GOPOS.ID, TIBAWA – Kebijakan Pemerintah Provinsi Gorontalo memberlakukan rapid test antigen bagi penumpang yang tiba di Bandara Jalaluddin Gorontalo perlu didukung ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai. Keterbatasan SDM yang bertugas itu justru memicu terjadinya persoalan. Seperti protes warga yang lama mengantre hingga kerumunan di depan meja pendaftaran. Padahal kini Gorontalo sedang berupaya untuk mencegah penularan Omicron dan gelombang ketiga Covid-19.
Situasi itu sebagaimana pantauan gopos.id, Kamis (10/2/2022) pukul 17.45 Wita. Saat itu ada ratusan penumpang yang baru tiba di Bandara Djalaluddin Gorontalo dari penerbangan Makassar-Gorontalo. Mereka bergegas dari ruang terminal di lantai dua menuju ke ruang kedatangan di lantai satu. Sebelum turun ke ruang kedatangan, satu per satu setiap penumpang dilakukan pengecekan Indonesia Health Alert Card (eHAC) atau kartu kewaspadaan kesehatan. Kartu yang dikembangkan Kementerian Kesehatan secara digital dan terintegrasi dalam aplikasi Peduli Lindungi.
Pengecekan terbilang singkat dan cepat. Barcode informasi eHAC di-scan secara otomatis oleh petugas. Tak sampai 30 detik, semuanya beres. Saat hendak memasuki ruang kedatangan, para penumpang diarahkan oleh Petugas di bandara untuk mengikuti tes rapid antigen. Mayoritas penumpang menuruti permintaan petugas dengan duduk antre menuju meja pendaftaran
Selang 15 menit, antrean menuju meja pendaftaran makin panjang. Sebagian penumpang mulai gelisah. Tak sabar lagi menunggu. Capek, lelah, ngantuk, lapar campur aduk. Kegelisahan para penumpang memuncak. Apalagi ada beberapa penumpang (karena merasa memiliki jabatan, orang penting, atau merasa penting), nyelonong ke meja pendaftaran. Teriakan agar antre bersahutan di antara penumpang.
Di meja pendaftaran sendiri hanya ada 5 petugas perempuan. Satu di antaranya petugas berseragam Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Mereka melakukan pemeriksaan hasil test Covid-19 setiap penumpang yang ada pada aplikasi Peduli Lindungi. Berbeda dengan di lantai dua. Di meja pendaftaran rapid test antigen, selain hasil tes covid-19 pada aplikasi Peduli Lindung, setiap penumpang diminta menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Identitas setiap penumpang selanjutnya dicatat dalam daftar pada lembaran kertas. Dilakukan secara manual. Satu orang memeriksa e-HAC, sementara satunya lagi mencatat.
Nama, Nomor Identitas Kependudukan (NIK), serta Nomor Ponsel. Semuanya ditulis pakai tangan. Kendati semua data yang diminta itu secara digital telah terekam dalam database aplikasi Peduli Lindungi. Selain itu KTP yang dimiliki setiap penumpang merupakan KTP Elektronik, yang konon katanya tak perlu lagi difotokopi atau dicatat-catat secara manual.
“Kalau pakai komputer makin lama lagi Pak,” ucap salah seorang petugas yang mengenakan jilbab.
Butuh paling cepat 1 menit untuk setiap penumpang. Alhasil, yang jauh makin mendekat, yang dekat makin rapat. Antrian yang tadinya berjarak satu meter makin mepet. Sudah bisa ditebak, kerumunan pun terjadi di depan meja pendaftaran.
“Tolong jangan berkerumun. Di tempat ini ada kamera yang terpantau dari Kantor Gubernur. Kalau berkerumun begini, kami kena teguran lagi,” ujar petugas dengan nada tinggi meminta agar para penumpang tak berkumpul di meja pendaftaran.
Imbauan agar tak berkerumun nyaring terdengar, walau tak menggunakan pelantang suara. Namun sifat alami manusia sulit dibendung. Apalagi banyak di antara mereka menempuh rute perjalanan yang panjang dan lama. Ada yang sudah bangun sejak pukul 03.00 dini hari agar tak terlambat ke bandara. Ada yang menunggu hampir seharian saat transit. Duduk di bangku ruang tunggu dari pagi hingga sore. Begitu banyak energi yang terkuras, sehingga dorongan untuk segera tiba dan beristirahat di rumah begitu melonjak dalam dada. (adm-02/gopos)