Tetes air mata Arjun Jakatara (52) makin tak terbendung ketika berada di balik jeruji besi di Pengadilan Tipikor Kota Gorontalo, Selasa (9/1/2024).
Warga Desa Marisa Selatan, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato itu menjadi satu dari 35 terdakwa kasus kerusuhan dan pembakaran kantor Bupati Pohuwato, September 2023 lalu.
Laporan YUSUF KONOLI – Kota Gorontalo
Suasana Pengadilan Tipikor Gorontalo kian ramai dengan kedatangan keluarga dari masing-masing terdakwa. Saat itu waktu belum genap pukul 11.00 Wita. Pihak keluarga saling memberikan dukungan untuk terdakwa, sembari melepas rindu sebelum sidang pembacaan dakwaan dimulai.
Namun berbeda dengan Arjun Jakatara (52). Pria paruh baya yang hanya berprofesi sebagai buruh kupas jagung itu sedih lantaran keluarga berhalangan hadir untuk melepas rindu karena keterbatasan biaya dari Pohuwato ke Kota Gorontalo.
Berseragam rompi merah tahanan itu, Arjun duduk termenung merenungi nasib sambil pasrah atas hukuman yang dinanti. Padahal Arjun kekeh mengaku sama sekali tidak melakukan perbuatan melawan hukum, apalagi sampai terlibat dalam merusak fasilitas negara itu.
Dari balik jeruji besi sebelum dimulainya persidangan, Arjun menyempatkan diri bercerita tentang apa yang dialaminya sejak ditangkap pasca insiden 21 September 2023.
Menurut pengakuannya, Arjun pada saat itu sedang pulang ke rumah membawa perlengkapan buruh petani, seperti alat kupas milu dan parang.
Namun naas, pada saat di depan kampus Universitas Pohuwato (Unipo), lelaki yang sudah punya anak cucu itu ditangkap pihak kepolisian langsung dibawa ke Polres Pohuwato.
Ketika diinterogasi polisi, Arjun yang tak tahu apa-apa mengaku ditendang, dipukul dan dipaksa untuk mengakui ikut terlibat dalam insiden kerusuhan.
Tidak tahan dengan siksaan oknum aparat kepolisian, akhirnya Arjun yang buta aksara terpaksa mengakui semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, dengan alasan agar dirinya tak lagi dianiaya. Pun dengan terpaksa, Arjun menandatangani berita acara pemeriksaan yang disodorkan kepadanya. Itu pun tanda tangan berita acara pemeriksaan itu, katanya, hanya menggunakan cap jempol.
“Hepilongoto liyo, hedutaa lingolio didu otahangia, hiyambola tilapayili wau tilapangili heparakisa lio (Disakiti, diinjang tak tahan lagi, sampai terkencing-kencing dan berak-berak saat diperiksa),” bisik Arjun dari balik jeruji sambil sesekali melirik pihak keamanan, Senin (9/1/2023).
Ketidaktahuannya membaca dan menulis pun membuatnya ikut apa yang dikatakan penyidik polisi, dengan harapan tidak disakiti lagi, serta semua proses selesai hingga berharap dirinya segera pulang bertemu keluarga.
Lebih parahnya, pria buta huruf itu bahkan mengaku sangat khawatir jika saja dia membantah tuduhan yang disangkakan dalam dalam persidangan justru akan memperberat hukumannya nanti.
“Mohe watiya, anu ma pahulo teye mamobedawa lo uma tilandatangania to Marisa. (Saya takut kalau membantah dakwaan yang disangkakan, takutnya akan berbeda dengan surat pernyataan yang ditandatangani usai pemeriksaan di Marisa),” kata pria yang tak terlalu lancar berbahasa Melayu itu.
Dirinya pun berpasrah diri tidak tahu mengadu kepada siapa lagi karena dalam persidangan, Arjun tidak memiliki penasehat hukum dibandingkan tersangka lainnya lantaran alasan ekonomi.
“Tidak tahu saya mau mengadu ke siapa, sedangkan keluarga tidak hadir,” tutup Arjun.
Kasus Arjun dan 34 terdakwa lainnya kini mulai disidangkan, atas kasus pengerusakan kantor Pani Gold Projek, KUD Dharma Tani Marisa, Rumah Dinas Bupati, Kantor DPRD hingga Pembakaran Kantor Bupati Pohuwato pada 21 September 2023 lalu.(Yusuf/Gopos)