Fitri Usman
Ketua DPD IMM Provinsi Gorontalo
Pemilihan Umum masih merupakan instrumen paling efektif untuk mengukur perkembangan demokrasi dalam suatu negara. Jika Pemilu berjalan dengan jujur dan adil, maka hampir dapat dipastikan sistem demokrasi dalam negara tersebut berkembang dengan pesat.
Lantas bagaimana jika penyelenggaraan pemilu ditunda pelaksanaanya?
Indonesia sebagai negara hukum menghendaki agar setiap pengambilan keputusan baik oleh pemerintah maupun legislatif harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku untuk mencegah tindakan sewenang-wenang yang timbul dari hasrat kekuasaan yang berlebihan.
Munculnya wacana penundaan Pemilu yang dihembuskan oleh beberapa Partai Politik yang berada di parlemen merupakan praktek yang bertentangan dengan konstitusi yang didalamnya memuat asas kedaulatam rakyat. Dalam negara hukum demokrasi setiap pergantian kekuasaan dilakukan melalui mekanisme Pemilihan Umum sebagai jaminan terselenggaranya kedaulatan rakyat dalam menentukan pilihan terhadap pemimpin yang di inginkan.
Implikasi dari penundaan pemilu adalah bertambahnya masa jabatan dalam lingkup eksekutif yaitu Presiden dan wakil presiden termasuk kepala daerah dan anggota legislatif. Oleh karena semua jabatan tersebut di peroleh melalui mekanisme pemilihan umum maka tidak dibenarkan adanya perpanjangan masa jabatan yang di peroleh tanpa proses pemilihan secara langsung oleh rakyat. Jika pelaksanaan Pemilu hendak ditunda waktu pelaksanaannya maka harus ditetapkan terlebih dahulu peraturan yang membolehkan pemilu untuk di tunda. Yusril Ihza Mahendra berpandangan bahwa pemilu dapat ditunda dengan tiga alasan mendasar, diantaranya (1) Melalui Amandemen UUD 1945 spesifiknya Pasal 22E tentang Pemilu, (2) Melalui Dekrit Presiden, dan (3) Menciptakan Konvensi Ketatanegaraan. Ketiga dasar tersebut dapat dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam konstitusi dan berlaku secara sah dalam praktik penyelenggaraan negara.
Apa yang dikemukakan oleh Yusril Ihza Mahendra di atas dengan melihat besaran koalisi partai penguasa yang ada di parlemen sangat memungkinkan untuk dilakukan terlebih mengenai amandemen dalam rangka pengaturan waktu penundaan Pemilu, tetapi pada sisi lain jika ruang amandemen terhadap UUD 1945 dibuka dan disetujui oleh sebagian besar anggota parlemen (lihat Pasal 37) , maka tidak menutup kemungkinan perubahan terhadap konstitusi tidak hanya pada pasal-pasal yang berkaitan dengan pemilu tetapi bisa jadi membuka ruang ambisi kekuasaan yang berlebihan.
Sekalipun konstitusi membuka ruang amandemen sebagai jalan untuk penundaan pemilu tetapi pembacaan dan pemahaman terhadap konstitusi tidak bisa hanya dengan menggunakan kacamata kuda politik, sebab konstitusi mensyaratkan amandemen bila terjadi perubahan sistem ketatanegaraan dalam praktik penyelenggaran negara dengan alasan yang sangat mendasar. Sementara konstitusi telah mengatur secara jelas mengenai masa jabatan Presiden dan wakil presiden serta mekanisme pengisian jabatan anggota legislatif melalui pemilihan umum, Pasal 6A ayat (1) “Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Pasal 7 “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Pasal 2 (1) “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undangundang”. Pasal 19 ayat (1) “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum”.
Konstruksi logika hukum dalam beberapa pasal yang diuraikan diatas menegaskan bahwa konstitusi tidak memberi ruang perpanjangan masa jabatan tanpa proses pemilihan umum sebab tidak satupun pasal dan ayat dalam konstitusi yang memuat norma masa jabatan presiden maupun anggota parlemen dapat diperpanjang apalagi dengan jalan menunda pemilu. Sementara itu jika keinginan untuk mengamandemen UUD 1945 tetap dijalankan dengan melihat sejarah perjalanan Konstitusi yang telah mengalami amandemen sebanyak 4 kali, maka tentu amandemen selanjutnya (bila disetujui) harus memiliki pertimbangan hukum yang matang karena berakibat pada praktek penyelenggaran negara/ketatanegaraan.
Kalau kita balik untuk melihat perjalanan panjang sejarah perubahan UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi negara, maka kita akan melihat adanya perombakan sistematika UUD 1945 yang sangat mendasar terutama untuk mempertegas sistem presidensial. Hal yang demikian itu terlihat jelas dalam beberapa Pasal sebelum amandemen UUD 1945 diantaranya Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pasal 6 ayat (2) “Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”. Dalam UUD 1945 hasil amandemen pasal tersebut diubah yaitu Pasal 1 ayat (2) ” Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal 2 (1) “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undangundang”. Pasal 6A ayat (1) “Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Konsekuensi hukum atas perubahan tersebut adalah kedaulatan rakyat tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh MPR dengan jalan mengembalikan kedaulatan tersebut kepada rakyat untuk dilaksanakan berdasarkan UUD dan Presiden tidak lagi menjadi mandataris MPR. Semua itu adalah bagian dari penguatan sistem pemerintahan presidensial demokratis.
Namun, kenyataannya pembongkaran konstruksi presidensialisme dalam perubahan UUD 1945 tahun 1999 dan penguatan kelembagaan DPR pada perubahan ke dua tahun 2000 yang diharapkan mampu melahirkan keseimbangan kekuasaan antara Presiden dan DPR, justru menimbulkan ketidakjelasan sistem presidensial tetapi yang timbul adalah menguatnya kesan parlementer oleh karena MPR terlihat setengah hati melepas kewenangannya yang selama ini dipegang erat-erat dalam dekapan Pasal 6 sebelum perubahan.
Sikap MPR yang setengah hati tersebut memunculkan “gap” antara obsesi presidensialisme di satu pihak dan prakteknya yang cenderung bersifat parlementer di pihak lain, terlebih di dorong oleh ketidaksungguhan elit politik untuk melembagakan sistem presidensialisme yang selama ini dikombinasikan dengan sistem multi partai ekstrim yang tidak ditunjang oleh UU kepartaian yang justru memberi keleluasaan kepada setiap warga negara untuk mendirikan Partai.
Konsekuensi pengaturan kepartaian yang menganut sistem multipartai ekstrim tersebut sangat berpengaruh pada stabilitas penyelenggaraan negara dalam hal pengambilan kebijakan-kebijakan publik yang sangat bergantung pada dinamika politik yang berkembang di parlemen. Kenyataannya waktu Presiden lebih banyak dicurahkan pada kompromi-kompromi politik di DPR karena perbedaan dukungan Partai terhadap kebijakan pemerintahan yang ada. **