GOPOS.ID, JAKARTA – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) merupakan lembaga penjaga etika untuk memastikan penyelenggara pemilu bekerja sesuai koridor hukum dan etika.
Ketua DKPP, Heddy Lugito, mengungkapkan masih banyak masyarakat yang salah memahami dengan tugas, fungsi, maupun wewenang DKPP. Dalam persepsi publik, DKPP dipandang lembaga ‘super power’ pengawas untuk tahapan pemilu maupun mengawasi penyelenggara pemilu.
“Banyak yang salah paham. DKPP itu dianggap sebagai pengawas, padahal sebenarnya kita adalah penjaga (kode etik penyelenggara pemilu, red),” ungkap Heddy Heddy Lugito dalam Rapat Kerja Komite I DPD RI dengan DKPP, KPU dan Bawaslu di Gedung B DPD RI di Jakarta, Selasa (21/3/2023). Rapat kerja membahas pelaksanaan Pemilu dan Pilkada serentak 2024.
Selain itu, lanjut Heddy, DKPP bersifat pasif berkaitan tugas, fungsi, dan wewenangnya sebagaimana ketentuan Pasal 159 angka 3 huruf c, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“DKPP tidak seperti KPK, DKPP tidak bisa bekerja tanpa adanya pengaduan. Jadi kalau penyelenggara diadukan, baru kami bertindak,” tegasnya.
Dalam rapat kerja ini, Heddy juga mengungkapkan esensi sanksi DKPP bukan untuk menghukum penyelenggara Pemilu. Sanksi DKPP dimaksudkan untuk menjaga penyelenggara bekerja dalam koridor etika maupun hukum.
“Apakah itu sanksi Peringatan, Peringatan Keras, Pemberhentian Sementara, Pemberhentian dari Jabatan, maupun Pemberhentian Tetap,” tegas Heddy.
Heddy memaparkan, anggaran DKPP saat ini masih melekat di Kementerian Dalam Negeri. Pada 2023, alokasi anggaran DKPP sebanyak Rp26 miliar dan telah habis pada minggu kedua bulan Maret. Menurutnya, kondisi tersebut berdampak pada operasional tugas dan fungsi DKPP, di mana DKPP tidak bisa melaksanakan sidang pemeriksaan di daerah. DKPP saat ini akan melaksanakan sidang secara virtual.
“Jadi minggu ini perkara di DKPP tidak bisa disidangkan (di daerah, red) karena anggarannya sudah habis,” kata Heddy.
Sistem Proporsional Pemilu
Dalam kesempatan yang sama, Anggota DKPP J. Kristiadi berpendapat perdebatan mengenai sistem pemilu proporsional tertutup dan terbuka seharusnya dibuka seluas-luasnya di ruang publik. Dalam Raker ini terdapat pertanyaan yang disampaikan beberapa Anggota Komite I DPD RI terkait perdebatan sistem proporsional pemilu.
Menurut pria yang akrab disapa Kris ini, perdebatan mengenai sistem pemilu proporsional terbuka ataupun tertutup tidak sampai pada pendalaman dari aspek tujuan dan manfaat.
“Jadi terjebak satu isu mikro saja. (Harusnya dibahas, red.) ini yang lebih baik yang mana sih terutup atau terbuka,” ujarnya.
Ia menambahkan, perdebatan wacana terkait sistem pemilu yang berkembang hanya sebatas kepentingan sempit belaka. Hal ini disebutnya hanya akan menjadikan KPU sebagai korban.
Pria yang puluhan tahun menjadi peneliti politik di Central for Strategic and International Studies (CSIS) ini pun menyayangkan kondisi ini. Ia berharap perdebatan mengenai sistem pemilu proporsional tertutup/terbuka dapat lebih berkembang dengan pembahasan yang komprehensif dari kedua aspek.
“Kalau perdebatan ke sana itu betul-betul Pemilu 2024 akan diwarnai perdebatan ide-ide yang segar. Kita sudah mengalami defisit dialektika dari perdebatan-perdebatan yang lebih bersumber dari akal sehat,” tutup Kris.(hasan/gopos)