Pendidikan seksual masih menjadi isu sensitif di sebagian kalangan masyarakat Indonesia. Dianggap tabu untuk dibicarakan terbuka. Bahkan ada yang menganggap, pendidikan seksual, terutama di kalangan usia dini, adalah hal yang bertentangan dengan norma kesopanan. Dipandang sebagai hal porno sehingga risih untuk dibicarakan.
Situasi itu menjadi salah satu faktor penyebab kasus kekerasan seksual yang dialami anak di Indonesia masih cukup tinggi. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPPA) mencatat hingga September 2023, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia mencapai 19.710 kasus. Sebanyak 17.454 kasus di antaranya adalah korban perempuan.
Masih tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak di tanah air menunjukkan betapa pentingnya pendidikan sesual, terutama di usia dini. Peran serta seluruh pihak untuk berkolaborasi memberikan pemahaman bahwa pendidikan seksual bukanlah sesuatu yang melanggar. Bukan hal yang tabu untuk dibicarakan.
Langkah tersebut sebagaimana dilakukan Tenggara Youth Community, yang bisa menjadi inspirasi bagi seluruh pihak dalam melakukan edukasi pendidikan seksual bagi masyarakat. Tenggara Youth Community merupakan komunitas remaja dan anak muda yang fokus pada isu hak kesehatan seksual dan reproduksi anak.
Tenggara Youth Community berpusat di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Komunitas ini berdiri pada 2016 dan diprakarsasi oleh Mariana Yunita Hendriyani Opat. Tenggara Youth Community lahir dari keprihatinan masih adanya kalangan remaja yang tak memiliki sumber informasi pendidikan seksual. Setali tiga uang, kondisi itu selaras dengan kasus pelecehan seksual atau kehamilan luar nikah di kalangan remaja NTT. Banyak anak-anak, terutama remaja putri, terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena kehamilan di luar pernikahan. Hal itu membuat mereka berhenti mengenyam pendidikan.
“Di sisi lain orang tua mereka hanya pasrah. Selain masalah keberanian, mereka juga tak punya informasi yang cukup mengenai hak-hak dan kebutuhan remaja,” kata Mariana Yunita Hendriyani Opat pada diskusi virtual Kisah Inspiratif: Membangun Masa Depan Lebih Sehat Bersama Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards yang diselenggarakan GNFI Academy, Selasa (5/9/2023). Mariana Yunita Hendriyani Opat merupakan penerima Apresiasi Satu Indonesia Awards 2020 bidang Kesehatan.
Keprihatinan Tata – sapaan akrab Mariana Yunita Hendiriyani Opat – mendorong dirinya bergerak menghadirkan ruang untuk berbagi cerita. Terutama kepada para penyintas kekerasan seksual yang tak punya ruang aman untuk melakukan pemulihan secara fisik maupun psikologi. Tata bersama rekan sesama penyintas kekerasan seksual, membentuk komunitas Tenggara Youth Community dan menciptakan ruang yang kemudian diberi nama Bacarita Kespro.
Bacarita diambil dari bahasa melayu NTT yang memiliki arti bercerita. Sedangkan Kespro merupakan akronim Kesehatan Reproduksi. Penamaan Bacarita Kespro dimakudkan untuk lebih menghadirkan suasana yang nyaman dan menyenangkan dalam hal edukasi tentang Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).
“Tahun 2016 kami mulai dengan komunitas dengan nama Tenggara, salah satu program yang terus kami lakukan saat ini namanya adalah Bacarita Kespro. Untuk mau menggambarkan bahwa belajar seksualitas itu bisa dengan cara menyenangkan,” tutur Tata.
Bacarita Kespro digagas Tenggara Youth Community untuk mengubah prespektif tentang kesehatan reproduksi. Ingin mengubah pandangan bahwa kesehatan reproduksi bukanlah belajar pornografi, bukan pula mengajarkan anak untuk melakukan seks bebas. Target program ini adalah remaja yang berasal dari kelompok poor, marginal, social excluded, dan underserved.
“Jadi itu inisiatif awal Bacarita Kespro. Membuat anak hingga orang tua nyaman membahas soal kesehatan reproduksi,” ujar Tata.
Berangkat dari tujuan tersebut, edukasi kesehatan seksual dan reproduksi yang dilakukan Tata bersama Tenggara Youth Community disampaikan dengan metode pembelajaran inovatif. Seperti mendongeng, permainan edukasi, dan penggunaan alat peraga. Dengan begitu materi yang diberikan lebih mudah dimengerti.
Untuk mengukur sejauh mana pemahaman materi yang diberikan, Tenggara Youth Comunity menggunakan beberapa parameter. Salah satunya melalui kuis setelah penyampaian materi. Dari situ bisa dilihat apakah ada perubahan berkaitan pemahaman kesehatan seksual dan reproduksi. Perubahan pemahaman ini menjadi salah satu indikator keberhasilan program yang dijalankan.
Dalam konteks yang lebih luas, indikator keberhasilan program diukur salah satunya sikap orang tua yang mulai terbuka terhadap pendidikan seksual. Tidak hanya menjelaskan kepada anaknya tetapi juga orang lain di dalam lingkungan keluarga.
Tata mengaku sangat prihatin terkait kondisi minimnya akses informasi pendidikan seksual di kalangan masyarakat dan remaja putri di NTT. Dalam kegiatan di lapangan, Tata bersama komunitas Tenggara Youth Community menemukan masih ada kalangan remaja putri yang tak memiliki akses yang cukup ke pembalut dengan harga yang terjangkau dan aman.
“Sampai saat ini masih ketemu di salah satu teman perempuan yang menggunakan pembalut dari koran atau kardus bekas,” ungkap perempuan kelahiran 3 Juli 1992 ini.
Perjalanan Tata mengedukasi masyarakat mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi diwarnai berbagai lika-liku. Salah satu tantangan tembok “tabu” yang melekat di benak masyarakat. Tak mudah bagi Tata untuk meyakinkan komunitas dan kelompok masyarakat akan betapa pentingnya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi.
Dari berbagai tantangan yang dihadapi, Tata menyadari bila edukasi tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi tidak bisa hanya pada satu titik saja. Pendekatan secara komprehensif dilakukan Tata untuk bisa menjangkau kelompok masyarakat dari kalangan remaja hingga orang tua.
“Ada sebuah keresahan bagaimana menciptakan sebuah edukasi seksualitas yang komprehensif. Tidak hanya anak dan remaja, tetapi juga orang tua agar edukasi seksualitas itu harus disiapkan dimulai dari rumah. Kemudian berlanjut ke sekolah hingga ke lingkungan yang lebih besar untuk menciptakan akses yang lebih baik untuk teman-teman remaja,” urai Tata.
Tata mengungkapkan, kesehatan reproduksi dan kesehatan mental sangat terkait erat. Oleh karena itu dalam edukasi yang dilakukan oleh Tenggara Youth Community tidak hanya berfokus pada kesehatan reproduksi semata, tetapi juga ikut membicarakan kesehatan mental.
“Bacarita Kespro tidak hanya bicara masalah kespro saja, tetapi juga masalah pubertas, masalah mental. Termasuk mindset masyarakat terkait masalah tabu atau mitos berkaitan dengan kesehatan reproduksi,” kata alumni Universitas Nusa Cendana (Uncen) ini.
Tekad yang dibarengi kerja keras dalam mengedukasi remaja mengenai hal tabu menjadi tahu membuat Mariana Yunita Hendriyani Opat terpilih sebagai penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2020 bidang kesehatan.
“Apresiasi SATU Indonesia Awards ini menjadi bahan pendukung gerakan kami untuk terus dapat merangkul anak remaja dalam kesehatan reproduksi. Ke depan harapan kami dapat komunitas disabilitas,” ujar Tata.
Modul Lokal Konteks
Saat ini program Bacarita Kespro telah merangkul 2.000 remaja dari 43 komunitas di provinsi seluruh NTT. Jangkauan ini mencakup Kota Kupang, Desa Oesao di Kabupaten Kupang, Desa Neke di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Pulau Kera di Kabupaten Sumba Timur bersama Kopernik. Selain itu, untuk meluaskan akses edukasi pendidikan seksual, mereka berkolaborasi dengan BKKBN, Komisi Penanggulangan AIDS serta Woman for Indonesia.
Tata mengungkapkan sebuah harapan besar Tenggara Youth Community. Yaitu memiliki moduk untuk implementasi kesehatan reproduksi yang komprehensif berbasis lokal konteks. Keinginan ini didasarkan pada kondisi anak-anak remaja yang ada di Nusa Tenggara Timur.
Menurut Tata, Tenggara Youth Community menggunakan modul atau petunjuk teknis dari WHO dan UNPFA serta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Dalam pengukuran di lapangan, standar umur yang harus diaplikasikan dalam petunjuk teknis tersebut tak sesuai dengan standar umu di Indonesia Timur.
“Misalnya pembahasan tentang pubertas. Itu sudah bisa diaplikasikan kepada teman-teman yang usianya 7-10 tahun. Tapi di Indonesia timur, rentangnya bisa jauh. Tidak hanya 7-10 tahun tapi bisa 7-15 tahun karena pendidikan itu tak pernah dibahas,” ungkap Tata.
Demikian pula di ranah keluarga hingga sekolah. Tak semua semua sekolah memasukkan pendidikan seksualitas secara komprehensif dalam mata pelajaran.
“Pun kalau ada di biologi maka hanya digambarkan organ reproduksinya. Tak diajarkan ketika teman-teman akan mengalami perubahan seperti apa masuk remaja, risikonya apa, merawat organ reproduksinya bagaimana,” urai Tata.
Selain itu Tata juga berharap edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi ke depannya sudah dibicarakan dari level keluarga. Dari level keluarga akan berkembang ke level lingkungan hingga level pendidikan umum, sehingga ke depannya edukasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi tidak lagi dianggap hal yang tabu
“Jadi teman-teman tidak hanya mengakses pendidikan di sekolah, tetapi orang tua punya komunikasi yang baik dengan anak terkait dengan informasi atau isu ini,” tandas Tata.(AA-01/gopos)