus berganti.
Dan, “sang aktor” menihilkan kata-kata yang lirih: “kebenaran yang hanya menyusup ke kuping yang peka, ia sebut dusta dan bukan sesuatu yang apa-apa!”.
Di tempat ini, merentang arena kegaduhan: tentang “orang besar” yang lihai berseni peran menjadi teramat penting. Sementara, “orang kecil” menjadi begitu pencemburu, akibat kemandirian yang terus digerogoti oleh “orang besar” — sang empunya kemegahan.
Di sini, “kebenaran” begitu fleksibel: menyusut ke level yang rendah, mengejawantah hanya pada soal “iya atau tidak”. Penemuan tentang “nilai baru” terus tergusur. Dan, secara riskan, ia hanya menjadi semacam metafora yang menyesakkan, persis seperti kondisi HMI kita, hari ini.
Secara tragis, kita menyaksikan tentang kerumunan “kebersamaan manusia” yang diikat oleh temali ideologis —hijau hitam— yang sama, nyatanya telah longgar dan nyaris putus. Meski tak semuanya, namun, Identitas kader sebagai “nilai tanda”, kini telah bergeser dan berganti menjadi “nilai tukar”!
Moralitas Himpunan yang agung dan megah, kini nyaris luntur, dan bertukar dengan —meminjam istilah Nietzsche– moralitas “kawanan” yang tumbuh hanya dari rasa kecemasan tentang memperoleh, menghitung, mengendalikan dan dikendalikan.
Secara perih, kita menyaksikan, komunitas Himpunan yang terbangun atas nilai-nilai ideologis yang begitu fundamental, kini telah retak dan membentuk patahan-patahan yang mengerikan. Aroma tragis tentang dualisme yang berbuntut panjang, serta tak berpenghujung dan berkesudahan, telah menguar ke seantero negeri.
Kita terbelah menjadi “kau dan mereka”, sebagai symbol “memasarkan diri” dan “mendapatkan hasil”; yang membuat segala “gerak akrobatik-politis” dimungkinkan, demi membarternya dengan “roti kekuasaan” —bak di pasar-pasar di mana terdapat lalat beracun dan para pembual.
Dalam keadaan itu, kita tak boleh memperoleh apapun secara “gratis”. Sebab, hubungan dan interaksi hanya dimaknai sebagai wadah “eksploitasi”, dan pengabdian selalu dikonversi menjadi “alat tukar” dan “upah”! Proses inilah yang melahirkan “buruh intelektual” yang menularkan spirit “beracun” dan membahayakan sirkulasi kader dan kepemimpinan di tubuh Himpunan kita!
Namun, melampaui itu, sebagaimana ungakapan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib: “Maqom tertinggi dari kearifan dan kebijaksanaan dalam melihat sesuatu persoalan dengan cara memaklumi”.
Masih ada hari esok sebagai ruang ijtihad dan ikhtiar, demi menata dan membenahi Himpunan kita.
Terakhir, —meminjam bahasa (Kanda) Lukman Hakiem— Jika banyak para kader HMI acapkali mengumandangkan salah satu kalimat dari Hymne HMI: ‘‘yakin, usaha, sampai”— disingkat “YAKUSA” — maka seperti tertulis juga dalam hymne HMI, bahwa syarat untuk “YAKUSA”, mestilah turut Qur’an dan Hadits (sebagai) jalan keselamatan.
Dan, atas dasar ini, kita boleh optimis terhadap masa depan Himpunan: sebagai modal besar bagi ummat dan bangsa, kelak!!!
****
Selamat Milad Himpunan! Tetaplah Jaya, Sentosa dan Bahagia!