GOPOS.ID – Santri masa kini makin karib dengan perkembangan teknologi, berkiprah dalam banyak bidang kewirausahaan, dan kaya inovasi. Sementara santri di zaman dulu akrab dengan pergerakan, tinggi dalam hal tirakat, dekat kepada kiai dan menonjol dengan sikap tawadhunya. Jika keduanya berpadu menjadi jiwa yang dimiliki santri saat ini, maka kebutuhan Indonesia akan SDM unggul untuk bekal menyambut momen Indonesia Emas lebih mudah terealisasi.
Santri, dalam sejarahnya mempunyai kisah heroik dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang membuatnya pantas memperoleh penghargaan dari negara. Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional adalah sebagian apresiasi pemerintah terhadap jasa-jasa santri Indonesia.
Seruan ulama berupa “Resolusi Jihad” yang dikobarkan pada Oktober 1945 menjadi bukti kontribusi nyata kaum santri dalam merebut kemerdekaan. Kemudian kiprah Laskar Hizbullah di bawah komando KH Zainul Arifin serta Laskar Sabilillah yang dipimpin KH Masykur menjadi cikal-bakal kelahiran angkatan bersenjata yang saat ini telah bertransformasi sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sehingga tidak mengherankan jika banyak tokoh dari kalangan santri yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Bukti-bukti sejarah itulah yang kemudian menjadi dasar Pemerintah Indonesia menetapkan Hari Santri pada tahun 2015.
Sejarah keberadaan pondok pesantren telah dimulai dari zaman Walisongo pada abad 15-16. Telah bertahan selama 5 abad, eksistensi pesantren tentu telah melewati berbagai perkembangan, dari yang tradisional sampai digital, dari santri zaman pergerakan hingga santri akhir zaman.
Sebagai salah satu model lembaga pendidikan, wajar pesantren mendapat perhatian besar dari pemerintah, terlebih di dalamnya berlangsung proses penempaan generasi muda para calon pemimpin bangsa. Hingga Juli 2023 Kementerian Agama (Kemenag) mencatat, terdapat 39.043 pesantren di dalam negeri yang mendidik sebanyak 4,08 juta santri.
Berbeda dengan pada masa lalu di mana sebaran ponpes masih sangat terbatas sehingga para calon santri harus menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk menemukan tempat mondok. Sekarang keberadaan ponpes, bahkan bisa dijumpai hingga pelosok-pelosok gang di perdesaan. Namun begitu, untuk dapat disebut sebagai sebuah pondok pesantren, disyaratkan memenuhi “arkanul ma’had” atau rukun pesantren. Agar suatu lembaga bisa disebut pesantren, harus meliputi adanya kiai, santri yang bermukim, masjid, kajian kitab, dan asrama.
Tidak bisa pula sembarang orang menyebut diri sebagai kiai dan dengan gampang mendirikan pesantren, melainkan seseorang yang mempunyai kekuatan sanad keilmuan yang kuat dan mendalam. Secara utuh pesantren memiliki nafas keagamaan, kehadiran kiai, eksistensi masjid, referensi keilmuan dengan garis (sanad) yang jelas, dan fasilitas tempat mondok.
Secara fungsi, ponpes, selain berperan dalam proses pendidikan, juga menjalankan dakwah dan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Sayangnya, akhir-akhir ini banyak kasus terkuak di mana ponpes tidak menjalankan fungsi utamanya dengan baik, malah terjadi penyimpangan di dalamnya.
Melampaui pesantren
Pondok pesantren masa kini bukan sekadar tempat mengaji dan berlangsungnya proses belajar mengajar pendidikan formal. Telah banyak pesantren yang melesat melampui fungsi pokoknya itu. Seperti halnya toserba, pesantren kekinian menggarap segala macam bidang, hingga menjelma menjadi kompleks mandiri yang memiliki penggerak ekonomi sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan para santri, segenap penghuni, dan lingkungan sekitar, sebuah kompleks pesantren modern dilengkapi dengan toko swalayan, kafe atau kedai makan, klinik dan apotek, jasa cuci baju, tempat foto kopi, pangkas rambut, dan lain sebagainya. Tak jarang mereka juga bergerak dalam bidang peternakan, pertanian, perkebunan dan mengelola UMKM dengan beragam produk yang dihasilkan oleh santri dan masyarakat sekitar.
Adakalanya pesantren tidak memungut biaya pendidikan, namun mensyaratkan pengabdian para santrinya untuk mengelola berbagai bidang kewirausahaan yang dijalankan yayasan. Sehingga roda perekonomian dalam lingkup pesantren terus berputar dan berkembang karena tidak pernah kekurangan SDM.
Adapula yang membangun nama besar dengan ciri khas tertentu, semisal fokus di bidang agrobisnis, seperti pesantren Al-Ittifaq di Bandung.
Sementara pada bidang akademiknya, banyak lembaga pesantren yang telah memperoleh status kesetaraan, sehingga para santri yang telah menamatkan pendidikan di pesantren itu memperoleh ijazah yang diakui negara. Seperti pesantren yang berkembang setingkat perguruan tinggi dalam bentuk institusi yang bernama Ma’had Aly. Sekarang lulusan Ma’had Aly memiliki ijazah setara S1 yang diakui secara legal formal.
Santri kombinasi
Sebagai sumber daya bangsa, baik pemerintah maupun masyarakat luas banyak menaruh harapan pada santri karena kelengkapan keilmuan yang dimilikinya.
Santri tempo dulu banyak ditempa oleh keadaan sulit yang membuatnya menjadi anak muda tangguh. Mulai dari tempat mondok yang jauh dari kampung halaman, bisa jadi santri bertemu orang tua hanya ketika pertama kali diantar masuk pesantren dan baru berjumpa kembali saat dijemput pada waktu kelulusan.
Menimba ilmu di pesantren sekaligus merantau, dengan bekal apa adanya, sehingga santri pada masa itu tinggi tingkat tirakatnya. Serba sederhana, termasuk fasilitas dan sarana prasarana pesantren.
Meski kondisinya seperti itu, mereka umumnya menempuh pendidikan di pesantren atas keinginan dan tekadnya sendiri, bukan karena dipaksa orang tua. Didorong oleh semangatnya untuk mengabdi pada sang kiai demi memperoleh keberkahan ilmu.
Tempaan lain pada zaman itu adalah kehidupan di masa pergerakan, yakni perjuangan untuk merebut kemerdekaan hingga mempertahankannya. Dalam sejarahnya, para santri Indonesia terlibat aktif dalam peperangan yang heroik.
Sementara santri masa kini banyak mendapatkan fasilitas teknologi, semisal laboratorium bahasa, studio radio atau televisi komunitas, juga sarana dan prasarana yang terbilang mewah. Apalagi pesantren berlabel modern berlomba-lomba membangun gedung-gedung megah untuk fasilitas pendidikan santri, termasuk asrama dan berbagai sarana penunjangnya.
Santri sekarang hanya fokus untuk belajar, segala kebutuhannya telah disediakan oleh pihak pesantren karena sudah termasuk dalam biaya pendidikan dan asrama. Seperti makan sehari-hari yang disuguhkan secara prasmanan, jasa laundry, dan kebersihan asrama, semua ada petugas yang mengurusnya.
Dengan segala kemudahan itu, santri akhir zaman tidak merasakan tempaan dan tantangan seperti halnya santri zaman pergerakan. Bukan berarti harus mengalami kesulitan yang sama, akan tetapi dengan kondisi yang jauh lebih mudah, santri saat ini tentu dituntut memiliki keunggulan lebih tinggi.
Seperti yang diharapkan Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Muhammad Ali Ramadhani. Dia meminta santri tidak melepaskan diri dari kemajuan zaman yang di dalamnya ada teknologi. Santri tidak hanya wajib paham kitab kuning, teknologi juga harus dikuasai.
Buktikan kepada dunia, kualitas santri tidak hanya setara, namun lebih unggul dari lembaga pendidikan umum.
Namun keakraban santri dengan teknologi sekaligus dapat berpotensi mengurangi kedekatannya dengan para kiai atau ustadz karena banyak pengetahuan yang ditanyakan kepada mesin pencari di internet daripada menghadap langsung sang guru untuk berdiskusi.
Bahkan fenomena belakangan ini banyak “santri” tanpa mengenyam pendidikan pesantren, mereka berguru melalui internet dalam media berbagi konten video. Atau orang yang dengan gampang dipanggil ustadz/ustadzah, padahal tidak memiliki riwayat pendidikan ponpes.
Dahulu, mencari ilmu penuh perjuangan, perlu perjalanan jauh untuk menemukan guru atau kiai, menghadap dan memohon untuk dapat mengabdi, mengaji dan berdiskusi dengan kiai selama berjam-jam tiap hari. Disertai rasa hormat, santun, dan tawadu agar sang kiai memberi keridhoan atas ilmu yang diberikan.
Sekarang, ilmu cukup diunduh, disimpan dan dikoleksi, untuk diperdebatkan ketika ada kesempatan. Tanpa kehadiran guru, para “santri” telah merasa banyak tahu dengan selera debat yang mencuat.
Malik bin Anas alias Imam Malik berkata: “Tidak akan menjadi baik umat belakangan ini, kecuali apabila diperbaiki dengan cara orang-orang terdahulu”.
Maka menjadilah santri kombinasi, yang tak hanya pandai mengaji dan menguasai teknologi, tetapi juga mewarisi sikap rendah hati dan berbudi, sebagaimana para santri terdahulu menginspirasi.(Antara)