Catatan: Hasanuddin Djadin*)
“Kok nampak tulisan ‘Halah’ ya…”. Begitulah kesan sebagian orang ketika melihat logo Halal Indonesia yang baru. Logo yang diluncurkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) Kementerian Agama RI pada 10 Februari 2022. Logo pengganti logo halal versi Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu berlaku mulai 1 Maret 2022.
Bagi mereka yang paham ataupun yang bergelut dengan dunia kaligrafi, logo halal yang baru (baca versi BPJH Kemenag) memiliki nilai artistik yang tinggi. Apalagi tak sekadar menampilkan goresan keindahan kaligari khat Kufi. Logo halal baru turut memiliki nilai ke-Indonesiaan. Yakni bentuk wayang gunungan.
Akan tetapi di kalangan masyarakat umum (termasuk penulis), logo halal yang baru sedikit membingungkan. Terlebih bagi mereka yang hanya akrab dengan hurub Arab hijaiyah atau khat Nasakh yang umum dijumpai. Maka tak mengherankan bila deretan huruf “Ha, Lam Alif, dan Lam” itu diterjemahkan ke dalam kata berbeda. Tak terkecuali pandangan sebagian orang yang ada pada awal tulisan ini.
Beragam pendapat, tanggapan, hingga meme begitu ramai menanggapi kehadiran logo Halal Indonesia yang baru. Bertebaran dan menjadi trending topic di berbagai platform media sosial. Riuh, dan berisik. Tapi seperti itulah sasaran sosialisasi logo halal yang dilakukan Kementerian Agama.
Salah satu tujuan komunikasi visual (penggunaan media grafis/simbol) mendapatkan atensi atau perhatian. Maka mendapatkan atensi maka grafis atau simbol digunakan tentu harus tampil beda, bahkan “melawan arus” atau istilahnya Out of The Box. Tak berhenti di situ. Berbeda saja tak cukup. Ia harus mampu “berisik” atau istilah sekarang ini viral.
Itulah yang dilakukan pada logo Halal Indonesia yang baru. Penggunaan garis (khat) huruf “Ha, Lam Alif, dan Lam” dengan warna ungu merupakan sebuah bentuk out the box. Sebab rata-rata dan hampir mayoritas, khat Halal yang digunakan di berbagai negara mengambil perpaduan warna hijau dan putih. Begitu pula desain wayang gunungan. Di samping mempertegas out the box, sekaligus pemantik (trigger) atensi publik.
Lewat logo halal yang “berbeda dan berisik” itu, setidaknya ada dua pesan implisit yang ingin disampaikan ke khalayak umum. Pesan pertama, Kemenag ingin mempertegas kepada khalayak umum tentang keberadaan dan fungsi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang dibentuk pada 2017 tersebut. Yakni lembaga sertifikasi produk halal.
Selama ini persepsi publik di tanah air, sertifikasi produk halal berada dan menjadi kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014, maka kewenangan sertifikasi produk halal berada di BPJPH.
Pesan kedua, Birokratisasi Halal. Pengertian sederhananya semua urusan berkaitan produk halal kini menjadi satu pintu. Tertata memiliki alur secara birokrasi. Mulai dari pendaftaran hingga pengecekan produk, semuanya berada di BPJPH. Lalu keberadaan MUI? Merujuk pada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, maka MUI dalam konteks ini adalah pemberi fatwa halal. Sertifikasi halal akan diberikan oleh BPJPH setelah adanya fatwa halal.
Berkaitan dengan pesan ini, Kemenag dituntut lebih cermat. Selain memastikan jaminan produk yang halal bagi masyarakat, birokratisasi halal hendaknya tidak menjadi alat mengekang para produsen dan pelaku usaha. Terutama mereka yang termasuk kategori Usaha Mikro, dan Usaha Kecil. Besar harapan, birokratisasi halal memudahkan dan membantu para pelaku usaha mikro, dan kecil. Bukan sebaliknya menjadi jalan bagi para pemilik modal melakukan monopoli produk halal.
Penggunaan label/logo halal pada produk makanan, minuman hingga kosmetik bukan hanya sebatas pemenuhan syarat administrasi ataupun amanat Undang-undang. Label halal memberi rasa aman dan nyaman bagi masyarakat terutama kaum umat muslim, bahwasanya produk yang dikonsumsi benar-benar halal. (***)
*) Wakil Direktur Media Online gopos.id