Oleh : Mohamad Fadlian Syah *)
Beberapa waktu yang lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka kemiskinan kondisi Maret 2019. Secara nasional angka kemiskinan mengalami penurunan sebesar 0,25poin persen dari 9,66 persen (September 2018) menjadi 9,41 persen (Maret 2019), atau turun sekitar 529,9 ribu penduduk miskin.
Mengukur Kemiskinan
Data yang dipakai oleh BPS untuk mengukur kemiskinan adalah berdasarkan pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan 2 (dua) kali dalam setahun, yaitu bulan Maret dan September. Pelaksanaan SUSENAS di bulan Maret dapat menghasilkan angka kemiskinan sampai dengan level kabupaten/kota, sedangkan di bulan September hanya sampai level provinsi. Dalam menghitung angka kemiskinan banyak sekali variabel-variabel yang digunakan, namun secara garis besar variabel-variabel tersebut dikelompokan menjadi kebutuhan dasar makanan dan kebutuhan dasar nonmakanan. Kebutuhan dasar makanan yang dikumpulkan dalam SUSENAS setara dengan pemenuhan kebutuhan kalori 2.100 kilo kalori per kapita perhari yang diwakili oleh 52 jenis komoditi, sedangkan kebutuhan dasar nonmakanan merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi di wilayah perkotaan dan 47 jenis komoditi di wilayah perdesaan. Dengan banyaknya variabel-variabel yang dikumpulkan dalam SUSENAS, maka wajar saja jika pengumpulan data SUSENAS inimemakan waktu rata-rata 2 sampai 3 jam per rumah tangga, hal ini bertujuan untuk mendapatkan data yang akurat.
Kemudian dari hasil pendataan SUSENAS tersebut, BPS melakukan penghitungan angka kemiskinan dengan menggunakan metode yang tidak dibangun sendiri tetapi metode yang dipakai merupakan metode dan konsep standard yangberlaku di banyak negara di dunia. Konsep yang digunakan mengacu kepada konsep moneter yaitu bahwa kemiskinan sebagai kekurangan penghasilan dalam bentuk uang yang didekati melalui pendekatan pengeluaran rumahtangga. Kenapa ukurannya uang? Karena dengan uang agar dapat lebih jelas dan mudah diukur. Hasil berbagai kajian, pengeluaran rumah tangga yang berupa uang tersebut berkorelasi positif kuat dengan variable kemiskinan lain yang sulit diukur, seperti status sosial, deprivasi sosial dengan beragamvariannya, dan akses terhadap beragam bentuk kesempatan.
Dalam menentukan seseorang itu miskin atau tidak, maka digunakan nilai dari harga kalori 2.100 kilo kalori per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan paling dasar non makanan yang kemudian disebut sebagai batasan Garis Kemiskinan (GK). Penduduk yang dikategorikan miskin jika rata-rata rupiah pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan penduduk yang mempunyai rata-rata rupiah pengeluaran per kapita per bulan berada di atas garis kemiskinan maka tidak dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Penurunan angka kemiskinan terbesar
Beberapa kajian ilmiah terkait kemiskinan menunjukkan bahwa mereka yang tergolong miskin jika termasuk golongan the last, the least, the lowest, and the loss (4L). Mereka senantiasa paling akhir dalam memperoleh beragam kesempatan, paling sedikit menerima tetesan berkah pembangunan, paling rendah derajat kehidupan sosialnya, dan senantiasa kehilangan arah dalam menentukan pilihan-pilihan kesempatan.
Berdasarkan angka kemiskinan Maret 2019, secara nasional penduduk yang termasuk 4L atau dibawah garis kemiskinan yaitu sebesar 25,14juta jiwa atau sekitar 9,41 persen dari total penduduk. Angka ini menurun sebesar 0,25 poin persen jika dibandingkan September 2018 yaitu 9,66 persen. Untuk level provinsi, Provinsi Gorontalo mengalami penurunan sebesar 1,29 poin persen dari 16,81 persen (Maret 2018) menjadi 15,52 persen (Maret 2019).
Secara nasional, penurunan ini merupakan penurunan angka kemiskinan yang terbesar dalam periode tersebut (Maret 2018-Maret 2019) di antara provinsi-provinsi yang lain. Kemudian jika dilihat lebih jauh lagi antara periode Maret 2017 sampai dengan Maret 2019, angka kemiskinan Provinsi Gorontalo turun sebesar 2,13 poin persen dari 17,65 persen (Maret 2017) menjadi 15,52 persen (Maret 2019), penurunan angka kemiskinan ini merupakan penurunan terbesar ketiga secara nasional setelah Papua Baratd anJawa Tengah pada periode yang sama (Maret 2017-Maret 2019). Hal ini tidak terlepas dari peran pemerintah dan stakeholder terkait melalui berbagai macam program pengentasan kemiskinan seperti program MAHYANI, BPNT-D, KAN-MASKIN dan lain-lain.
Jika dicermati lebih jauh lagi, berbagai macam program pengentasan kemiskinan tersebut sangat efektif untuk peningkatan konsumsi pangan. Hal ini terlihat dari kontribusi komoditas pangan yang meningkat terhadap garis kemiskinan. Selama September 2018-Maret 2019, terjadi peningkatan kontribusi komoditas pangan dari 77,19 persen (September 2018) menjadi 77,26 persen (Maret 2019). Hal ini berkat peran serta dari Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Gorontalo yang telah menjaga inflasi pada posisi sesuai kemampuan masyarakat, dimana selama periode September 2018 sampai dengan Maret 2019 besarnya inflasi umum cukup rendah yaitu sebesar 0,54 persen.
Sementara itu jika dibandingkan dengan Maret 2018 laju inflasi adalah sebesar 1,56 persen sehingga beberapa harga komoditas pokok penyumbang Garis Kemiskinan (GK) relative terkendali, hanya beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga yaitu: beras naik 0,06 persen, tongkol/tuna/cakalang naik 12,50 persen, telur ayam ras 3,92 persen, dan cabai rawit 22,48 persen. Sementara komoditas lain seperti gula pasir dan kue basah mengalami rata-rata penurunan harga sebesar 2,00 dan 2,37 persen. Selain itu dari sisi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Gorontalo pada Februari 2019 sebesar 3,47 persen, mengalami penurunan dibandingkan keadaaan pada Februari 2018 (3,62 persen) dan Agustus 2018 (4,03 persen) dengan penurunan masing-masing sebesar 0,15 dan 0,56 poin persen.
Nilai Tukar Petani (NTP) selama periode Januari 2019, Februari 2019, dan Maret 2019 selalu berada di atas 100, dengan nilai berturut-turut sebesar 103,54; 104,21; dan 103,59. Nilai yang berada di atas 100 ini menggambarkan pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya, dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan petani lebih baik dibanding tingkat kesejahteraan petani sebelumnya.
Pada level kabupaten/kota terjadi hal yang menggembirakan, dimana Kabupaten Pohuwato mengalami penurunan angka kemiskinan yang terbesar 1,87 poin persen dari 21,27 persen (Maret 2017) menjadi 19,40 persen (Maret 2018) disusul Kabupaten Boalemo penurunannya sebesar 1,52 poin persen dari 21,85 persen (Maret 2017) menjadi 20,33 persen (Maret 2018), sedangkan penurunan yang terkecil yaitu Kota Gorontalosebesar 0,13 poin persen dari 5,7 persen (Maret 2017) menjadi 5,57 persen (Maret 2018).
Jika dilakukan analisis lebih jauh lagi ternyata ada 2 (dua) kabupaten di Provinsi Gorontalo yaitu Kabupaten Pohuwato dan Kabupaten Boalemo termasuk urutan 10 besar kabupaten/kota dari 65kabupaten/kota di Pulau Sulawesi yang mengalami penurunan angka kemiskinan pada periode Maret 2017 sampai dengan Maret 2018 dimana Kabupaten Pohuwato menempati urutan kelima sedangkan Kabupaten Boalemo menempati urutan kedelapan, sedangkan di level nasional pada periode yang sama (Maret 2017-Maret 2018), Kabupaten Pohuwato menempati urutan ke-40 sementara Kabupaten Boalemo menempati urutan ke-67 dari 433 kabupaten/kota yang mengalami penurunan angka kemiskinan.
Keberhasilan yang dicapai Provinsi Gorontalo dalam menurunkan angka kemiskinan merupakan keberhasilan bersama antara pemerintah dan stakeholder terkait dalam pengentasan kemiskinan. Keberhasilan ini diharapkan dapat lebih meningkatkan peran kita semua sesuai tupoksinya masing-masing dalam mengentaskan kemiskinan, di antaranya selalu melakukan update penduduk miskin secara berkala, peningkatan evaluasi terhadap penduduk atau keluarga yang menerima bantuan, serta peningkatan sinergitas antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dan stakeholder terkait dalam program-program yang bertujuan pengentasan kemiskinan, dan menjaga kestabilan harga-harga. (*)
*) Penulis adalah ASN BPS Provinsi Gorontalo