GOPOS.ID, BONE BOLANGO – Kejadian musibah tanah longsor yang terjadi di wilayah pertambangan Kecamatan Suwawa Timur, Bone Bolango banyak menyita perhatian lapisan masyarakat baik yang ada di dalam maupun luar Gorontalo.
Betapa tidak, sejak dibuka tahun 1992 silam, musibah longsor yang terjadi pada Ahad (7/7/2024) dini hari lalu menjadi musibah longsor yang terbesar menimpa kawasan pertambangan rakyat tersebut.
Tercatat, dari total korban sebanyak 325 orang, korban meninggal dunia mencapai 26 orang, masih dalam pencarian 19 orang dan yang selamat sebanyak 280 orang.
Di sisi lain, pertambangan tersebut aktivitasnya masih berstatus ilegal tanpa izin. Olehnya itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bone Bolango mengambil langkah tegas untuk sementara waktu menutup aktivitas tambang agar tidak ada lagi korban jiwa yang berjatuhan mengingat cuaca yang tidak menentu dan longsor kecil yang masih terus terjadi di wilayah itu.
Namun apakah langkah ini sudah tepat diambil oleh Pemerintah Daerah? Seperti apa sebenarnya aktivitas yang terjadi di wilayah pertambangan?
Ihwan Husain salah seorang yang telah menekuni pekerjaan sebagai seorang penambang selama 35 tahun di wilayah Suwawa Timur bercerita persoalan longsor sudah pernah terjadi pada tahun 1994 namun dalam skala kecil dan belum seperti yang sekarang yang sudah menjadi bencana besar di lokasi tambang.
Ihwan juga mengungkapkan sejak tahun 1992 sampai tahun 2010, ia menambang tidak ada sama sekali perempuan dan anak-anak yang masuk di sana serta bencananya juga tidak seperti sekarang.
“Nanti pada saat 2012 bencana ini terus menerus terjadi sampai saat ini. Jika pemerintah ingin menutup sementara pertambangan karena bencana ini, itu sudah benar dan kami masyarakat penambang berharap tetap akan dibuka akses ini dengan dibuatkan Standar Operasional Prosedurnya dan harus melalui kesepakatan bersama,” ungkapnya.
Ia menguraikan, hal-hal yang harus disepakati oleh pihak Pemerintah Daerah dan para penambang ialah, yang pertama, jangan menambang lagi di lokasi yang sudah tidak bisa ditambang. Kedua, tidak bisa lagi penambang membawa anak kecil atau balita. Dan yang terakhir, tidak bisa lagi ada perempuan yang masuk ke lokasi tambang.
“Harapan kami kepada pemerintah ketika ingin mengambil langkah untuk menutup agar diatur jika nanti aktivitas pertambangan ini dibuka kembali. Ini menjadi pintu bagi pemerintah daerah mengatur kami para penambang karena kami juga sebetulnya keberatan jika tambang ini akan ditutup karena ini menjadi salah satu sumber mata pencarian masyarakat yang miskin,” pungkasnya.(Indra/Gopos)