GOPOS.ID, GORONTALO – Indonesia menempati nomor tiga di dunia dengan kasus terbanyak penyakit Tuberkulosis (TBC) setelah China dan India. Bahkan 100 ribu nyawa orang melayang setiap tahun di Indonesia.
Dilansir dari VOA Indonesia, Indonesia mencatatkan setidaknya 300 orang meninggal dunia akibat penyakit TuberkUlosis (TBC). Ini menjadikan penyakit Mycobacterium tuberculosis-penyebab infeksi TB atau TBC menjadi salah satu penyakit mematikan di dunia.
Penyakit ini hinggap dan diam-diam menggerogoti paru-paru dan organ tubuh lain pada anak-anak maupun orang dewasa. Tidak hanya di perkotaan, tapi juga di pedesaan. Organ yang paling banyak diserang oleh kuman TB adalah paru-paru dengan gejala batuk berdahak yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari dua minggu.
Indonesia juga menjadi negara nomor tiga di dunia, dengan kasus TB terbanyak setelah India dan China, padahal jumlah populasi penduduk kedua negara tersebut sudah di atas 1 miliar, sedangkan jumlah penduduk Indonesia hanya 267 juta. Lalu kenapa bisa menjadi nomor tiga di dunia dengan kasus TB terbanyak?
Country Director ‘Koninklijke Nederlandse Centrale Vereniging tot bestridjing der Tuberculose’ (KNCV) Indonesia, Erik Post mengatakan minimnya kampanye tentang bahaya penyakit ini, khususnya di kalangan kelompok masyarakat miskin menjadi salah satu faktornya.
Baca juga : Lawan TBC Sebelum Menggerogoti Tubuh
Karena itu, sejak tahun 1980an KNCV yang bekerja sama dengan USAID salah satu badan pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia telah memberikan penyuluhan tentang penyakit TB ini pada beragam kelompok masyarakat. KNCV dan USAID juga memberikan sejumlah saran kepada Indonesia guna menekan dan memberantas TB.
“Kita bekerjasama dengan pemerintah, kita memberikan solusi, pelatihan kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Ini merupakan proses yang lambat, karena setiap negara punya birokrasinya masing-masing, dan mereka membutuhkan banyak kebijakan,” ucap Erik kepada VOA dalam acara talkshow dan pameran Story of Hope untuk penguatan Program TB dalam komunitas masyarakat di Erasmus Huis, Jakarta, Senin (25/3/2019).
“Sejauh ini cukup sukses, beberapa tahun terakhir banyak komitmen tentang penanggulangan TB di Indonesia. Banyak kebijakan yang dimotori oleh KNCV dan USAID, dan mereka menemukan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah,” sambungnya.
Semmentara itu di tahun 2018, Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo mencatat bahwa angka kematian penderita TBC di Gorontalo mencapai angka 19 orang. Dengan rincian Kota Gorontalo 4 orang meninggal, Kab. Gorontalo 6 orang meninggal, Boalemo 2 orang meninggal, Pohuwato 3 orang, Bone Bolango 2 orang dan Gorontalo Utara 2 orang.
Baca juga : Rakontek P2P: Terjadi Pergeseran Penyakit Menular ke Tidak Menular
Wakil Supervisor penanggulangan TBC, Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, Dolvi Sumarauw,SKM mengungkapkan bahwa penderita TB di Gorontalo ditemukan ketika sudah dalam kondisi yang sulit untuk disembuhkan.
“Seharusnya ketika merasakan gejalah batuk selama 3 minggu tidak berhenti dan berat badan menurut dratis, harus segera periksa ke dokter atau Puskesmas setempat. Kalau dibiarkan, akan mengakibatkan penyakit ini lebih parah hingga kematian,” ucap Dolvi.
Lanjut dikatakan Dolvi, ketika ada masyarakat yang positif terkena TBC, maka masyarakat tersebut harus menjalani perawatan secara rutin selama 6 bulan.
“Masa ingkubasi penyakit ini selama dua minggu. Dua minggu itu jangan sampai putus pengobatannya. Kalau putus, pengobatan akan berlanjut selama enam bulan berturut-turut,” kata Dolvi.
Ketika putus lagi, maka penyakit tersebut akan resisten terhadap obat yang diberikan. Akibatnya, proses pengobatan harus berlanjut ke tahap pengobatan selama dua tahun tanpa putus.
Baca juga : Penghargaan Untuk Puskesmas dengan Penemuan TB Tertinggi
“Pengobatan lanjutan selama dua tahun, selain minum obat. Selama enam bulan pasien harus disuntik selama enam bulan. Itu makanya sangat penting pencegahan sedini mungkin, agar nantinya tidak menularkan kepada masyarakat lainnya,” tandasnya. (adm-01/gopos)