GOPOS.ID, GORONTALO – Meningkatnya angka cerai di Gorontalo mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan termasuk mahasiswa.
Berkaitan dengan hal itu, Senat Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Negeri Gorontalo (UNG) mengadakan diskusi seputar perceraian yang mengakibatkan tingginya jumlah perempuan tanpa suami alias janda di Gorontalo.
Wakil Dekan I Fakultas Hukum, Dr. Nur Muhammad Kasim mengungkapkan kegiatan yang diselenggarakan ini merupakan bentuk keterlibatan mahasiswa fakultas hukum dalam menanggapi isu yang ada di Gorontalo.
Melalui diskusi ini menurut Nur Kasim, mahasiswa akan mampu menelaah penyebab perceraian. Sehingga dapat berperan untuk mengedukasi masyarakat pentingnya menjaga harmonisasi berumah tangga.
“Diharapkan tidak hanya sekadar diskusi. Tapi mahasiswa bisa menjadikan fenomena ini sebagai bahan penelitian ilmiah mereka. Harus diedukasi ke masyarakat betapa pentingnya hubungan harmonis itu,” kata Nur Kasim saat membuka kegiatan, Jumat (6/3/2020) di Halaman Fakultas Hukum, UNG.
Sementara itu, diskusi ini menghadirkan narasumber yakni Ketua Pengadilan Agama Gorontalo Mohammad Hafizh Bula, Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Gorontalo Syafrudin Baderung, dan Direktur Woman Institute for Research and Empowerment of Gorontalo (WIRE-G) Kusumawaty Matar.
Menurut Ketua Pengadilan Agama Gorontalo Mohammad Hafizh Bula, tingginya angka perceraian alias broken home tidak hanya terjadi di Gorontalo. Tapi juga di Indonesia secara keseluruhan.
“Banyak faktor yang menyebabkan perceraian seperti kriminalitas alias mabuk, judi dan sebagainya. Begitu juga dengan faktor ekonomi,” ungkap Mohammad Hafizh
“Kemudian juga ada KDRT, perselisihan terus menerus, murtad, meninggal salah satu pihak, serta anak yang menikah dini,” ujar Muhammad Hafizh melanjutkan.
Baca juga:Â Angka Perceraian Tinggi di Gorontalo: Keadilan Suami-Istri Pondasi Keluarga Harmonis
Sementara itu, WIRE-G Kusumawaty Matar menerangkan kehadiran perempuan tanpa suami akibat perceraian bukanlah sebuah ancaman. Tidak boleh ada diskriminasi bagi perempuan tanpa suami.
“Mereka adalah perempuan yang sedang berjuang. Mereka menjadi kepala keluarga dari anak-anaknya. Makanya hargai dan muliakanlah para perempuan tanpa suami ini,” ungkapnya.
Lebih lanjut kata Kusumawaty harus ada perhatian permerintah terhadap perempuan tanpa suami yang menjadi tulang punggung anak-anaknya dalam keluarga.
“Negara harus hadir memberikan program dan memastikan perempuan kepala keluarga mendapatkan penghasilan tetap. Karena sebagian mereka adalah usia produktif. Jika negara tidak memperhatikan hal ini, maka otomatis akan berpengaruh pada tingginya angka penganggur,” ungkapnya.
Sementara itu, untuk mencegah terjadi perceraian pasca nikah. Kementerian agama melalui Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi tempat konsultasi pranikah bagi yang akan melangsungkan pernikahan. (muhajir/gopos)