Oleh Fadel Muhammad
Rencana kunjungan Presiden RI Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia menjadi bahan kajian yang menarik. Situasi perang di Ukraina sejak invasi tentara Rusia pada 24 Februari 2022 hingga saat ini masih mengkhawatirkan. Perang sudah memasuki bulan kelima namun belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Lamanya perang tersebut di luar perhitungan sejumlah pihak. Ukraina yang berdasarkan kekuatan militer jauh di bawah Rusia dan diperkirakan akan cepat “dikalahkan”, ternyata mampu bertahan dengan pola pertahanan yang dibangunnya. Ukraina memang mendapat dukungan persenjataan dan dana dari negara-negara Barat yang tergabung dalam NATO (termasuk AS di dalamnya), namun Barat tidak bisa ikut berperang langsung. Mereka menghindari berhadapan langsung dengan Rusia agar tidak terjadi perang yang lebih besar.
Ukraina bukan anggota NATO sehingga tidak ada kewajiban bagi NATO mengirimkan pasukan. NATO juga melarang anggotanya ikut campur langsung dalam perang Rusia-Ukraina dan mengancam akan memberi sanksi berat. Jika NATO memberi bantuan dengan mengirim pasukan, Rusia bisa menyerang anggota NATO dan menimbulkan perang di Eropa yang lebih besar. Begitu juga jika Rusia menyerang negara anggota NATO akan menimbulkan perang Eropa karena balasan NATO.
Skenario ini menunjukkan bahwa perang yang terjadi saat ini hanya akan melibatkan dua pihak yaitu Ukraina dan Rusia. Ukraina akan dibiarkan sendiri melawan Rusia sedangkan pihak-pihak yang bersimpati memberikan bantuan berupa pasokan senjata, amunisi, pelatihan militer dan dana tanpa kiriman pasukan. AS diberitakan mengucurkan bantuan hingga US$40 miliar. Inggris memberi bantuan antara lain berupa pelatihan terhadap 20.000 orang Ukraina. Pelatihan juga diberikan oleh AS. Pelatihan tentu membutuhkan waktu dan waktunya berkejar-kejaran dengan makin intensifnya serangan Rusia. Dengan demikian, kemampuan Ukraina yang bisa bertahan hingga sejauh ini diapresiasi banyak pihak karena kemampuan sendiri.
Apresiasi itu bisa menumbuhkan kepercayaan diri Ukraina yang mungkin merugikan dari sisi upaya perdamaian. Hal ini tampak dari Ukraina yang dianggap menahan diri untuk berunding dengan Rusia. Apalagi ada sejumlah pihak di Eropa yang menghendaki agar mereka terus mendukung Ukraina untuk memenangkan perang. Menurut Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss, jika Rusia menang, akan menjadi ancaman bagi Eropa sehingga upaya memenangkan Ukraina menjadi penting. Ini sinyal kurang baik bagi upaya perdamaian.
Sementara Rusia menyebutkan bahwa mereka sudah membuka pintu untuk maju ke perundingan. Hanya saja hambatannya, menurut pendapat mereka, terletak pada kemauan Ukraina. “Kami, di pihak kami, siap untuk melanjutkan dialog. Tetapi saya ingin menekankan bahwa bola pembicaraan damai lebih lanjut ada di pengadilan Ukraina. Pembekuan pembicaraan adalah inisiatif sepenuhnya Ukraina,” kata asisten Vladimir Putin, Vladimir Medinsky, dalam wawancara dengan stasiun televisi Belarusia, ONT, seperti dikutip Republika.
Kerugian Ekonomi
Berlarutnya perang berdampak pada ekonomi global. Baik Ukraina maupun Rusia merupakan pemasok komoditas ekonomi tertentu yang cukup signifikan. Rusia, misalnya, merupakan pemasok bahan bakar fosil (minyak bumi, gas alam, dan batu bara). Menurut perkiraan European Parliament pada pertengahan Juni 2022, ekonomi OECD dengan mempertimbangkan rasio ketergantungan seluruh ekonomi negara-negara OECD pada impor dari Rusia untuk tiga bahan bakar fosil (batubara, gas, dan minyak bumi), penghentian tiba-tiba semua impor bahan bakar fosil dari Rusia akan mempengaruhi semua sektor ekonomi, terutama sektor penghasil energi, transportasi, mineral, dan manufaktur logam. Dengan tidak mempertimbangkan substitusi sumber energi tersebut dengan sumber energi lain, secara agregat penghentian pasokan energi fosil dari Rusia dapat menyebabkan output sektor manufaktur dan jasa-jasa negara-negara OECD akan berkurang antara 2,75%-3%. Sekitar setengah dari penurunan output tersebut akan disebabkan oleh kekurangan minyak bumi dan produk minyak bumi, dengan sebagian besar sisanya dari kekurangan gas alam.
Embargo pasokan gas dari Rusia diasumsikan akan menaikkan harga gas global sebesar 50%. Sementara harga gas yang lebih tinggi akan menaikkan harga pupuk hingga 25%. Sedangkan meningkatnya permintaan pasokan energi diperkirakan akan meluas ke pasar minyak, dengan asumsi harga minyak dunia akan naik 10%. Hal ini akan membuat pertumbuhan ekonomi negara-negara OECD terkontraksi hingga lebih dari minus 1,25%, pada 2023 sedangkan pertumbuhan ekonomi dunia akan terkontraksi sekitar 0,4% pada tahun depan. Padahal pertumbuhan ekonomi sudah menurun karena pandemi Covid-19 yang sudah lebih dari dua tahun.
Gangguan lainnya terlihat dari pasokan Rusia dan Ukraini ke pasar dunia untuk sejumlah komoditas non bahan bakar fosil. Dalam produk logam, Rusia menyumbang seperempat dari ekspor paladium global pada tahun 2020. Rusia dan Ukraina menyumbang seperempat dari ekspor global besi dan produk setengah jadi baja non-paduan, dan setengah dari ekspor besi kasar dunia.
Gangguan juga akan dialami di sektor pangan. Ada risiko timbulnya krisis pangan dunia. Banyak negara yang memiliki ketergantungan bahan makanan pokok yang tinggi pada Rusia dan Ukraina, yakni gandum. Negara-negara seperti Armenia memiliki ketergantungan impor gandung hingga 99% dari Rusia-Ukraina. Bahkan negara-negara di Timur Tengah dan Afrika pun banyak yang memiliki ketergantungan impor gandung yang tinggi pada kedua negara itu. Sudan mengimpor gandum dari Rusia dan Ukraina mencapai lebih dari 93% dari total impor komoditas tersebut, Lebanon 92,6%, Mesir 86%, Libya 65%, Tunisia 61,7%, Oman 58,3%, Namibia 52,2%, dan Yaman 51%. Jika impor gandum dari Rusia-Ukraina dihentikan, maka mereka akan mengalami kesulitan pangan. Padahal negara-negara tersebut masih berhadapan dengan dampak pandemi Covid-19.
Tentu saja perang juga mempengaruhi ekonomi kedua negara yang sedang berperang. Ekonomi Ukraina diperkirakan akan mengalami penurunan pertumbuhan hingga minus 45%. Demikian juga dengan Rusia. Pada April lalu pengamat AS memperkirakan ekonomi Rusia akan terkontraksi hingga minus 15%. Melihat masalah tersebut upaya perdamaian Rusia-Ukraina, selain penting buat kedua negara dari sisi ekonomi, juga penting bagi ekonomi dunia.
Peran Jokowi
Ketika diberitakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menghadiri undangan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 pada 26-28 Juni 2022 di Jerman akan melanjutkan kunjungan ke Ukraina dan Rusia dalam upaya mendamaikan kedua belah pihak, banyak yang melihatnya dengan nada minor. Ada pengamat di Indonesia yang menyebutkan, Indonesia tidak memiliki kekuatan untuk menekan Rusia dan Ukraina agar mereka berdamai. Negara pemrakarsa perdamaian, misalnya AS, umumnya memiliki kekuatan ekonomi atau senjata untuk mengancam kedua belah pihak yang bertikai seperti sanksi ekonomi.
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Evi Fitriani, seperti dikutip Tempo.co, menyebutkan bahwa Indonesia tidak punya uang dan tak punya senjata untuk memaksa kedua negara berhenti berperang. Namun, menurutnya, ada satu peluang yang bisa diambil, yakni memberikan alasan pada Rusia agar negara itu mau berhenti berperang. Rusia, pada dasarnya ingin juga berhenti perang namun malu jika harus berhenti tanpa alasan yang memadai. Rusia butuh exit strategy yang elegan, dan Indonesia yang bisa berperan sebagai sahabat Rusia akan mampu memberikan exit strategy tanpa Rusia kehilangan muka.
Bagi Indonesia sendiri, jika perdamaian kedua negara tidak tercapai sebelum November 2022 ketika Indonesia menjadi tuan rumah (presidensi) KTT G20 pada 15-16 November 2022 di Bali, maka akan terjadi kerumitan. G20 terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa. Anggotanya adalah Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.
Sebagai salah satu anggota G20, Rusia tetap diundang Indonesia. Keputusan itu sempat mendapat reaksi dari negara-nagara Barat yang memberikan sanksi pada Rusia. Bahkan ada sejumlah negara yang mengancam akan memboikot KTT G20 di Bali jika Rusia diundang, termasuk AS. Lobi Indonesia terhadap negara-negara yang akan memboikut diragukan akan membawa hasil oleh sejumlah pihak di Indonesia.
Saya sendiri melihat, upaya Jokowi yang terus berjuang melakukan lobi ke negara-negara Barat dan niatnya mengunjungi Ukraina kemudian ke Rusia pada pekan ini, merupakan langkah yang berani. Ukraina masih berperang dan keamanan kunjungan Presiden Jokowi membutuhkan perhitungan keamanan yang rinci. Saya mendukung upaya Jokowi mendamaikan Rusia-Ukraina. Apalagi hubungan Indonesia terhadap Ukraina maupun Rusia terus membaik dari waktu ke waktu. Hubungan Indonesia dengan kedua negara itu tidak hanya dalam bidang ekonomi dan politik, tetapi juga budaya.
Banyak pemuda Ukraina yang belajar bahasa Indonesia dan mempelajari perjuangan dan budaya Indonesia. Mereka mengagumi perjuangan Indonesia dari mulai Sumpah Pemuda hingga perjuangan kemerdekaan. Begitupun di Rusia, banyak pemuda-pemuda Rusia yang belajar bahasa dan budaya Indonesia. Ini menjadi salah satu kekuatan Indonesia dalam upaya mendamaikan kedua belah pihak.
Saya juga melihat, momentum terbaik Indonesia berperan di kancah dunia dalam menciptakan perdamaian dunia ada pada saat ini. Posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 cukup strategis mewakili kepentingan kekuatan dunia karena negara-negara anggota G20 meliputi 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia. Kemudian Indonesia dalam posisi netral dan kedekatan dengan kedua negara yang sedang bertikai memiliki nilai lebih. Karena itu momentum ini harus diambil. Kita berdoa semoga perjuangan Presiden mendamaikan Rusia-Ukraina bisa berhasil.##