GOPOS.ID, GORONTALO – Wacana pembukaan sekolah dan pembelajaran tetap muka kembali pada 2021 terus mengemuka. Hal itu seiring desakan para orang tua yang menilai pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan sistem dalam jaringan (daring) kurang efektif.
Sejalan dengan wacana tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengingatkan agar penerapan protokol kesehatan (Prokes) harus benar-benar ketat dan sesuai standar. Peringatan itu disampaikan Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, talkshow bertajuk belajar efektif di masa pandemi, di Graha BNPB, Jumat (13/11/2020).
Menurut Retno Listyarti, jika memang diberlakukan maka pembukaan sekolah kembali dan pembelajaran tatap muka sebaiknya dilakukan pada 2021. Seiring hal itu maka rentang waktu yang ada saat ini hendaknya dimanfaatkan untuk memenuhi kesiapan pelaksanaan pembelajaran tatap muka muka.
“Kami ingin sekolah itu benar-benar siap. Mau zona apapun (terutama itu sekolah) harus siap. Walaupun zona hijau kalau sekolah tak siap,” tegas Retno.
Menurut Retno, KPAI telah melakukan pemantauan di 46 sekolah yang tersebar di 19 kabupaten/kota. Dalam pemantauan itu pihaknya turut menyosialisasikan 15 poin standar operasi dan prosedur (SOP) ketika nantinya sekolah menerapkan pembelajaran tatap muka.
“Kami juga mengusulkan agar pembelajaran tatap muka itu diatur, misalnya kelas 7 belajar tatap muka, maka kelas 8 dan 9 di rumah dulu. Kemudian siswa kelas 7 dibagi ke beberapa kelas. Untuk pembelajaran, misalnya matematika. Pembelajarannya sama, gurunya yang berbeda,” tutur Retno.
Ia menambahkan, dari hasil pemantauan KPAI pembelajaran tatap muka dengan sistem separuh-separuh kurang efektif. Yakni sebagian siswa belajar tatap muka, sementara sebagian siswa belajar daring.
“Beberapa sekolah sudah melakukan uji coba itu. Dalam pemantauan KPAI separuh-separuh tidak efektif,” imbuh Retno.
Ombudsman RI, Prof.Adrianus Meliala, Ph.D, menilai kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) sangat tepat dan efektif pada masa awal pandemi. Dalam perkembangan selanjutnya, sistem tersebut dirasa perlu ada perubahan.
“PJJ punya tingkat Maturitas (kedewasaan) yang tak bisa lagi push,” ujar Adrianus.
Menurut Adrianus, pada daerah-daeah yang sudah zona hijau perlu dipikirkan cara lain. Misalnya, sekali seminggu anak disuruh masuk sekolah dengan protokol kesehatan yang ketat sekali. Lama kelamaan meningkat dua hari, tiga hari dan seterusnya.
“Ini untuk mengatasi kelemahan sistem daring,” kata Adrianus.
Tim Pakar Bidang Perubahan Perilaku Satgas Covid-19, Dr. Agnes Tuti Rumiati, M.Sc, menekankan pemetaan daerah dan sekolah-sekolah yang siap melakukan pembelajaran tatap muka. Kemudian ada kriteria-kriteria tertentu dalam penentuan kesiapan sekolah.
“Harus dipastikan protokol kesehatan siswa di perjalanan dari sekolah ke rumah, ataupun sebaliknya. Oleh karena itu keputusan pembelajaran tatap muka harus menjadi keputusan bersama yang mantap,” ujar Agnes yang juga Ketua Pusat Kajian SDG’s, Institut Teknologi Surabaya.
Koordinator Bidang Peserta Didik Direktorat SMA, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Juandanilsyah, S.E., M.A, mengemukakan, pada beberapa daerah yang zona hijau pembelajaran tatap muka sudah berjalan. Akan tetapi kondisi Covid-19 berubah-ubah.
“Nah penyesuaian itu melalui kebijakan pemerintah daerah,” ujar Juanda.
Menurut Juanda, untuk pembukaan sekolah kembali dan pembelajaran tatap muka maka seluruh persyaratan harus terpenuhi dulu. Fasilitas yang dibutuhkan sudah terpenuhi.
“Untuk pengaturannya diserahkan ke daerah masing-masing. Kalau ada pergantian semacam shifting, modelnya seperti apa, supaya siswa bisa mengikuti pembelajaran tatap muka,” kata Juanda.(adm-02/gopos)