Oleh: Fairuz Tazkiyah
Dalam rumah tangga tentunya semua orang menginginkan keluarga yang harmonis dan bahagia, namun tidak jarang yang terjadi dalam rumah tangga malah sebaliknya, perbuatan KDRT sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat terjadi pada anggota keluarga baik itu suami, istri serta anak-anak (Agustina, 2021).
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan konflik yang terjadi dalam rumah tangga dengan penggunaan kekerasan didalamnya baik secara fisik, psikologi, seksual maupun ekonomi (Venny, 2003). Fenomena KDRT menjadi isu yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia.
KDRT di Indonesia diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pemerintah sudah mengupayakan pencegahan kasus serupa terulang kembali dengan dibentuknya lembaga perlindungan untuk membela dan memperjuangkan hak korban, karena kekerasan yang terjadi menimbulkan dampak tidak hanya dari fisik namun juga tekanan psikologis.
Beberapa waktu yang lalu netizen dihebohkan dengan berita laporan kepolisian menyangkut kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada salah satu pasangan artis terkenal di tanah air yaitu LK (istri) dan RB (suami), diduga RB melakukan kekerasan pada LK hingga dilarikan ke rumah sakit.
Baru-baru ini netizen dikejutkan dengan sikap yang diambil oleh LK karena mencabut laporan kepolisian kasus KDRT yang dialami, keputusannya kemudian memunculkan beragam respon publik, ada yang dapat memahami keputusan dari LK namun ada pula respon negatif dari publik yang sudah ikut bersimpati pada kasus tersebut.
Kekecewaan netizen dapat terlihat pada laman media sosial LK, pada salah satu unggahannya dipenuhi oleh komentar netizen yang menyayangkan keputusan dari sang istri, karena merasa bahwa KDRT bukan merupakan hal yang dapat di toleransi dan harus diberi efek jera.
Terdapat beberapa asumsi dari netizen terkait keputusan dari LK, seperti pertimbangan demi kebaikan tumbuh kembang sang buah hati serta adanya traumatic bonding. Seperti yang diketahui bahwa LK dan RB mempunyai satu orang anak dari hasil pernikahannya yang perlu diperhatikan kondisi psikologisnya ketika terjadi perceraian pada orangtuanya.
Traumatic bonding sendiri merupakan kondisi di mana seseorang yang sudah menjadi korban kekerasan namun terlalu terikat pada pelaku kekerasan, biasanya berkaitan dengan adanya hubungan kedekatan antara korban dan pelaku. Terlepas dari pertimbangan pribadi yang dimiliki oleh LK terkait permasalahannya, dalam setiap kehidupan manusia proses pengambilan keputusan dapat ditinjau menggunakan ilmu psikologi.
Menurut Irving Janis (1986) individu jarang menggunakan penyelesaian masalah reflektif, ketika harus membuat penilaian dan keputusan, kita jarang mengambil keputusan yang membutuhkan waktu, dan usaha untuk berpikir sistematis, kita cenderung mengikuti intuisi dan respon yang cepat, otomatis berdasarkan pada perasaan maupun pikiran. Dalam Myers & DeWall (2015) Pengambilan keputusan umumnya dipengaruhi oleh lima aspek, yaitu intuition, availability heuristic, overconfidence, belief perseverance dan framing.
Availability heuristic atau ketersediaan heuristic merupakan ‘jalan pintas’ berpikir sederhana yang memungkinkan kita bertindak cepat dan efisien tetapi menempatkan kita dalam risiko kesalahan, karena menggunakan informasi yang tersedia atau paling mudah diakses oleh otak kita.
Adanya overconfidence atau terlalu percaya diri yang didasarkan pada rasa ‘percaya diri’ yang berlebih juga turut mempengaruhi pengambilan keputusan, di mana seseorang memiliki kecenderungan untuk melebih-lebihkan pengetahuan dan penilaian yang dimiliki, memungkinkan kita untuk bahagia dengan membuat keputusan dengan mudah, tetapi juga menempatkan kita pada risiko keakuratan.
Berikutnya belief perseverance atau ketekunan keyakinan merupakan adanya kecenderungan seseorang untuk berpegang teguh pada suatu keyakinan sehingga mengabaikan fakta yang merusak keyakinan kita (membuktikan bahwa keyakinan kita salah) serta menutup pikiran kita terhadap ide-ide baru.
Kemudian ada framing yaitu cara kita menyajikan suatu masalah sehingga membangkitkan respons yang diinginkan, tentang bagaimana sebuah isu dibingkai secara signifikan dan dapat mempengaruhi keputusan atau penilaian. Yang terakhir adanya intuition atau intuisi merupakan perasaan dan pikiran yang cepat, otomatis, effortless dan didasarkan pada pengalaman yang sudah dimiliki sebelumnya.
Pengambilan keputusan berdasarkan intuisi bersifat adaptif tetapi dapat membuat individu memiliki ketakutan yang tidak rasional, penilaian yang kabur, penalaran yang tidak logis.
Dalam setiap pengambilan keputusan akan melibatkan proses berpikir, untuk dapat memberi penilaian dan keputusan yang matang dibutuhkan kondisi emosi yang stabil agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Baca juga: Proses Persuasi Masyarakat Menyikapi #resesi2023
Salah satu cara yang dapat dipraktikkan untuk mengelola emosi ketika dihadapkan pada konflik dalam pernikahan yaitu dengan menjauh sejenak dari sumber emosi untuk kemudian mengidentifikasi permasalahan yang memicu konflik, ketika dirasa diri sudah tenang permasalahan yang ada dapat didiskusikan dengan pasangan untuk menemukan solusi.
Untuk dapat melakukan ini tentunya setiap individu perlu dibekali dengan kecerdasan emosi yang baik. Peter Salovey dan John Mayer mengungkapkan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengerti emosi, menggunakan dan memanfaatkan emosi untuk membantu pikiran, mengenal emosi dan pengetahuan emosi yang mengarahkan emosi secara reflektif sehingga menuju pada pengembangan emosi dan intelektual. Goleman menyebutkan kegunaan reaksi emosi tertentu untuk pertanda atau kewaspadaan untuk bertindak berhati-hati (Prawitasari, 1998).
Kecerdasan emosi memiliki empat dimensi yang dapat diukur yaitu ; Self emotion appraisal yang merupakan kemampuan untuk mengenali suasana hati baik didalam diri sendiri maupun bagaimana mengekspresikan emosinya.
Others emotion appraisal adalah kemampuan individu merasakan dan memahami orang disekitarnya. Use of emotion adalah kemampuan individu menggunakan emosinya. Regulation of emotion adalah kemampuan mengatur emosi diri sendiri, sehingga dapat resilien dari tekanan psikologis. Dengan kecerdasan emosi diharapkan setiap individu akan memiliki hidup yang lebih baik dan terhindar dari perbuatan yang merugikan baik untuk diri sendiri dan orang lain seperti kekerasan dalam rumah tangga.***
Penulis adalah Mahasiswa Magister Psikologi Sains Universitas Padjajaran