Penulis : A Muhammad Yusuf Aulia Arifuddin – Anggota PPK Kota Utara, Kota Gorontalo
GORONTALO – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tersisa 118 hari lagi (dihitung sejak artikel ini tayang 18 Oktober 2023). Artinya tidak kurang 4 bulan lagi, masyarakat yang terdaftar sebagai Pemilih [Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin,atau sudah pernah kawin; Pasal 1 ayat 34 UU Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu] akan menggunakan hak pilihnya dalam memilih Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Tepatnya pada tanggal 14 Februari 2024.
Ini akan menarik, karena pastinya setiap peserta Pemilu akan menggerakkan kader terbaiknya untuk dapat merebut kursi di setiap daerah pemilihan (Dapil). Total ada 18 partai yang ikut Konstestasi Pemilu 2024.
Kini tahapannya masih dalam Penyusunan dan penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) yang dimulai sejak 4 Oktober sampai sampai 4 November mendatang. Komisi Pemilihan Umum baru akan mengumumkan DCT pada tanggal 4 November 2023.
Kader yang kemudian menjadi bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) sudah mulai melakukan tugasnya. Mereka gencar menyosialisasikan diri mereka sebelum ditetapkan sebagai calon anggota legislatif (Caleg) pada 4 November mendatang.
Baik secara tatap muka dengan basis Pemilih maupun menggunakan antribut-antribut seperti baliho, stiker, flayer maupun gantungan kunci yang terdapat foto gambar wajah, nama, nomor dan logo partai. Secara tidak langsung, Bacaleg ini harusnya menyosialisasikan partai yang menjadi ‘Kendaraan’ untuk memuluskan langkahnya di kursi legislatif. Karena peserta pemilu itu adalah Partai Politik. Bukan mereka yang berstatu Bacaleg atau Caleg.
Perlu diketahui oleh Pemilih untuk menentukan Calon DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota itu duduk di kursi yang mereka rebutkan, bukan ditentukan suara terbanyak dari calon anggota legislatif (Caleg), namun berdasarkan Metode Sainte Lague. Metode ini sudah digunakan pada Pemilu 2019. Dan terbukti, ada Caleg yang suaranya tinggi, namun karena suara partainya rendah, tidak duduk sebagai anggota legislatif (Aleg).
Sebaliknya, ada Caleg yang perolehan suaranya rendah, namun akumulasi suara partainya tinggi duduk di kursi DPRD. Apakah kita menyadari ini? Dan pernahkah dalam diskusi kita pernah membahasnya secara terperinci? Penulis rasa tidak. Dari perbincangan yang sering penulis dengar di berbagai warung kopi (Warkop), si Bacaleg menargetkan perolehan suara tinggi yang akan diperoleh di Dapil tempatnya ‘bertarung’. Namun sangat minim membahas berapa target suara partai yang akan dikejarnya.
Sehingga insiden yang pernah terjadi di Pileg 2019 lalu bisa saja terjadi di Pileg 2024 mendatang. Punya suara personal tinggi, tapi tidak meraih kursi. Para caleg ini seharusnya mengejar target kursi partai agar partainya mendapatkan ‘jatah’ di masing-masing Dapil.
Ketika sudah dipastikan partai politik peserta pemilu bisa mendapatkan jatah kursi, giliran Caleg inilah yang berhitung, apakah suaranya lebih tinggi dari rekan sesama caleg di partainya atau tidak.
Penerapan Metode Sainte LagueÂ
Nah, membahas soal metode Sainte Lague sejatinya banyak yang belum paham bahkan tidak mengerti dengan perhitungan ini. Sehingga Pemilih ‘terjebak’ memilih figur Caleg, dengan tidak memperhatikan apakah partai politik yang notabenenya sebagai peserta Pemilu bisa menghasilkan kursi atau tidak. Begitu pula dengan Caleg.
Ia hanya fokus pada dirinya, dan tidak memperhatikan partainya apakah bisa memperoleh satu kursi di legislatif atau suaranya hangus karena kalah bersaing caleg yang memiliki suara minim karena partai dari si Caleg yang minim suara ini memiliki suara lebih tinggi jika diakumulasi. Suara partai itu masih lebih tinggi dari si Caleg yang jago sendiri tadi.
Metode Sainte Lague diperkenalkan oleh seorang matematikawan asal Perancis bernama Andre Sainte Lague pada tahun 1910. Sainte Lague merupakan penghitungan suara menjadi kursi dengan bilangan pembagi ganjil 1,3,5,7,9 dan seterusnya.
Penulis mencoba menyederhanakan metode dan cara menghitung kursi bagi Anggota DPRD pada Pemilu 2024 mendatang, sehingga Caleg maupun pemilih bisa melihat apakah peserta pemilu ini memungkinkan mendapatkan kursi di legislatif atau tidak.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada pasal 415 pada ayat (3) Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota suara sah setiap partai politik dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara beruntun oleh bilangan ganjil 3,5,7 dan seterusnya.
Namun untuk DPR RI, ketentuan ini akan berlaku jika partai politik peserta pemilu dapat memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.
Jika berada di bawah ambang batas, maka otomatis partai politik peserta pemilu harus ‘out’ dari porelahn kursi di setiap daerah pemilihan.
Simulasi Metode Sainte Lague
Penulis sedikit memberikan gambaran atau simulasi menggunakan Metode Sainte Lague ini. Misalnya dalam satu dapil diperbutkan 4 kursi.
Partai A mendapat total 30.000 suara
Partai B mendapat 20.000 suara
Partai C mendapat 12.000 suara
Partai D mendapat 7.000 suara
Ini adalah akumulasi suara partai, bukan suara person Caleg.
Nah, untuk menentukan siapa yang mendapatkan kursi pertama maka masing-masing partai akan dibagi dengan angka 1.
1. Partai A 30.000/1 = 30.000 suara
2. Partai B 20.000/1 = 20.000 suara
3. Partai C 12.000/1 = 12.000 suara
4. Partai D 7.000/1 = 7.000 suara
Dengan hasil pembagian itu, maka yang mendapatkan kursi pertama di dapil tersebut adalah Partai A dengan jumlah 30.000 suara. Nah disinilah baru dilihat, caleg nomor urut berapa yang suaranya tertinggi, maka caleg tersebut yang akan mendapatkan prioritas untuk kursi pertama dari Partai A. [Didasari dari sistem pemilu proporsional terbuka].
Lantas untuk kursi kedua, ketiga dan seterusnya bagaimana?
Untuk kursi kedua berhubung Partai A sudah menang pada pembagian 1, maka untuk selanjutnya Partai A akan dihitung dengan pembagian angka 3. Sementara Partai B, C dan D tetap dibagi angka 1. Sehingga menjadi;
1. Partai A 30.000/3 = 10.000 suara
2. Partai B 20.000/1 = 20.000 suara
3. Partai C 12.000/1 = 12.000 suara
4. Partai D 7.000/1 = 7.000 suara
Dari simulasi kedua ini, maka perolehan kursi kedua adalah si Partai B dengan perolehan 20.000 suara. Dengan ketentuan yang sama seperti pada simulasi pertama, Partai B sebagai peserta pemilu akan memberikan kursi kedua ini kepada Caleg yang memiliki suara terbanyak.
Untuk kursi ketiga ditentukan lagi dengan perhitungan yang sama. Dimana Partai A dan Partai B akan dibagi dengan angka 3. Sementara Partai C dan D masih akan dibagi dengan angka 1.
1. Partai A 30.000/3 = 10.000 suara
2. Partai B 20.000/3 = 6.666 suara
3. Partai C 12.000/1 = 12.000 suara
4. Partai D 7.000/1 = 7.000 suara
Maka yang mendapatkan kursi ketiga adalah partai C dengan perolehan 12.000 suara. Ketentuannya sama. Partai C sebagai peserta pemilu akan memberikan kursi kedua ini kepada Caleg yang memiliki suara terbanyak.
Pada kursi keempat inilah yang menarik. Penulis mensimulasi bahwa partai D memiliki 7.000 suara yang diperoleh dari satu caleg di Partai D. Sementara caleg dari Partai A yang berada di urutan suara tertinggi kedua hanya memiliki 2.500 suara. Namun karena sisa suara partai A masih 10.000 suara. Maka caleg Partai A yang memiliki suara tertinggi kedua yakni 2.500 suara yang duduk mendapatkan kursi ke-4. Kenapa demikian? Padahal Caleg Partai D, ia sendirian memiliki 7.000 suara. Harusnya si Caleg Partai D dengan 7.000 suara inilah yang harus duduk. Harusnya kalau kita menggunakan asumsi suara terbanyak. Tetapi UU Pemilu tak mengatur demikian.
Untuk kursi keempat, karena Partai A, Partai B dan Partai C sudah mendapatkan satu kursi dan masing-masing dibagi dengan angka 3, sementara Partai D akan tetap dibagi 1.
1. Partai A 30.000/3 = 10.000 suara
2. Partai B 20.000/3 = 6.666 suara
3. Partai C 12.000/3 = 4.000 suara
4. Partai D 7.000/1 = 7.000 suara
Maka yang mendapatkan kursi keempat adalah Partai A dengan perolehan 10.000 suara. Maka kursi keempat inilah yang diberikan oleh Partai A kepada caleg yang memiliki suara tertinggi kedua di partai tersebut.
Jika masih ada kursi yang diperebutkan, maka berhubung Partai A sudah mendapatkan dua kursi, yakni kursi pertama dan kursi keempat, maka selanjutnya Partai A akan dibagi dengan angka 5. Partai B, dan C dibagi dengan angka 3 dan Partai D tetap dibagi dengan angka 1. Begitu seterusnya sampai dengan kursi tersebut habis diperebutkan.
Inilah yang harus dipahami oleh Caleg maupun Pemilih di dalam pembahasan diskusi-diskusi, agar masyarakat lebih paham tentang perolehan kursi di legislatif. Jangan terkecoh, memiliki target suara individu yang tinggi, namun tidak dibarengi suara partai. Hasilnya tetap akan menjadi nol bagi peserta pemilu.
Karena penulis adalah penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan di Kota Gorontalo. Penulis ingin menyampaikan bahwa untuk DPRD Kota Gorontalo saat ini jumlah kursinya telah bertambah.
Pada Pileg 2019, kursi yang diperbutkan hanya 25 kursi. Di pileg 2024 ini sudah bertambah menjadi 30 kursi dengan perubahan dapil. Hal ini didasari oleh Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2023.
Dimana dalam PKPU ini mengatur tentang Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota Dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024.
Kursi terbagi di Dapil 1 dan 2 Kota Gorontalo sebanyak 8 kursi. Sedangkan pada Dapil 3 dan 4 Kota Gorontalo yang tersedia 7 kursi.
Berikut daftar pembagian Dapil DPRD Kota Gorontalo dan jumlah kursinya mengacu PKPU Nomor 6 Tahun 2023:
A. Dapil 1 ada 8 kursi
Wilayah Daerah Pemilihan (Kecamatan/ Desa/Kelurahan):
Kota Selatan
Dumbo Raya
Hulonthalangi
B. Dapil 2 ada 8 kursi
Wilayah Daerah Pemilihan (Kecamatan/ Desa/Kelurahan):
Kota Barat
Dungingi
C. Dapil 3 ada 7 kursi
Wilayah Daerah Pemilihan (Kecamatan/ Desa/Kelurahan):
Kota Tengah
Sipatana
D. Dapil 4 ada 7 kursi
Wilayah Daerah Pemilihan (Kecamatan/ Desa/Kelurahan):
Kota Utara
Kota Timur. (*)