Oleh:
Prof. Dr. Ir. H. Fadel Muhammad
(Anggota DPD RI/Wakil Ketua MPR RI)
Pasca bergulirnya gelombang reformasi 1998, kebutuhan terhadap hadirnya sebuah lembaga negara yang memiliki peran untuk mewakili daerah menjadi sebuah keniscayaan, kondisi tersebut juga dilatarbelakangi oleh dominannya Pemerintah Pusat dalam penyelenggaran bernegara yang berlangsung lebih dari tiga dasawarsa. Konsep sentralisasi yang berjalan selama masa orde baru dianggap telah membelenggu kehidupan demokrasi serta menafikan nilai-nilai keberagaman yang telah lama hidup dan mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Selain persoalan tentang sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tersentralisasi, para perumus amandemen UUD 1945 juga menyadari bahwa untuk menjaga serta merawat keutuhan NKRI diperlukan sebuah lembaga perwakilan yang dapat menjadi penghubung bagi setiap kepentingan daerah, utamanya dalam merangkai dan mengartikulasikan peran penting daerah dalam penataan, pengaturan, serta orientasi kerja bersama para penyelenggara negara. Lembaga perwakilan yang mewakili gunung, laut, daratan, dan sungai-sungai yang mengalir indah di rahim Ibu Pertiwi.
Atas dasar pemikiran, kepentingan daerah, serta gambaran argumentatif sejarah yang telah memperlihatkan pentingnya posisi daerah dalam perjalanan bangsa maka para perumus amandemen UUD 1945 secara konsensus menghadirkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai sebuah lembaga yang dapat menjalankan peran menjadi representasi daerah dalam tahapan pembentukan hukum dan kebijakan di tingkat nasional. Lebih tepatnya, kehadiran DPD tersebut ditandai dengan disepakatinya BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH yang memuat Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 pada saat amandemen ketiga UUD 1945 di tahun 2001.
Pelaksanaan perubahan ketiga tersebut memuat pengaturan mengenai mekanisme rekrutmen, komposisi jumlah Anggota, serta kewenangan yang dibebankan kepada DPD. Sebagai lembaga yang menitikberatkan fungsinya untuk mewakili daerah, secara lebih lanjut Pasal 22D telah mengamanatkan DPD kepada sebuah beban untuk dapat mengajukan serta ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan daerah. Selain itu, DPD juga dibekali wewenang untuk memberikan pertimbangan atas rancangan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Tidak cukup hanya sampai disitu, DPD juga memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan daerah.
Mengacu pada kewenangan-kewenangan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa fungsi utama dari kehadiran DPD adalah untuk dapat menjadi penyeimbang dalam tatanan pembentukan undang-undang serta memastikan adanya ruang keberlangsungan sistem desentralisasi dalam penyelenggaraan bernegara, khususnya dalam konteks hubungan pusat daerah. Dengan “bekal” kewenangan tersebut, para perumus perubahan konstitusi beranggapan bahwa koteks mewakili daerah yang diperankan DPD dapat menjadi pembeda bagi pembentukan undang-undang sebelum kehadrian DPD dengan pembentukan undang-undang setelah hadirnya DPD.
Seiring berjalannya waktu, setelah 18 tahun sejak pelaksanaan Pemilu tahun 2004 manakala untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih wakilnya guna menduduki kursi DPD, ternyata tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja DPD masih jauh dari harapan. Sebagaimana hasil survei yang dilakukan CSIS di bulan September ini, bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPD berada di angka 61,4% jauh di bawah KPK yang mendapatkan nilai 71,6%. Kondisi tersebut cukup menggambarkan masih belum puasnya masyarakat terhadap hasil kerja yang telah dilakukan oleh DPD. Sebagai lembaga yang lahir dari rahim reformasi tentunya harapan besar terbeban di pundak DPD, terlebih DPD yang diharapkan dapat menjadi penyeimbang bagi representasi partai politik di DPR seharusnya dapat mengoptimalkan perannya dalam pembentukan undang-undang yang dewasa ini cenderung menafikan kehadiran daerah.
Baca juga: Fadel Muhammad Building A Legacy, Sinar Inspirasi bagi Generasi Muda Meraih Sukses
Secara normatif, pada kenyataannya pengaturan DPD di dalam konstitusi masihlah sangat terbatas. Kewenangan DPD untuk mengajukan dan mengikuti pembahasan sebuah undang-undang dengan tidak dibarengi kewenangan untuk pengambilan keputusan tentunya akan sangat mengerdilkan peran DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah. Bahkan, pelibatan DPD dalam pembahasan beberapa undang-undang cenderung hanya dapat dinilai sebagai alasan formil belaka agar apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 dan Nomor 79/PUU-XII/2014 terpenuhi. Salah satu bukti nyata kurangnya keterlibatan DPD dalam pembentukan undang-undang adalah nir kehadiran DPD dalam pembahasan undang-undang tentang hubungan keuangan pusat dan daerah. DPD yang memiliki legitimasi sebagai perwakilan daerah pada akhirnya hanya dapat menyampaikan pendangan dan pendapatnya terhadap beberapa rumusan pasal di dalam undang-undang tersebut. DPR bersama Pemerintah lah yang secara konstitusional mengambil peran untuk memutuskan pola hak dan kewajiban hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Tidak berhenti hanya sampai di situ, munculnya kewenangan baru DPD untuk melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap ranperda dan perda juga dikhawatirkan dapat memosisikan DPD untuk berhadap-hadapan dengan daerah. DPD harus sangat berhati-hati menggunakan kewenangan ini agar apa yang diamanatkan oleh UU 2/2018 tersebut dapat diarahkan sebagai momentum DPD untuk lebih mengharmonisasikan antara kebutuhan hukum di daerah dengan pembentukan hukum dan kebijakan di tingkat pusat. Di sisi lain, secara internal kelembagaan, DPD juga memiliki tantangan yang tidak kalah beratnya. Sebagai lembaga politik yang melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan partai politik, jutsru dapat menempatkan DPD dalam posisi rentan terhadap “godaan” kepentingan politik praktis yang bisa jadi lebih bersifat personal. Kekhawatiran akan terciptanya konfilk-konflik internal kelembagaanlah yang pada akhirnya menghantui lembaga negara ini dalam menjalankan wewenang dan tugas konstitusionalnya. Sebagai lembaga yang dibiayai oleh APBN tentunya DPD harus dapat menunjukan kinerjanya semata-mata hanya untuk kemajuan dan kepentingan daerah. Untuk menangkal segala keraguan tersebut, DPD dapat menjawabnya dengan menghasilkan produk-produk kelembagan, baik itu dalam hal pengajuan usul RUU, hasil pengawasan serta hasil pertimbangannya merupakan sebuah konklusi dari aspirasi dan kebutuhan daerah.
Tantangan-tantangan inilah yang seharusnya disadari secara bersama guna dapat mengembalikan lagi DPD pada maksud serta tujuan pembentukannya. Bila kita kembali pada maksud serta tujuan pembentukan sebagaimana yang telah diulas pada awal tulisan ini, tentunya wacana untuk menghidupkan kembali semangat perubahan kelima UUD 1945 merupakan pilihan yang bijaksana. Terlebih, beberapa kajian yang bersifat teoritis akademis menyebutkan bahwa peniadaan lembaga perwakilan daerah bukan merupakan pilihan tepat, akan tetapi menghadirkan sebuah lembaga perwakilan daerah yang jauh lebih powerfull dalam kerangka penyeimbang kepentingan politik lainnya merupakan kebutuhan bangsa yang memiliki kekayaan serta keanekaragaman sosial budaya.
Dengan berbagi keterbatasan serta persoalan yang dimiliki DPD, tentunya bukan menjadi alasan bagi DPD untuk menyurutkan semangat dalam memperjuangkan kepentingan daerah. Justru dengan berbagai keterbatasan tersebut, DPD harus dapat membuktikan kepada para konstituennya di daerah bahwa partisipasi politik yang mereka lakukan dalam menentukan wakil daerah ditingkat pusat bukanlah satu kekeliruan. Untuk menjawab sikap skeptis yang saat ini melanda maka melalui momentum 18 tahun ‘kelahiran’ DPD sebagai lembaga perwakilan, DPD dapat segera mengatur dan memprioritaskan langkah-langkah apa saja yang harus diambil kedepannya dalam menjalani perannya sebagai lembaga perwakilan daerah.
Alih-alih memaksimalkan perannya DPD yang sangat minim tersebut, saat ini internal DPD mengalami degradasi dengan berbagai konflik perebutan kursi kepemimpinan. Ini fakta yang membuat DPD seharusnya malu terhadap rakyat dan daerah.
Sebagai Anggota DPD yang juga menjalankan perannya sebagai Pimpinan MPR, saya berpandangan DPD harus secara konsisten dan konsekuen menentukan langkah politik kelembagaannya. Pertama, secara eksternal DPD harus dapat terus memperjuangkan dilakukannya perubahan kelima UUD 1945 guna mepertegas kewenangan konstitusional DPD, khususnya kewenangan untuk dapat ikut memutuskan dalam tahap pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan daerah. Dengan demikian kehadiran DPD dalam pembahasan sebuah undang-undang tidak hanya sekedar ‘kosmetik’ semata akan tetapi dapat lebih bermakna sebagai penyeimbang bagi setiap kepentingan politik yang ada.
Kedua, secara internal DPD dapat terus meningkatkan kapasitas dan kapabiltas kelembagaannya dengan memfokuskan diri untuk menghasilkan produk-produk kelembagaan yang menggambarkan kepentingan daerah dan lepas dari politik praktis yang cenderung bersifat personal. Sebagai lembaga yang dipilih oleh sebuah mekanisme Pemliu maka DPD harus dapat melepaskan diri dari kepentingan personal anggotanya. DPD harus membuktikan dirinya merupakan lembaga negara milik daerah bukan milik personal yang sarat dengan berbagai kepentingan pribadi.
Pertanyaannya, mampukah DPD untuk menjalani itu semua. Tentunya asa tersebut masih tetap ada dan harus terus dijaga. Di era demokrasi yang ada saat ini, maka sudah menjadi tugas kita semua untuk terus mengawasi secara bersama-sama pelaksanaan peran dan fungsi setiap lembaga negara agar dapat berjalan sesuai dengan maksud dan tujuan pembentukannya. Dalam hal ini, kedepannya DPD dapat terus menjadi lembaga perwakilan yang secara konsisten memperjuangkan setiap jengkal kepentingan daerah.
Jakarta, 1 Oktober 2022