Ini hal yang telah lama sekali saya diskusikan dengan senior-senior saya. Rasanya bahkan sejak tahun 2017 silam, ketika kepengurusan PB HPMIG generasi saya, baru dimulai.
Saya ingat pernah memoderatori Ketum PB HPMIG 2011-2013 Tomy Ishak pada sesi diskusi Festival Ramadhan 2018, dan masalah ini sekali lagi ditekankan.
Bahkan bisa jadi, sirkulasi percakapan tentangnya telah berusia lebih lama lagi, jauh sebelum saya berkecimpung dalam kepengurusan HPMIG. Bertahun-tahun berlalu, menjadi kegelisahan yang mengendap di antara alumni HPMIG.
Kegelisahan ini mengenai positioning HPMIG; di mana kedudukan HPMIG pada zaman yang berubah?
Pada mulanya ketika pertama kali didirikan, HPMIG merupakan sebuah paguyuban yang menghimpun para pelajar dan mahasiswa Gorontalo yang tersebar di berbagai daerah.
Pada saat itu, sekitar tahun 1955, kemudian sepanjang periode konsolidasi pada 1964, Gorontalo yang menjadi ibu kandung HPMIG masih berstatus sebagai suatu Daerah Tingkat II di bawah naungan provinsi Sulawesi Utara.
Sebagai suatu paguyuban, maka nuansa primordialisme yang mengikat anggotanya terasa amat pekat. Bisa jadi, para anggotanya disatukan oleh perasaan ‘bagian dari bukan bagian’ yang sama.
Mengingat, masyarakat Gorontalo secara umum memiliki kultur dan identitas yang berbeda dengan saudara-saudara mereka di Sulawesi Utara. Dalam banyak kasus, pembedaan itu justru berujung pada diskriminasi struktural.
Tahun 1999, perasaan ‘bagian dari bukan bagian’ ini kemudian berubah menjadi gerakan politis. HPMIG mengalami transformasi arah gerakan, membersamai aspirasi pemisahan Gorontalo dari Sulawesi Utara yang semakin menguat.
Pembentukan Provinsi Gorontalo menjadi misi utama HPMIG. Secara struktural, HPMIG juga mengubah format organisasinya dari presidium yang bernuansa kolegial, menjadi satu eksekutif nasional bernama Pengurus Besar.
Sayangnya pasca provinsi Gorontalo berdiri, HPMIG tak pernah lagi benar-benar kembali pada performa terbaiknya sebagai sebuah organisasi.
Selama menjadi bagian dari Pengurus Besar yang kini telah demisioner, saya melihat kecenderungan HPMIG kehilangan orientasi gerakan dan daya tawarnya.
HPMIG terlanjur berada pada posisi yang serba tanggung. Ia tak cukup kuat untuk memengaruhi kebijakan dan dinamika politik praktis di level nasional.
Baca Juga:Â Penerangan di Dusun Tumba, Desa Tamaila Utara Akan Gunakan Tekhnologi Picohydro
Di sisi lain, ia juga terlalu berjarak dari realitas konstituen utama yang akan selalu menagih kontribusi organisasi ini: masyarakat Gorontalo.
Nama HPMIG saat ini tenggelam oleh berbagai komunitas yang juga tengah bertumbuh semarak di Gorontalo. Di masa lalu, kader HPMIG hanya bermunculan ketika Ramadan tiba. Pasca lebaran, mereka kemudian kembali menghilang.
Bisa dibilang, saya sebagai bagian dari HPMIG terlena dalam sejarahnya sebagai salah satu organisasi kepemudaan tertua di Gorontalo, bahkan Indonesia. Ketika kader-kadernya merasa besar di dalam sejarah, dunia di luarnya, terutama Gorontalo sendiri, terus berderap.
Maka sebelum bicara mengenai orientasi gerakan dan daya tawar, teka-teki yang perlu dipecahkan terlebih dahulu adalah mengenai di mana kedudukan HPMIG pada zaman yang berubah ini, agar dirinya tetap relevan dan ‘worth to join to’.
Dalam hal ini, kita perlu berhati-hati. Selama ini, saya sendiri terjebak pada asumsi bahwa bicara positioning secara harfiah berarti berbicara mengenai di mana HPMIG seharusnya menempatkan diri. Seolah ini diskusi tentang locus, di mana lokasi fisik menjadi benar-benar penting.
Baca Juga:Â Polres Gorontalo Tangkap 2.650 Liter Cap Tikus
Perdebatan klasik yang kerap timbul adalah mengenai di mana harusnya HPMIG bersekretariat: di ibukota negara, di Gorontalo, atau mengikuti ketua umum terpilih? Pada setiap kali penyelenggaraan Musyawarah Besar HPMIG, perdebatan tentang ini di AD/ART selalu muncul.
Belakangan yang saya sadari, terutama ketika semakin dalam menggeluti urusan business development, ternyata positioning bukanlah narasi mengenai tempat. HPMIG pada dasarnya tidak ke mana-mana. Namun sebagai sebuah produk kebudayaan, maka organisasi HPMIG menghadapi manusia-manusia dan isi kepala yang berganti.
Yang terus berubah adalah pemangku kepentingan di sekitar HPMIG itu sendiri, serta persepsi mereka tentang HPMIG. Dengan kata lain, positioning adalah sebuah isu political marketing dan product placement.
Maka dari itu, analisis positioning sejatinya adalah analisis tentang persepsi pemangku kepentingan. Menempatkan mereka sebagai konsumen dari setiap narasi programatik yang dibangun HPMIG.
Dengan pemetaan positioning, maka kita dapat menyusun skala prioritas, kemudian diturunkan ke dalam program kerja. Ujungnya, program-program dengan value yang tepat sasaran.
Baca Juga:Â Peternak di Kecamatan Tomilito, Kabupaten Gorut Terima Bantuan Sapi
Untuk memudahkannya, pada gambar di bawah saya meminjam kuadran Eissenhower untuk memetakan siapa saja pemangku kepentingan yang perlu dipengaruhi itu. Axis (sumbu vertikal) pada kuadran itu menggambarkan kontinuum kemendesakan. Sementara ordinatnya (sumbu horizontal) menggambarkan kontinuum kekuatan dan pengaruh.
Dalam kerangka kuadran Eissenhower itu, para pemangku kepentingan ini dapat dibagi ke dalam empat kelompok besar:
- Q1 (oranye) berisi mereka yang memiliki kedudukan yang kuat, namun eksistensinya tak benar-benar berpengaruh terhadap HPMIG. Ini mencakup organisasi di luar HPMIG dan perusahaan pers.
- Q2 (abu tua) berisi mereka yang memiliki kedudukan yang kuat dan keputusan yang mereka ambil sangat memengaruhi arah gerak HPMIG. Kelompok ini mencakup pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh diaspora Gorontalo, alumni, serta ketua dan pengurus cabang;
- Q3 (abu sedang), yaitu mereka yang less powerful, namun perlu dirawat oleh HPMIG. Kelompok ini akan membawa manfaat bagi organisasi di masa depan jika dirawat dengan baik;
- Q4 (abu muda), kelompok yang untuk sementara belum menjadi prioritas.
Alih-alih mengenai menciptakan power-nya sendiri, HPMIG dalam kerangka kuadran ini lebih dapat berfungsi sebagai hub yang menghubungkan masing-masing pemangku kepentingan, khususnya pada area Q1, Q2, dan Q3.
HPMIG duduk di tengah-tengah, menjadi jembatan bagi masing-masing kelompok, sekaligus menarik manfaat darinya.
Baca Juga: GISS Konsisten Bagikan Sedekah Setiap Bulan ke 50 KK di Gorontalo
Jika Q1 dan Q2 adalah mitra, Q3 adalah konstituen potensial yang jika di-maintain dengan baik, dapat menjadi modal sosial penting bagi HPMIG ketika kembali berhadapan dengan kelompok Q1 dan Q2.
Berdasarkan pemetaan ini, HPMIG dapat merancang program-programnya selayaknya komoditas. Setiap program tersebut dibentuk dengan kesadaran penuh mengenai kepada siapa program itu sendiri hendak berkiblat.
Dan sebagai hub, tujuan yang muncul bukan lagi tentang bagaimana HPMIG tampil menonjol dan gagah sendirian. Semangat zaman saat ini adalah semangat dengan kata kunci kolaborasi; bagaimana mengajak sebanyak mungkin orang terlibat untuk mencapai satu manfaat tertentu, dengan menempatkan HPMIG di tengah sebagai inisiatornya.
Di dalam kerangka kolaborasi, arah dan manfaat setiap program tak lagi semata berhenti pada HPMIG sendiri. HPMIG justru meneruskannya, menjadi perantara bagi masyarakat Gorontalo menuju kesempatan dan peluang baru.
Baca Juga:Â Bagikan Bansos ke Gorut, Gubernur Pastikan Tak Ada Kaitannya dengan Politik
Penyusunan program berbasis positioning ini barangkali tanpa disadari telah lama diterapkan. Namun, masih bersifat sporadis dan rancak, tanpa analisis rintisan yang benar-benar serius.
Memang selama ini, salah satu hambatan terbesar lainnya dalam menyelenggarakan program berskala massif terkait masalah biaya. Namun situasi pandemi ini justru menghadirkan hikmah di balik mala.
Secara sadar, COVID-19 telah memaksa umat manusia untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru. Yang paling signifikan, terjadi percepatan perpindahan manusia menuju peradaban digital.
Pandemi ini menegaskan sekali lagi, bahwa pada peradaban digital, lokasi dan kehadiran fisik seharusnya tak benar-benar penting. Ongkos produksi program juga sangat mungkin untuk ditekan agar benar-benar efisien. Yang perlu dipastikan adalah bagaimana sebuah nilai benar-benar mencapai sasarannya dengan baik.
Tugas HPMIG kemudian untuk mengeksploitasi peluang ini. Segala program yang sifatnya terkait erat dengan positioning dapat dijalankan melalui platform digital.
Bahkan hal-hal seremonial seperti pelantikan, rapat kerja nasional, rapat pleno, dan rapat harian, sudah seharusnya dilakukan dalam mode ini.
Migrasi digital sepanjang pandemi COVID-19 ini juga telah melahirkan kesempatan bagi HPMIG untuk memupus sekat yang menghambat eksistensi organisasi di Gorontalo: jarak.
Sebagai mahasiswa-mahasiswa rantau, para kader HPMIG umumnya mafhum mengenai privilege yang mereka emban dibanding rekan-rekan segenerasinya di Gorontalo.
Baca Juga: 12 Puskesmas di Provinsi Gorontalo, Dapat 15 Tenaga Kesehatan Penugasan Khusus
Privilege ini sama sekali tidak menciptakan kedudukan yang lebih unggul. Namun hidup di luar Gorontalo memungkinkan kader HPMIG mengambil jarak dari wacana arus utama yang bersirkulasi di Gorontalo, sembari terus menemukan wacana alternatif dari pengalaman empirik di daerah tempatnya bermukim.
Untuk membuat wacana alternatif itu tetap kontekstual dan dapat diimplementasikan, maka kita perlu kembali pada kata kunci kolaborasi.
Dengan demikian, HPMIG akan kembali ke masyarakat tanpa sekali lagi menjual legasi dan nilai sejarahnya.
Pada era #NewHPMIG, yang ditawarkan adalah getaran kerja sama dan gotong royong antar banyak pemangku kepentingan yang menggema selama mungkin. Duduk di tengah-tengah, HPMIG menjadi episentrum bagi semangat itu.
Dan saya percaya, generasi Ketum Hidayat Amuda dan jajarannya, serta dukungan komitmen semua pihak, memiliki semua sumber daya untuk menjadi menjadi perintis yang cakap: membawa HPMIG pada tahap evolusi selanjutnya.
Penulis : Arasy Pradana